3/1 ; Zemaya

6.2K 1.2K 71
                                    

Zema tertidur lelap. Ya, dia bisa tidur dengan lelap setelah perjalanan yang memakan waktu hampir delapan jam di perjalanan menuju Semarang. Bus bukanlah pesawat yang lebih cepat. Jadi, dengan modal aplikasi booking hotel, Zema bisa beristirahat di kamar yang nyaman dengan debit card milik suaminya. Untung saja Hugo tidak pernah menutupi seluruh nomor PIN kartu-kartu yang dimiliki oleh pria itu.

Meski kemungkinan besar Hugo akan tahu dimana posisinya, karena akan muncul keterangan pengeluaran di aplikasi m-banking pria itu. Zema tidak peduli. Dia tahu Hugo manusia paling tidak peka yang dikenalnya. Pria itu tidak akan sadar jika tidak membuka m-banking di ponsel dengan sengaja. Lagi pula, untuk apa dia membuka m-banking disaat pusing diserang berbagai pihak?

Sudah paling pas Zema hidup tenang seperti ini untuk sementara waktu bersama janin di perutnya yang hobi tidur. Memikirkan diri sendiri bukan hal yang salah, karena Hugo juga selama ini tidak begitu memikirkan Zema. Diperjuangkan dan menjadi perhatian utama oleh suami sendiri bukan masalah besar, kan?

Meski sibuk untuk tidur, nyatanya Zema tidak bisa tenang karena gangguan dari teleponnya yang terus berbunyi. Salah dirinya juga karena sudah malas mematikan ponselnya saat menggunakan aplikasi booking hotel.

"Apa, sih? Berisik banget! Orang lagi mau tidur juga!"

Zema tidak membaca nama yang terpampang di layar ponselnya. Dia asal mengangkat dan me-loudspeaker panggilan tersebut.

"Zemaya?"

Zema tertegun mendapati suara itu.

"Bapak?" sahut Zema yang langsung mengubah posisi menjadi terduduk di ranjang.

"Di mana?"

Bapaknya bukanlah pria yang suka basa basi. Selalu saja bahasa yang digunakan to the point dan menginginkan jawaban jelas.

"Di ... Zemaya nggak bisa bilang, Pak."

"Di Jakarta?"

"Nggak, Pak. Aku nggak di Jakarta."

"Hm. Mau ke rumah atau nggak?"

"Iya."

"Kapan? Biar dijemput."

"Belum tahu. Zemaya belum siap ketemu banyak orang."

"Sendirian ditemani setan. Pikiranmu kemana-mana nanti."

Zema selalu menangis jika diajak bicara oleh bapaknya. Bukan karena takut atau bapaknya terlalu galak, tapi karena bapaknya tidak seperti kebanyakan pria. Bapaknya lebih peka meski menggunakan bahasa yang singkat. Pria yang membuatnya selalu menurut itu adalah gambaran pria yang Zema inginkan. Tidak banyak bicara, tapi banyak tindakan nyata.

"Zemaya nggak berpikiran buruk. Jangan salahin setan, Pak."

"Kalo nggak mikir buruk, ngapain ngumpet? Bapak sama ibu masih hidup, ngapain sendirian? Kecuali kami udah mati, kamu boleh tinggal di kuburan sendirian."

"Ya Allah, Bapak! Kenapa ngomongnya begitu?"

"Bilang kapan mau dijemput, atau kirim aja alamatnya. Bapak jemput tanpa perlu tanya."

"Iya, Pak."

"Kirim habis telepon ini ditutup. Jangan telat."

"Iya, Bapak."

"Iya."

Sambungan terputus dan Zema menatap ponselnya yang sudah berganti menu. Sepertinya orang tuanya sudah tahu mengenai kelakuan Hugo.

Bicara mengenai Hugo, harusnya wajah pria itu sudah viral, kan? Maka dengan cepat Zema mencoba mencari tahu dimana video itu viral. Sejauh ini, Zema hanya memiliki akun Instagram yang dia sembunyikan dari sang suami. Dia berniat akan mengulik apakah ada orang iseng yang membuat drama di hotel itu terkenal atau tidak. Namun, tanpa perlu mencari, akunnya yang dikunci sudah mendapatkan tag dan permintaan pesan dari banyak akun.

"Astaga, manusia Indonesia cepat sekali kalo ngulik orang."

Zema benar-benar tidak tahu bagaimana caranya semua orang kepo itu tahu akunnya. Bahkan mengirimkan pesan yang tidak Zema ingin baca. Meski kebanyakan mendukungnya, tapi tetap ada akun yang mengirimkan pesan bahwa suami selingkuh karena istri memiliki banyak kekurangan. Zema hampir tersulut jika saja tidak teringat orang tua.

"Sabar, Ema. Sabar."

Memutuskan untuk keluar dari akun Instagram, Zema membuka aplikasi chatting dan mengirimkan alamat hotel kepada nomor bapaknya. Dia tidak mau bapaknya malah bergerak sendiri untuk mencari tahu keberadaannya.

Setelahnya, dia melemparkan ponsel ke sisi ranjang yang kosong. Pikirannya tetap pusing meski dia menginginkan kelakuan suaminya dihujat banyak pihak. Ternyata tetap saja dia juga ikut dihujat oleh beberapa pihak. Zema harus kuat mental untuk melakukan rencananya.

Terlebih lagi dia memiliki calon bayi yang akan semakin tumbuh besar di dalam perutnya.

"Kamu jangan marah kalo Embu bilang mau gugurin kamu ke pria itu, ya?"

Embu, itu adalah panggilan impian Zema jika kelak menjadi ibu. Embu—Ema seorang ibu.

"Embu nggak beneran, kok. Embu cuma mau gertak pria itu."

Kemarahan masih begitu kental menguar di hati Zema, hingga menyebut Hugo sebagai pria itu di depan perutnya.

"Kalo dia hidupnya baik-baik saja, dia nggak akan pernah berjuang untuk kamu juga nantinya. Biarin dia kesusahan. Lagi pula Embu juga punya usaha online, kok. Pria itu bangkrut, Embu masih bisa hidup. Malah bagus, supaya perempuan yang keliatan ganjen ke pria itu bisa kabur karena nggak punya apa-apa!"

Zema mendengar denting notifikasi pesan. Mau tak mau dia membuka kunci layar ponselnya. Matanya menyipit mendapati kontak sang ibu mengirim pesan.

[Ibu] Zemaya, suamimu masuk rumah sakit. Parah.

Teman Tidur [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang