12/1 ; Kashihugo

4.2K 953 31
                                    

Kepala Hugo agaknya sedikit pening karena dia merasakan dua pertanyaan besar di dalam kepala saat ini. Zema bukan orang yang senang bermain-main dengan sesuatu, perempuan itu selalu mengatakan dan melakukan sesuatu dengan serius. Meski memiliki keyakinan istrinya tidak akan mengugurkan anak mereka, tapi Zema jelas sudah membuat Hugo yakin bahwa tindakan menggugurkan kandungan itu benar. Lalu, mana yang benar sekarang? Apakah Zema membohonginya? Atau justru membohongi keluarganya?

"Nak Hugo, kenapa berdiri di sini?"

Panggilan dari ibu mertuanya membuat Hugo ketahuan. Zema dan bapaknya menatap ke arah Hugo dengan tensi yang berbeda tentu saja. Zaka yang tidak tahu apa-apa hanya menatap dengan datar, sedangkan Zema yang sudah pasti merasa menjadi tokoh utamanya merasakan ketegangan karena Hugo berdiri dengan wajah yang agak pias karena terkejut dengan fakta kehamilan yang disebutkan oleh Zaka.

"Kamu mau ikut bicara sama bapak dan istrimu?" tanya Windu lagi. 

Hugo tersenyum dengan bingung, dia tidak bisa langsung menanggapi ibu mertuanya karena masih merasa bingung. Sebagian dirinya merasa lega, tapi sebagian lagi merasa tak percaya. Hugo belum tahu mana kebenaran yang sebenarnya. Tapi nggak mungkin Zema bohong sama orang tuanya. 

Keadaan mendukung Zema untuk menyembunyikan segalanya. Padahal, seharusnya para orang tua menyeletuk di depan Hugo mengenai kehamilan yang tidak digugurkan perempuan itu, jika memang Zema membohongi Hugo saja. Entah kenapa para orang tua tidak ada yang memberitahunya bahwa Zema sudah membagi tahu kehamilan itu. Jika memang sudah digugurkan, untuk apa diberitahu kepada orang tua?

"Bu, maaf ...." 

Windu terlihat tak kalah kebingungannya. "Kenapa kamu minta maaf sama Ibu? Kamu ada salah apa?"

Zema dan Zaka melangkah mendekati mereka, Hugo tentu saja tidak bisa mengalihkan tatapannya dari sang istri yang sudah memasang ekspresi biasa saja. Hugo tidak mengerti kenapa perempuan itu bisa sangat santai dalam situasi seperti ini.

"Aku nggak paham kenapa kamu melakukan ini, Ema."

Windu dan Zaka menatap menantu mereka dengan pandangan penuh tanya. 

"Apa yang Zemaya lakukan, Nak Hugo?" tanya Windu.

"Ema sudah membohongi saya kalo dia sudah menggugurkan kandungannya, Bu, Pak. Sampai saat ini, kalo saya nggak sengaja mendengar Bapak mengkhawatirkan cucu di dalam perut Ema, saya masih akan berpikir anak kami sudah nggak ada."

Zema tidak merasa perlu menutupi diri. Dia tidak menyangkal untuk semua yang dikatakan oleh suaminya. Bapak dan ibu perempuan itu hanya bisa menatap Zema dengan tatapan menuntut jawaban.

"Kamu nggak akan paham karena bukan kamu yang merasa dikhianati. Aku secara spontan mengatakan sudah menggugurkannya ke kamu supaya rasa bersalah kamu semakin besar. Dan sekarang kamu udah tahu segalanya, ya udah. Nggak ada yang perlu aku tutupi lagi."

Hugo tidak bisa berdiri dengan benar, tubuhnya agak oleng tapi tidak ada yang memeganginya karena dia memang laki-laki yang dinilai kuat secara fisik dan telah sembuh dari luka pukulan dari Zaka. 

"Apa kamu sekarang nggak mau membawa aku pulang ke Jakarta karena kamu udah nggak ngerasa bersalah?" Zema melontarkan pertanyaan yang menurut Hugo sangat konyol.

"Kamu ini bicara apa, Ema??! Aku justru merasa bodoh karena nggak tahu keberadaannya sejak awal! Dua kali aku kehilangan momen untuk menyambutnya dengan benar, Ema!"

"Sekarang kamu udah tahu, nggak perlu kamu membuat ini berlarut-larut. Jangan sampai kita bertengkar di depan bapak dan ibu."

Zema mengingatkan diwaktu yang tepat, apalagi mereka sudah membeli tiket untuk pulang hari ini. Jangan sampai mereka malah bertengkar di depan orang tua Zema dan tidak jadi kembali ke Jakarta hingga menimbulkan banyak masalah lagi nantinya. 

Hugo memilih untuk pergi ke kamar yang digunakannya bersama Zema semenjak kembali dari penginapan. Tidak bisa menghadapi Zema di depan orang tua perempuan itu. Hugo tak mau menjadi dramatis, tapi jelas ada rasa marah karena dibohongi oleh Zema hingga ketakutan bukan main.

Pintu kamar yang terdengar dibuka dan ditutup kembali menunjukkan bahwa Zema masuk tanpa bicara apa-apa.

"Aku bukannya nggak merasa bersalah, Em. Aku kesal karena kamu mempermainkan hal yang sangat serius."

"Aku juga melakukan itu karena kesal dan marah sama kamu."

"Terus kenapa kamu nggak bilang atau menjelaskannya waktu kita punya waktu berdua?"

"Kamu nggak tanya."

Hugo menjambak rambutnya sendiri karena frustrasi menghadapi respon istrinya. "Astaga, Ema!"

Hugo sudah bersiap akan meluapkan rasa kesalnya dengan mengoceh, tapi gerakan Zema yang menyentuh perut dan meringis pelan membuat Hugo langsung panik. 

"Kenapa? Apa ada yang sakit, Em?"

Zema menghela napas dan mendorong tubuh Hugo. Hal itu malah membuat Hugo semakin panik. 

"Ema?"

"Kamu mau marah, kan? Ngomel aja, aku nggak mau kamu sentuh aku dan anakku apa pun alasannya. Kamu, kan, nggak suka aku udah bikin kamu merasa bersalah. Iya, kan? Lanjutin aja marahnya!"

Jika begini, bagaimana bisa Hugo marah? Dia sudah jelas kalah dari istrinya dalam memenangkan perdebatan dengan alasan anak mereka. 

Teman Tidur [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang