6/2 ; Kashihugo

5K 1K 58
                                    

Hugo akan terus bersikap manja pada sang istri. Dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang dirinya punya saat ini. Selama berada di rumah sakit, Zema benar-benar memperhatikannya. Kesempatan untuk begitu dekat istrinya itu sangat besar, bahkan jika biasanya Hugo tidak akan pernah dimandikan oleh Zema, maka kondisi ini membuatnya seperti seorang bayi yang sangat diurus dengan baik oleh Zema. Thanks, Bapak. Berkat pukulan yang gila itu, keuntungannya juga banyak.

Zema memang selalu perhatian kepada Hugo. Bahkan jika dipikirkan kembali, sejak awal pernikahan mereka berjalan, Zema memang tidak pernah menjadi istri yang tidak mengurusi Hugo.

Hugo menjadi ingat kembali bagaimana malam pertama mereka berjalan. Itu bukanlah malam pertama yang bisa diacungi jempol, justru Hugo merutuki dirinya saat itu.

"Kamu mau tidur satu kamar?" tanya Hugo.

Zema menatap pria yang sudah resmi menjadi suaminya dengan bingung. "Memangnya kamu nggak mau?"

Hugo yang saat itu tidak begitu mengenal Zema, karena mereka dijodohkan, berdecak dengan balasan dari mulut Zema yang terlalu santai dan tidak peka.

"Kita baru kenal tiga bulan yang lalu. Menikah juga nggak punya banyak pengalaman bareng. Kamu nggak merasa asing dengan semua ini?"

"Kita memang orang asing sejak awal, tapi tujuan menikah setelah perkenalan seadanya selama tiga bulan itu untuk lebih saling mengenal, kan?"

Hugo tidak menyangka Zema begitu mudahnya mengatakan demikian. 

"Aku mau jujur, aku risih." Hugo menyampaikan apa yang ada dalam pikirannya.

"Risih deket-deket aku?" tanya Zema.

"Semuanya."

Ada jeda yang mengisi suasana malam pertama mereka. Zema tampak berpikir dan Hugo tak sabar menunggu balasan perempuan itu.

"Aku nggak bisa mengalah untuk tidur di lantai atau keluar. Kalo kamu nggak nyaman, kamu yang pilih sendiri mau tidur di mana."

Hugo terkejut dengan balasan yang Zema berikan, terlebih lagi wajah perempuan itu tidak berubah sama sekali. Jelas saja Hugo merasa tersinggung.

"Kamu itu istri, tapi kamu nggak patuh sama suamimu sejak malam pertama pernikahan."

Komentar Hugo bisa membuat perempuan itu menatap ke arah suaminya dengan tak nyaman. 

"Kamu sendiri yang memilih begitu. Kalo kamu mau aku jadi istri yang penurut, kamu tinggal bilang mau apa. Asal semuanya masuk akal. Aku bahkan nggak bersikap seperti perawan tanggung yang bilang nggak siap untuk melayani kamu, kan?"

Mulut Zema itu bagaikan petasan yang mmeletupnya terlambat dan membakar si empunya ketika berusaha melihat apakah isi petasan tersebut sudah habis atau tidak. Hugo merasa kalah dan terbakar dengan jawaban yang Zema berikan. Perempuan ini benar-benar menyulut emosi Hugo hingga ke titik paling dalam.

"Oh, jadi gitu?" balas Hugo.

Zema hanya diam dan menunggu lanjutan dari suaminya.

"Kalo gitu, aku mau kamu melayani aku sebagai suami kamu malam ini. Kamu nggak akan nolak, kan?"

"Baik. Aku beresin riasan ini dulu."

Hugo tidak berhenti di sana, dia menyuarakan kalimat yang datang dari ide gila di kepalanya.

"Aku mau dilayani, tapi aku nggak mau ada hubungan yang terlalu mengikat diantara kita. Hubungan ranjang nggak boleh membuat kita langsung merasa saling memiliki. Kita orang asing yang disatukan dalam pernikahan ini. Jadi, aku cuma mau kita jadi teman tidur. Bukan pasangan seperti yang kamu bayangkan."

Zema mengusap bibirnya dengan pembersih, lalu membalas. "Memangnya apa yang aku bayangkan?"

"Ya, mana aku tahu! Kenapa kamu tanya aku?! Pikir aja sendiri!" 

Zema mengangguk-angguk. "Jadi, status suami istri itu cuma tempelan aja? Dan status yang kamu inginkan adalah teman tidur, gitu?"

Hugo menjentikkan jari. "Pinter!"

"Berarti aku nggak boleh kamu larang untuk pakai kontrasepsi, kan? Selama kamu menamakan hubungan kita ini teman tidur, aku nggak mau ada anak."

Hugo terlihat keberatan karena keberadaan anak pasti akan ditunggu-tunggu oleh keluarga mereka. Terlebih lagi Hugo memang suka dengan anak-anak. Namun, pemikiran Zema ada benarnya. Mereka tidak bisa memiliki anak dengan posisi sebagai 'teman tidur' saja. 

"Ok, aku nggak akan larang kamu untuk menggunakan kontrasepsi. Nggak masalah."

Dan Hugo menyesali ucapannya yang berasal dari ide kacaunya saat itu. Jika saja Hugo tidak gegabah, tidak akan begini akhirnya. Zema dengan mudahnya menggugurkan janin juga pasti karena memikirkan ucapan yang Hugo sampaikan sejak awal mula pernikahan mereka. Padahal, selama tiga tahun berjalan, Hugo dan Zema sudah memiliki sistem yang cocok. Hugo yang banyak mau dan banyak bicara, dan Zema yang cekatan tidak banyak bicara. 

Hugo hanya tak suka istrinya yang hampir tidak pernah menunjukkan keluhan. Zema selalu bergerak tanpa bicara. Terkadang sikap itu menguntungkan, tapi juga mengesalkan. Hanya karena rata-rata perempuan yang Hugo temui memiliki gaya bicara manja dan lebih suka bicara untuk dimengerti, Hugo tidak menerima dengan baik sikap Zema yang berbeda. 

Jika saja Hugo tidak terlalu kasihan pada Cinta, mungkin hubungannya dan Zema masih berjalan dengan baik. 

"Mikirin apa kamu?" tanya Zema mengaburkan lamunan Hugo.

"Hah? Nggak. Aku kayaknya agak ngantuk aja." Hugo menepuk sisi ranjangnya. "Sini. Seperti yang aku bilang tadi pagi, kamu bisa tidur seranjang sama aku."

Zema menarik reseleting tas kebutuhan suaminya dan menoleh pada Hugo. 

"Simpan harapan kamu itu di dalam mimpi. Sebentar lagi kita pulang, tinggal nunggu suster jemput."

"Apa?"

Zema menyeringai. "Kita tidur di rumah orang tuaku. Berdoa aja malam ini kamu bisa tidur nyenyak, teman tidurku!" 

Teman Tidur [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang