21/1 ; Zemaya

3.1K 774 60
                                    

[Kisah ini bisa kalian baca duluan di Karyakarsa sampai tamat.]

"Selamat siang, Mbak!"

Sapaan dari seseorang yang tidak terbiasa Zema lihat membuatnya langsung waspada. Suaminya tidak ada di rumah dan belum pulang karena katanya sedang berusaha mencapai kata deal dengan hotel besar. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Hugo karena pemasukan yang besar adalah tujuan utamanya menjadi pengusaha sukses. Karena kata Anjar mereka harus menyesuaikan jam si pemilik, maka Anjar dan Hugo harus mau menundukan kepala dan bersikap mengalah agar menarik perhatian si pemilik hingga kata deal mereka dengar dan lihat sendiri tanda tangan dibubuhkan.

Zema tadi sempat menyampaikan ingin makan soto Betawi yang kuah, acar, dan dagingnya enak. Zema bukan penyuka soto Betawi, biasanya yang hobi menyantap makanan itu adalah suaminya. Itu berarti anak di dalam perut Zema sedang berulah menginginkan makanan yang disukai oleh Hugo.

Sekarang yang Zema inginkan adalah kehadiran suaminya, bukan orang lain yang menyapa dengan riang dan terkesan berlebihan itu. 

"I ...iya. Kamu Jakti, kan?" balas Zema dengan kening agak berkerut. 

Jakti menganggukkan kepalanya dengan semangat. "Bener, Mbak."

"Ah, iya. Kamu kenapa ke sini? Ada apa, ya?" tanya Zema dengan kebingungan yang masih menyapa.

"Ini, Mbak. Saya disuruh Pak Hugo untuk beli soto Betawi dan kirim ke rumahnya beliau. Jadi, saya ke sini lagi buat kirim soto Betawinya."

Rupanya Hugo yang meminta Jakti untuk mengantarkan makanan yang Zema mau untuk kedua kalinya. Anak itu memang tidak terlihat jahat, tapi Zema tidak terbiasa akrab dengan orang asing. Ya, Jakti termasuk orang asing yang membuat Zema tidak begitu saja bisa merasa aman berada di dekatnya. 

"Oh ... bos kamu yang nyuruh kamu ke sini?"

Sekali lagi Jakti mengangguk dengan antusias. Zema tidak mengerti kenapa Jakti begitu hobi memandanginya dengan khas puppy eyes yang dimiliki lelaki itu. Zema yakin dirinya bukan sedang terlalu percaya diri, tapi sepertinya Jakti ini menaruh ketertarikan pada Zema.

"Oke, boleh saya bawa soto Betawinya?" tanya Zema yang tidak kunjung mendapatkan soto karena Jakti menggenggam bungkusnya dengan erat. 

"Oh, boleh. Maaf sampe lupa, Mbak."

Zema hanya bisa mengangguki dan tersenyum maklum. Tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Lebih dulu Zema cek pesanannya dan dia tidak menemukan nasi di dalamnya. 

"Kamu nggak beli nasinya?" tanya Zema cepat.

"Nasi, Mbak? Tadi Pak Hugo cuma pesan soto Betawi aja, makanya saya cuma beli sesuai arahan." 

Zema menggeram. Dia tidak sedang bernafsu untuk makan nasi buatan sendiri, entah kenapa dia malas sekali membuka penanak nasi. Tadi dia sudah mendambakan soto Betawi dengan sepiring nasi yang biasanya dikonsumsi sang suami. Zema ingin yang persis begitu, dia tidak suka jika harus menyantap soto tersebut dengan nasi di rumah.

Sepertinya Jakti menyadari ekspresi Zema yang tidak terpuaskan. Dengan cepat Jakti mengatakan, "Saya berangkat beli lagi kalo gitu, Mbak! Tolong tunggu sebentar, ya?"

"Eh?" Zema tidak enak hati membuat Jakti yang sibuk membelikannya makanan yang diinginkan.

"Jakti, tunggu!" Zema berjalan mendekati Jakti yang sudah menggunakan helm dan bersiap memacu motor. 

"Kenapa, Mbak?"

"Tolong kamu belikan lagi soto yang baru sepaket dengan nasinya. Sama belikan sop ayamnya. Jeruk nipisnya tolong minta yang lebih banyak, ya. Sama minta sambalnya juga agak banyak. Saya tadi cek sambalnya dikit, deh. Saya nggak suka kalo makanan nggak pede soalnya. Kamu juga jangan lupa bungkusin acar dan kalo ada gorengan hangatnya, tolong beliin juga."

Jakti terlihat syok dengan perintah Zema yang sangat banyak dan tidak bisa diingat dalam waktu singkat. Permintaan Zema terlalu banyak dan Jakti bisa dalam masalah jika pesanan perempuan itu tidak terpenuhi. Bisa saja Jakti kembali ke tempat penjualnya untuk ketiga kali jika begini.

"Gimana kalo Mbak-nya ikut aja? Saya anterin makan di tempatnya langsung biar sesuai sama request."

"Eh? Makan di tempat?" balas Zema yang mulai terlihat berpikir.

Jakti berharap dia akan mendapatkan anggukan karena dia akan dengan senang hati membonceng Zema di motornya. 

"Em ... nggak, deh! Saya maunya makan di rumah. Tolong belikan sesuai pesanan saya, ya! Makasih banyak Jakti."

Tidak menyangka bahwa Zema malah menolaknya dan memberikan semangat, Jakti akhirnya memilih untuk melakukan satu-satunya cara agar bisa membelikan pesanan Zema dengan tepat.

"Boleh saya rekam suaranya, Mbak? Saya lupa kalo harus ngulangin ke penjualnya tanpa ada catatan."

Zema menatap Jakti yang begitu serius, meski ingin mengomelinya tapi Zema tahu Jakti bukan suaminya yang bisa menjadi sasaran hormon kehamilannya. Dengan pelan Zema mengangguk dan mengulang kalimatnya untuk direkam oleh Jakti. 

"Nah, selesai!" ucap Zema yang ingin Jakti berangkat lebih cepat.

"Oke, Mbak. Saya berangkat."

Zema mengangguk dan berbalik badan lebih dulu. Jakti hanya bisa mendesah pasrah karena hingga saat ini belum mengetahui nama si mbak yang dia kagumi itu. Si mbak yang dia pikir adalah adik dari Hugo, bukan istri pria itu. Sabar, Jak. Ngejar adeknya Pak Hugo pasti butuh waktu lebih banyak. Semangat, Jak! 

Teman Tidur [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang