8/1 ; Kashihugo

4.7K 999 29
                                    

Meminta hal yang sudah dimiliki entah kenapa rasanya begitu sulit, ya? Hugo tidak tahu bahwa dirinya harus mempersulit diri sendiri untuk seseorang yang sudah resmi menjadi miliknya. Kekecewaan yang tercetak jelas di wajah orang-orang itu membuat Hugo kebingungan mencari cara. Meraih hati istrinya dan bapak mertuanya ternyata sangat sulit dari yang dia bayangkan. Jika dipikirkan ulang, ini memang fase Hugo benar-benar berjuang. Sejak awal dikenalkan dengan Zema dan menikahi perempuan itu, Hugo tidak pernah menghargai kehadiran istrinya itu sama sekali. Segalanya selalu mudah bagi Hugo untuk mendapatkan Zema. 

Jauh dari semua itu, sekarang dia bahkan rela didorong-dorong oleh bapak mertuanya sendiri karena terlalu lama berjalan. 

"Jangan menghalangi jalan saya!" Zaka menyerbu Hugo dengan kalimat sinis.

Zema tidak membelanya sama sekali karena tahu memang Hugo belum bisa dimaafkan. Bahkan saat orang tuanya sendiri datang untuk menjenguk Hugo, tidak ada kalimat yang diucapkan oleh Zaka dan Zema. Hanya Windu yang mau memberikan kalimat basa basi.

"Kami mau membawa Hugo kembali ke Jakarta." 

Ucapan yang Wijaya layangkan tidak membuat pihak Zema terkejut, justru Hugo sendiri yang terkejut mendengar ucapan papanya itu. 

"Pa? Kenapa--"

"Memang lebih baik begitu." Zaka menyela protes yang akan Hugo keluarkan. "Nggak perlu kami panjang lebar menjelaskan apa yang kami mau untuk ketenangan putri kami. Biarkan jarak membuat putri kami memikirkan apa yang harus dilakukan."

"Aku nggak bersedia!" Hugo tidak bisa menahan diri lagi. "Aku nggak mau untuk meninggalkan Ema sendirian. Kami perlu bicara banyak."

"Kenapa nggak kamu lakukan sejak kemarin? Kamu bahkan bisa bicara dengan Zemaya selama di rumah sakit. Apa yang kamu tunggu? Menunggu putri saya berubah pikiran untuk meninggalkan kamu?"

Zaka benar-benar tidak membebaskan Zema untuk diperlakukan seenaknya. Sebagai seorang bapak, Zaka membatasi putrinya untuk berada di lingkungan yang sama dengan Hugo. 

"Pak, Ema masih istri saya. Apa pun keputusan yang kami ambil nantinya, itu murni jangan ada campur aduk orang tua. Bapak sendiri yang melarang Ibu untuk ikut campur, tapi Bapak malah mempengaruhi Ema seperti ini."

"Jaga bicaramu. Kamu akan merasakan sakitnya ketika kamu memiliki anak perempuan kelak!"

Suasana semakin tegang dan tegang. Zema juga masih belum berminat untuk bicara untuk menengahi. Dia akan menunggu suasana mencapai puncaknya dan melihat masing-masing dari mereka akan bersikap seperti apa. Namun, Hugo yang tidak sabaran langsung menatap sang istri yang berada di seberangnya.

"Ema, aku mau bicara."

Zema hanya menatap dengan datar. Dia tidak langsung menjawab hingga suasana diantara para  orang tua semakin gaduh.

"Hugo, apa yang kamu lakukan? Papa minta kamu jangan terburu-buru!" Wijaya menahan lengan putranya.

"Nggak, Pa. Aku mau bicara sama Ema. Berdua."

"Kamu bahkan nggak menjawab pertanyaan saya tadi. Kenapa kamu nggak memanfaatkan kesempatan selama berada di rumah sakit untuk bicara? Apa yang kamu takutkan? Kalau kamu memang jujur, kamu nggak akan takut bicara sesegera mungkin dengan Zemaya."

Windu menyentuh paha suaminya dan berbisik, "Sudah, Pak. Biarkan saja mereka berdua bicara. Percaya pada Zemaya, Pak."

Sedangkan Kiana tidak bisa berbicara apa-apa. Dia sangat kecewa karena bisa saja kehilangan menantu seperti Zema. Jika dia bicara, Kiana hanya takut kehilangan kendali dan berakhir di rumah sakit lagi. Jadi, wanita itu hanya memilih diam dan menjadi penonton yang berulang kali menatap Zema berharap menantunya itu akan dengan mudah memaafkan Hugo. 

"Ema, please. Kita harus bicara."

Semua mata memandang Zema yang masih memilih diam. Tidak ada yang tahu apa yang ada di dalam pikiran Zema saat ini. Para orang tua tetap cemas dengan kondisi Zema yang hamil dan harus mengurusi drama seperti ini dengan suaminya. 

"Kenapa kamu nggak bicara di sini? Biar semuanya dengar, Hugo. Kalo memang aku yang salah paham, biarkan orang tua kita tahu. Begitu juga jika kamu memang mengakui kesalahan kamu."

Hugo terlihat begitu frustrasi untuk menanggapi apa yang istrinya mau. "Ema, ini bukan urusan orang tua kita. Ini urusan kita berdua."

"Kalo gitu kamu tanya ke papa dan mama, apa mereka mau untuk melihat kamu lebih lama tersiksa di sini atau nggak?"

Hugo langsung menatap orang tuanya. Wijaya yang terlihat lebih tegang karena niat pria itu adalah membawa Hugo pulang. Selain untuk alasan memberikan waktu lebih untuk berpikir, Wijaya jelas sekali tidak rela putranya diperlakukan begitu hina.

"Apa maksudnya itu, Ema?" tanya Wijaya pada Zema.

"Kalo Papa memang mau membawa pergi Hugo, silakan. Tapi saya nggak mau ada yang dibicarakan lagi setelah itu. Begitu Hugo memilih ikut orang tuanya, saya juga memilih untuk tinggal di sini. Biarkan bapak saya menyewa pengacara untuk perpi--"

"Nggak, nggak! Aku akan tetap di sini. Kita bicarakan baik-baik, Ema. Aku nggak akan lepas dari tanggung jawabku untuk kamu. Aku akan kembali ke Jakarta kalo kamu juga mau ke Jakarta." 

[Mau ingetin aja, bab 9 dan 10 Teman Tidur secara full udh ada di Karyakarsa. Oh, iya agak sedikit vanas, ya.🙈]

Teman Tidur [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang