3/2 ; Zemaya

6.1K 1.2K 65
                                    

Zema tidak tahu harus membalas apa pada pesan yang ibunya kirimkan. Kenapa ibunya harus mengirimkan kabar mengenai Hugo yang masuk rumah sakit dan dalam kondisi parah. Sejauh ini, hanya satu kemungkinan yang ada di kepala Zema mengapa suaminya masuk rumah sakit dengan kondisi tidak ringan. Yaitu, Hugo meminta ibu Zema menyampaikan ini untuk membuat Zema panik.

Namun, Zema tidak boleh selalu curiga. Bisa saja suaminya kecelakaan karena tahu dimana Zema berada dan berniat menyusul saat kecelakaan itu terjadi. Zema yang tidak tahu harus berbuat apa memilih bangun dan memikirkan untuk pulang ke rumah orang tuanya saja.

Zema menjadi tidak tahu apa-apa jika tetap berada di hotel. Jika ibunya bisa menyampaikan ini, itu tandanya Hugo sudah sampai di kediaman orang tua Zema. Lebih baik memastikan apa yang pria itu lakukan di rumah ibu dan bapaknya hingga dua orang itu menyampaikan hal berlawanan pada Zema. Tumben juga bapaknya tidak menghubungi Zema dengan suara ibu yang berkeliaran. Tadi bapak Zema hanya bicara sendiri tanpa direcoki sang istri.

"Ini pasti ada perbedaan visi misi antara bapak dan ibu. Aku nggak bisa ngumpet di sini kalo orang tuaku nggak kompak mendukung aku!"

Zema membersihkan diri dengan mengganti pakaian dalam saja. Tak peduli di keluar dari hotel dengan pakaian yang sama sejak kemarin.

Barang bawaannya hanya tas, tapi isinya sangat penting. Dia akan check out jika saja bapaknya tidak muncul di lobi utama.

"Bapak?" Zema tidak percaya bapaknya duduk dengan koran yang dibaca santai di sofa.

"Oh. Udah turun." Zakala Jati mendapati putrinya dengan penampilan terlalu sederhana. "Bapak kira kamu bakalan turun nanti siang."

"Bapak nunggu di sini sejak kapan?" tanya Zema setelah mencium punggung tangan Zaka.

"Bapak udah di jalan waktu telepon kamu. Jadi tinggal nerusin aja ke sini."

"Bapak ...."

Zaka mengibaskan tangannya. Tak mau melihat Zema menangis.

"Kenapa kamu nggak tinggal lebih lama di kamar hotelnya?"

"Ibu chat, katanya Hugo di rumah sakit."

Zaka yang tidak menimpali kalimat itu membuat Zema memicingkan mata.

"Bapak tahu sesuatu?"

"Udah sarapan?" tanya pria itu mengalihkan pembicaraan.

"Bapak!"

"Ayo, sarapan! Makanan hotel enak. Bapak ikut."

Zaka mendorong bahu putrinya menuju restoran hotel. Sepertinya sang bapak memang tahu sesuatu, tapi tak mau menjawab. Entah apa yang sudah Zema lewatkan.

***

Saat mereka sampai di rumah sederhana yang asri, Zema diperlakukan bak putri raja oleh bapaknya. Pintu mobil dibukakan dan Zaka memastikan putrinya berpegangan pada pria tua itu.

"Hati-hati."

Zema tahu bapaknya sedang berusaha menjaga kondisi janin di dalam perut Zema. Hanya saja pria itu tak mau menunjukkan sisi perhatiannya.

"Makasih, Pak."

"Hm."

Zema tersenyum dan merangkul lengan bapaknya. Semula dia akan tersenyum lebih lebar, tapi pemandangan di pelataran yang disemen membangkitkan rasa mual Zema. Ada bekas darah yang cukup banyak di sana, entah milik siapa.

"Bapak ... aku—wueeekk!"

Zema tidak bisa menahan dirinya untuk muntah. Sarapan hotel yang enak tadi harus terbuang percuma.

"Ibu! Bu!" Zaka memanggil sang istri dengan teriakan. "Ini orang pada ke mana, sih!? Bekas darah begini masih belum dibersihkan!!"

Zema tidak menangkap alasan kemarahan bapaknya. Dia sibuk menenangkan diri dari rasa mual.

"Ya Allah, Zemaya!"

Windu, ibu Zemaya, langsung menghampiri dari dalam rumah dengan setengah berlari.

"Zemaya kenapa, Pak?" tanya Windu yang terlihat panik dan berkeringat.

"Gara-gara kamu nggak suruh orang bersihin bekas darahnya, anak kita jadi mual!" Zaka memarahi istrinya.

"Itu salahnya, Bapak! Kenapa mukulin anak orang sampe berdarah-darah!? Pegawai di rumah sibuk bawa Hugo ke rumah sakit! Siapa yang bisa bersihin bekasnya, kalo aku juga sibuk ditelpon sana sini. Ngasih tahu—"

"Ngapain dia kamu urus? Nggak perlu kamu kasih tahu semua orang, Bu!"

Zema menghentikan perdebatan bapak dan ibunya.

"Ini maksudnya gimana, Pak, Bu?"

Windu mendengkus ketika melihat suaminya. "Bapakmu langsung memukuli suamimu, pake tongkat kasti yang ada di rumah. Koprot kabeh* suamimu, Zemaya."

"Ibumu terlalu lebey! Luka biasa aja, nggak koprot."

"Ya Allah, Pak, Pak! Lha wong itu darahnya saja masih jelas, loh. Bapak masih bilang ibu yang lebey?"

Pengucapan kata lebay berubah jika orang tua Zema yang menggunakannya. Maklum, mereka memiliki lidah medok yang sulit menyesuaikan bahasa Indonesia dengan baik. 

"Bapak pukulin Hugo?" tanya Zema terkejut.

Zema mendongak, menatap bapaknya yang memalingkan muka. "Sedikit."

Ada rasa lega yang Zema rasakan. Dia senang karena bapaknya tahu harus melakukan apa kepada Hugo yang sudah menyakiti putrinya. Namun, Zema harus bersikap manusiawi karena ibunya yang panik dengan kondisi Hugo.

"Zemaya, kamu nggak apa-apa, Nak?" tanya Windu.

Ibu Zema mengira bahwa Hugo harusnya tidak dipukuli seperti itu. Padahal, Zema merasakan ketenangan karena bapaknya membalaskan rasa kesal Zema pada Hugo.

"Aku mau masuk, Bu. Aku lemes habis muntah."

Bapaknya yang lebih dulu bergerak dengan menggendong Zema seolah bobot Zema masih berusia lima tahun. Tidak ada sosok pria yang lebih baik dari bapaknya.

Sorry, Hugo. Aku harus memikirkan diriku lebih dulu ketimbang mikirin kamu.

[Koprot kalo di bahasa Jawa yang sering digunakan keluargaku, itu artinya muncrat banyak, berlinang, begitulah. Darahnya koprot banyak. Maksudnya ibunya Zema begitu, ya.]

Teman Tidur [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang