"Oke. Nggak masalah kamu mau menganggap aku apa. Aku akan buktikan ke kamu bahwa aku bisa menjadi suami yang baik buat kamu."
Zema agaknya terkejut mendengar balasan yang suaminya berikan. Dia tidak tahu bahwa Hugo memang sangat dablek. Pria itu rupanya tidak peduli pada apa yang Zema katakan dan malah ingin menunjukkan diri sebagai suami yang baik.
"Kamu sadar atau nggak, sih, selama ini kamu terlalu jahat sama aku, Go?"
Hugo melepaskan pelukannya yang erat itu. Mereka saling bertatapan dan Hugo menggeleng dengan pertanyaan sang istri.
"Aku jahat sama kamu?"
"Hm. Sejak awal kita menikah, kamu membuat aku menjauh. Kamu membuat aturan nggak jelas, nggak mau bersikap selayaknya suami tapi selalu menuntut hak suami. Kamu nggak pernah nunjukkin perhatian, dan kamu bahkan lebih percaya perempuan lain dan menjelekkan istri kamu. Apa kamu pikir itu perbuatan yang biasa aja? Kamu pikir aku baik-baik aja dengan bersikap diam selama ini?"
Hugo tidak bisa banyak berkata. Apa yang Zema ucapkan kini adalah hal yang benar untuk Hugo renungi. Dia tidak sadar sudah melakukan hal yang keterlaluan pada istrinya sendiri. Hugo terlalu abai dengan proses yang terjadi sejak awal pernikahan. Padahal yang namanya perempuan selalu ingat hal sekecil apa pun dengan rasa sakit yang diberikan oleh pasangan mereka.
"Aku minta maaf--"
"Dengerin dulu. Kamu nggak bisa main minta maaf untuk langsung menyelesaikan masalah. Bagiku masalah ini sudah ditanam sejak awal pernikahan, Go. Aku nggak ngerti kenapa kamu nggak mau berpisah dariku setelah semua penyiksaan yang kamu dapat dari bapakku. Jadi, aku akan jelaskan banyak hal yang bisa mendukung kita untuk nggak bersama lagi."
Hugo kembali menggelengkan kepala dengan kuat selayaknya anak kecil yang tidak mau menerima sesuatu.
"Aku nggak mau pisah, Em."
"Kenapa? Kamu bahkan udah menilai aku terlalu pasif, kamu nggak suka dengan aku karena aku yang terlalu diam."
"Aku nggak suka sifat kamu yang terlalu diam itu bukan berarti aku nggak suka kamu seluruhnya!"
Zema mencoba memberi jarak pada pembicaraan mereka. Dia mengamati Hugo yang terlihat sangat frustrasi dan menggebu untuk menyampaikan hal tersebut. Sejujurnya Zema menjadi lelah sendiri untuk melanjutkan ajang balas membalas pada suaminya itu. Sejauh ini Hugo memang tidak mengerti dengan tindakan yang sudah diambilnya. Hugo berpikir bahwa selama tiga tahun berjalan baik-baik saja dari luar, maka pernikahan mereka memang baik-baik saja. Padahal tidak ada perubahan di dalam rumah tangga mereka dan cenderung tidak berkembang.
"Kamu mencintaiku?" tanya Zema untuk mendapatkan jawaban yang jelas dari suaminya.
"Aku jelas mencintai kamu. Tiga tahun memangnya kita ngapain, Em?"
"Tiga tahun ngapain? Ya, jelas aku nurutin kemauan kamu buat jadi teman tidur doang!"
Zema tidak akan merasa sangat marah jika tahu suaminya mencintainya. Jika saja sejak awal Hugo mengatakan demikian, dia pasti akan mengalah dan memperjuangkan cinta mereka. Sayangnya, sejak awal Hugo hanya menjadikannya teman tidur dan ketika Zema mendengar curhatan yang hanya seperti berbagi aib pada orang lain dari mulut Hugo, bayangan pertama kali yang muncul adalah pria itu yang tidak mencintainya. Jika orang tidak mencintai, maka sama saja ada keinginan untuk berpisah, kan?
"Yakin itu cinta? Bukan nafsu semata aja? Selama kamu di rumah sakit yang kamu kodein ke aku juga cuma kata-kata mesum aja."
Hugo memberikan tanda V di depan istrinya untuk membuat Zema yakin bahwa memang dia serius.
"Aku nggak akan mempertahankan kamu kalo aku nggak cinta sama kamu. Ngapain jalanin tiga tahun kalo aku bisa aja pisah sama kamu setelah setahun atau dua tahun tanpa cinta, Em?"
"Bukannya laki-laki bisa tanpa perasaan cinta? Yang penting kebutuhan perut dan di bawah perut terpenuhi. Iya, kan?"
Pertanyaan Zema justru seperti menantang. Hugo tidak suka sekali dengan tantangan jika tak bisa diraih. Pria itu menatap Zema dengan urat di kening yang menonjol.
"Awalnya memang gitu, tapi tiga tahun bisa merubah banyak hal. Khususnya perasaan, Em."
Untuk sejenak Zema memang tidak bisa menyalahkan Hugo sepenuhnya. Ada andil dari sikap Cinta yang aneh. Menurut Zema, perempuan itu bukan tertarik pada Emil Emil itu, melainkan tertarik pada Hugo. Mungkin saja Emil juga bekerja sama dengan Cinta untuk membuat alasan ini itu agar Hugo bisa ditipu di tempat yang sama.
"Aku kasih kesempatan sama kamu sekali lagi," ucap Zema.
Dia memang memberikan kesempatan pada Hugo sembari menunggu bayinya lahir. Zema juga masih membutuhkan waktu untuk bisa berpikir. Dia ingin berpisah, tapi alasan karena suaminya bersama perempuan di hotel tanpa memiliki maksud apa-apa sepertinya terlalu gegabah. Zema akan mencoba melihat apa yang suaminya bisa lakukan untuk mencegah sikap Cinta si gila itu.
"Makasih, Ema." Wajah Hugo terlihat sangat senang mendengar ucapan istrinya.
"Tapi kesempatan itu akan langsung hilang begitu kamu nggak bisa bersikap tegas ke perempuan itu. Karena perselingkuhan ada karena terbiasa dan kesediaan kedua belah pihak, Go."
Hugo menggenggam tangan sang istri dan langsung menciuminya. "Aku pasti memberikan yang terbaik, Em. Aku akan bersikap tegas. Aku nggak mau kehilangan kamu."
Lalu, tatapan Hugo membuat Zema mengernyit saat berubah begitu cepat.
"Malam ini boleh buka puasa, Em?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Tidur [TAMAT]
General Fiction[Baca lengkap di Karyakarsa 'kataromchick'] Kashihugo Bijaksana dan Zemaya November adalah pasangan yang unik. Keduanya memiliki nama yang akan menjadi bahan perbincangan-ejekan-orang. Orang tua yang saling melengkapi; orang tua Hugo begitu ramai, d...