16/2 ; Kashihugo

4.1K 835 36
                                    

Hugo mendapati dirinya malah tertidur selama menunggu Zema membuatkan bekal untuknya. Padahal Hugo sudah tidur dengan baik tadi malam, tapi entah kenapa dorongan untuknya tidur dan membiarkan istrinya sibuk membuat bekal begitu keras. Hugo bahkan tidak dibangunkan oleh istrinya yang sudah duduk di sofa single dengan menghirup teh-nya dan televisi yang kini menunjukkan tayangan anak-anak.

"Sayang? Kamu udah beres bikin bekal aku?" tanya Hugo dengan kebingungan melanda.

"Udah," balas Zema singkat.

"Kenapa kamu nggak bangunin aku, Em? Kalo kayak gini aku telat ke pabrik, dong, Sayang!" 

Hugo langsung melihat ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan. Dua jam sudah Hugo tertidur dengan pulas. 

"Kamu bilang nggak bakalan ada yang berani marahin bos. Yaudah, dari pada nanti kamu ngantuk selama di pabrik, mendingan tidur aja dulu, terserah mau berangkat ke sana kapan aja. Iya, kan?"

"Astaga, Ema Sayang!"

Zema tidak terganggu sama sekali dengan Hugo yang merasa kesal karena bangun dan harus segera ke pabrik mebel. Pria itu memang mengatakan tidak ada yang berani untuk memarahi bos, tapi bukan berarti Hugo suka menjadi orang yang datangnya telat melebihi jam masuk kerja. 

"Mana bekalnya, Em?"

"Udah aku masukin tas kamu."

"Oh, oke." 

Hugo menghampiri istrinya dan memberikan kecupan di kening dan bibir. Tak lupa Zema mencium punggung tangan suaminya.

"Aku berangkat! Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

***

Hugo tidak memerlukan banyak pegawai yang tidak kompeten dalam bekerja. Salah satu keuntungan datang pagi, biasanya dia akan melihat pegawai mana saja yang disiplin waktu dan mana yang sangat santai meremehkan pekerjaan. Jika dirinya telat seperti ini, maka Hugo hanya bisa melihat pegawai yang cari muka saja. 

Ingin menyalahkan siapa jika dirinya ketiduran seperti tadi? Istrinya memberikan balasan yang fatal dan Hugo tak bisa membalasnya lagi. Ah, sudahlah! Hugo tidak akan segera bekerja jika malah kesal memikirkan dirinya yang menjadi telat.

Salah satu pegawai mengetuk pintu ruangan Hugo dan masuk setelah diizinkan olehnya. 

"Oh, kamu, Bing. Ada masalah apa, nih?"

Semua pegawai yang menghadap pada Hugo biasanya memang melaporkan masalah. Hugo tidak perlu meminta laporan mengenai keberhasilan karena memang selalu ada evaluasi yang Hugo sebut rapat setiap minggunya. Keberhasilan yang dicapai masing-masing divisi jelas dirangkum pada rapat mingguan. Sisanya, setiap harinya Hugo harus mendengar permasalahan yang tidak bisa diputuskan oleh pegawai karena semua keputusan adalah urusan Hugo sebagai pemilik.

"Nggak ada masalah yang berat, Pak. Ini Pak Hugo, cuma ada anak mahasiswa yang datang kepada saya dan bilang kalo dia direkomendasikan sama Bapak."

"Namanya siapa?"

"Jakti Kusuma Nagara, Pak."

"Oh. Dia memang butuh magang di sini. Sudah waktunya dia magang dan lulus cepat."

"Bapak mau taruh anak ini di bagian apa, ya, Pak? Saya agak bingung mau menempatkan anak ini di bagian mana karena dia kuliah jurusan Hubungan Internasional."

"Saya sudah banyak bicara sama Jakti, Bing. Dia memang nggak peduli dengan apa kerjaannya. Nggak berurusan sama jurusan kuliahnya juga dia nggak masalah. Saya percaya kamu bisa atur dia dibagian manapun, Bing. Tolong urus aja dia selama magang di sini, ya."

Bingkala hanya bisa mengangguk. "Berarti apa pun bagiannya, saya nggak akan mendapatkan masalah, kan, Pak?"

"Nggak. Kalo dia nggak betah magang di bagian yang kamu kehendaki, yaudah, biarin aja di cari yang lain. Yang butuh juga dia, kok."

Hugo bukannya tidak peduli, hanya saja dunia kerja memang sudah begitu keras. Hugo juga yakin Jakti bukan tipe anak yang pemilih dalam urusan pekerjaan. Zaman sekarang, meski hanya magang, jaminan untuk nantinya bisa langsung bekerja setelah lulus kuliah juga tidak akan semudah itu digenggam. 

"Baik, Pak. Saya cuma mau pastikan itu."

Hugo mengangguki. Bingkala pergi dari ruangannya dan Hugo menyadari begitu banyak pekerjaan yang harus Hugo cek kembali selama dirinya tidak ada di pabrik mebelnya yang sudah dikenal cukup banyak pihak. 

Perutnya mulai meraung, tapi Hugo tidak bisa begitu saja menuruti keinginan untuk makan karena pekerjaannya masih lumayan banyak. 

Ketukan di pintu mulai kembali terdengar. "Ya, masuk."

"Pak," panggil Anjar yang bisa disebut sebagai asisten pribadi Hugo di pabrik. 

"Eh, Njar. Kenapa?"

"Mau saya pesenin apa? Jadi, nanti pas jam makan siang nggak perlu nunggu lagi. Atau Bapak mau makan di kantin aja?"

"Oh, nggak usah, Njar. Saya udah dibawain bekal sama istri saya."

Anjar tersenyum penuh arti. "Tumben Pak Hugo mau bawa bekal?"

Biasanya memang Hugo enggan membawa bekal karena merasa seperti anak sekolah saja. Zema juga sudah terbiasa tidak membuatkan bekal sejak awal pernikahan mereka karena Hugo memang tak suka. Pasti aneh melihat Hugo sekarang membawa bekal.

"Udahlah, kamu kerja lagi sana! Jangan tumben-tumbenin saya."

Anjar tertawa pelan dan permisi untuk pergi. Hugo bisa melebarkan senyumannya karena sekarang dia bisa mencoba membuka bekal yang istrinya buatkan saja. 

"Tas kerja. Katanya udah dimasukin ke tas kerja."

Hugo terlalu antusias karena diingatkan untuk makan siang oleh Anjar. Mengingat Zema yang mau susah payah membuatkannya bekal, tentu saja hal itu sangat luar biasa dan membuat jantung Hugo berdetak karena euforia kebahagiaan. 

Senyumannya merekah sempurna, setidaknya sampai dia membuka kotak bekal yanng istrinya bawakan.

"Mie goreng? Telor ceplok?"

Hugo merasa ditipu habis oleh istrinya. Hugo diberi bekal yang biasanya dimakan oleh anak sekolah. "Ema! Astaga, Tuhan!"

Hugo tidak percaya, tapi tak bisa melakukan apa-apa. Dia akan selalu kalah dengan istrinya yang pasti bisa membalikkan kalimat protes Hugo. 

"Sabar, Go, sabar."

[Yang mau baca duluan sampe bab 20 silakan cek di Karyakarsa kataromchick, ya.]

Teman Tidur [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang