22/2 ; Kashihugo

3.3K 764 54
                                    

Hugo akan membelikan martabak telur untuk dibawa ke rumah agar istrinya tidak menyambutnya dengan wajah ditekuk karena tidak ada makanan yang dibawa. Semenjak hamil, nafsu makan Zema memang luar biasa tidak bisa diatur. Hugo tidak masalah dengan nafsu makan yang bertambah milik istrinya, hanya saja dia heran kenapa dengan semua makanan yang masuk ke dalam tubuh perempuan itu tidak mengubah bentuk tubuhnya. Kehamilan istrinya bisa dilihat jika Zema memakai baju yang ketat hingga menjiplak perut. Jika tidak, maka tubuh Zema tidak akan terlihat perubahannya.

"Mau pulang, Pak?" tanya Anjar yang memang sudah Hugo anggap sebagai basa basi saja.

"Iya, nih. Saya sekalian mau nanti mampir ke Martabak 69. Biar pas buka saya yang jadi pembli pertama, supaya nggak ngantri banget."

Martabak 69 memang sangat terkenal dan membuat banyak orang ketagihan untuk membelinya. Kebetulan Hugo adalah pria yang hobi mencari jajanan dan makan, jadi bukan masalah besar ketika istrinya hobi makan karena ulah anak mereka. Hugo malah senang karena ada teman makan besar sekarang ini. 

"Wah, bener banget, tuh Pak! Martabak itu emang bakalan antri banget kalo nggak cepetan. Jangan sampe nanti malah diomelin sama istri kalo sampe antri kelamaan, Pak."

"Iya, itu dia. Makanya saya mau pulang duluan, ya, Njar."

Anjar sudah tahu jadwal pulang pria itu tanpa perlu diberitahukan bahwa Hugo akan segera pergi dari tempat kerja. Jika bukan ada pemberitahuan sebelumnya bahwa ada pertemuan penting, maka Hugo tidak akan ada di pabrik meki pekerjanya belum pulang. Tentu saja yang sibuk mengurus pekerja di pabrik adalah Anjar. 

"Eh, Pak ...."

Anjar terlihat tidak yakin untuk menyampaikan sesuatu kepada Hugo. Namun, Hugo tetap menunggu apa yang akan Anjar sampaikan. 

"Kenapa? Ada apa, Njar? Ada masalah?"

Anjar menggeleng. "Nggak, Pak. Nggak ada masalah. Saya cuma mau nanya, apa Bapak punya adik?"

Hugo tentu saja tidak tahu dimana Anjar menemukan pertanyaan aneh itu. Sebenarnya tidak aneh, karena Hugo memang tidak mengumbar mengenai keluarganya. Hanya saja seorang adik rasanya aneh di telinga Hugo karena dia memang tidak pernah menyinggung secara sekilas bahwa dirinya memiliki adik. Karena Hugo memang tidak memiliki adik. 

"Adik dari mana? Kamu mabuk? Emangnya saya pernah bilang kalo saya punya adik?"

Anjar menggeleng. "Iya, saya baru sadar kalo Bapak nggak pernah bahas punya adik."

Hugo tertawa singkat. "Kamu ini pertanyaannya aneh-aneh aja. Yaudahlah, saya mau pulang dan antri beli martabak."

Anjar mengangguk dan tidak meneruskan pembahasan apa pun. Di sudut lain, Anjar melihat Jakti yang pias karena sudah mendengar langsung obrolan Anjar dengan atasan mereka itu. 

Kalo Pak Hugo nggak punya adik, berarti yang di rumahnya itu ...? 

*** 

Wajah Zema sudah menunjukkan rasa penasaran dengan apa yang Hugo bawa. Perempuan itu semakin bersinar dengan kehamilannya. Menunggu sang suami adalah hal yang disukai oleh Zema dan Hugo bisa menebaknya dari reaksi wanita itu dengan baik.  

"Assalamualaikum.

"Waalaikumsalam. Itu bawa apa?"

Selayaknya anak kecil yang menunggu kepulangan ayahnya dan tak sabar dengan apa yang dibawa oleh sang ayah, begitu pula reaksi Zema saat ini. Hugo bahkan sampai tertawa karena sikap istrinya yang langsung mendekat untuk menarik plastik yang dibawa suaminya.

"Eits!" Hugo dengan cepat menarik plastik itu hingga lebih tinggi dari istrinya.

"Hugo, ih!" protes Zema. 

"Sambut dulu suaminya, baru dilihat bingkisan yang dibawa suaminya. Ini malah kamu langsung nyambut bingkisannya!"

Zema tersenyum terpaksa dan memeluk tubuh Hugo hingga wajah perempuan itu berada tepat di bawah dagu sang suami. 

"Kok, malah begini?" tanya Hugo.

"Tadi minta disambut? Giliran dikasih sambutan malah protes?"

"Dilihatin tetangga, Em. Kalo sambutan yang model begini mah nunggu aku masuk rumah dulu, tutup pintu, terus aku terkam kamu biar sambutannya nggak setengah-setengah."

Zema memukul bibir Hugo yang bicara sembarangan hingga membuat pikiran perempuan itu  melayang membayangkan hal nakal yang suka mereka lakukan. 

"Malah ditabok pula bibirku," ucap Hugo yang akhirnya mengikuti istrinya yang masuk lebih dulu ke dalam rumah.

Pasangan itu tidak menyadari bahwa semua kegiatan itu diamati oleh seorang pemuda yang hatinya tentu saja langsung terpatahkan dalam sekali gerakan. Jakti yang tidak naif menebak bahwa perempuan yang selalu dipedulikan oleh Hugo itu adalah adik dari pria itu. Jakti dengan bodohnya mengira memiliki kesempatan untuk mendekati istri dari pemilik mebel yang sukses itu. 

Untung saja Jakti tidak mengatakan dengan lantang kepada Hugo sebelumnya. Jika tidak, pria itu pasti tidak akan mempercayainya untuk magang lagi di pabrik. 

Patah hati dengan perempuan single ternyata tidak ada apa-apanya dibanding patah hati karena baru sadar sudah menyukai istri orang lain! Besok, mungkin Jakti akan menjadi bahan ejekan Anjar yang secara tidak langsung mengetahui ini semua. Nasib, nasib

[Hai! Bab 27 dan 28 secara full udah siap dibaca duluan di Karyakarsa, ya. Happy reading!]

Teman Tidur [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang