5/1; Zemaya

6K 1K 34
                                    

Tidak ada pilihan yang menyenangkan dalam menjalani hidup. Pilihan A atau B, semuanya memiliki risiko yang harus dihadapi. Yang namanya risiko tidak akan pernah menyenangkan untuk dirasakan. Itulah kenapa Zema juga melihat dirinya dan Hugo demikian. Mereka berdua adalah pilihan di mata orang lain. Tergantung orang-orang itu mau memilih siapa, Zema atau Hugo? Memilih salah satu dari mereka juga memiliki risiko.

Memilih Hugo, dia adalah pria plin plan yang tidak jelas apa keinginannya. Memilih Zema, pendiam yang sulit mengatur emosi ketika sudah tersulut. Keduanya tidak benar-benar baik untuk dipilih, tapi itu normal. Mereka berdua manusia yang penuh dengan kekurangan.

Namun, Zema tak mau kekurangannya menjadi kelemahan yang bisa menyerangnya dengan ganas. Dia ingin kekurangannya bisa ditekan dan membuat orang lain tidak macam-macam dengannya. Termasuk suaminya sendiri. Menyepelekan Zema adalah kesalahan besar, satu-satunya kesempatan yang pria itu punya adalah menikmati penyiksaan yang Zema lakukan.

"Dari tadi tidur terus?" tanya Windu yang baru datang bersama dengan para tetua lainnya.

"Iya, Bu."

Zema tidak berniat menjawab bahwa dia membuat drama dan menyuruh beberapa tenaga ahli memberikan obat tidur pada Hugo dengan alasan yang meyakinkan. Zema malas melihat suaminya membuka mata dan harus terus memperhatikannya. Pria itu lebih baik tidur dan Zema akan lebih leluasa tidak melakukan apa pun.

"Tadi Hugo sudah bangun, Mbak. Mungkin rasa sakit bikin dia kelelahan."

Windu begitu baik menjelaskan segalanya pada Kiana yang terkejut melihat kondisi putranya. Wijaya juga terlihat menyugar rambutnya tak percaya bahwa Hugo sampai terkapar di rumah sakit begini.

"Apa harus separah ini anak saya menanggung kesalahannya?" tanya Wijaya yang menunjukkan rasa tak terima.

Zaka menatap dengan datar pada Wijaya. "Kalau putri saya yang selingkuh, saya bahkan bisa memasungnya karena melakukan perbuatan tercela."

Zaka adalah pria yang selalu memegang ucapannya. Diamnya pria itu memang karena lebih banyak bertindak. Meski terdengar kejam, tapi Zaka memang tidak mewajarkan perbuatan tercela, khususnya perselingkuhan.

"Kita belum mendengarkan penjelasan Hugo mengenai kejadian yang sebenarnya, Pak Zaka. Harusnya kita bisa bicara baik-baik lebih dulu."

"Apa pun penjelasannya, Hugo sudah melibatkan pihak ketiga dalam pernikahannya. Putri saya sedang hamil, menangis-nangis seperti perempuan tidak berharga di lorong hotel, disaksikan banyak orang, bahkan direkam hingga aib keluarganya diketahui sejagat raya. Kalau itu anak Anda, apa masih bisa bicara baik-baik?"

"Pak Zaka—"

"Pa, berhenti berdebat." Kiana menghentikan suaminya yang berniat untuk memperpanjang perdebatan.

"Ma, Hugo ...."

"Dia sudah melakukan kesalahan, Pa. Ini resikonya. Kita nggak perlu berdebat untuk urusan rumah tangga Hugo dan Ema."

Zema melihat kondisi ini seperti dua kubu yang berseberangan. Anehnya, kubu yang berseberangan bukan terdiri atas orang tua Zema dan orang tua Hugo, justru mereka saling bersilang. Zaka didukung oleh Kiana dan Wijaya memperlakukan Hugo seperti Windu. Benar-benar pemandangan yang aneh bagi Zema.

"Kamu kelelahan, Zemaya?" tanya Zaka pada putrinya.

Zema menatap keempatnya yang mengamatinya dengan seluruh perhatian mereka. Mungkin karena keberadaan janin di dalam perutnya semua orang memperhatikannya demikian.

Zema menggunakan kesempatan itu untuk menarik simpati para orang tua. Dia memang marah pada Hugo, dan berniat membalas pria itu yang telah mengecewakannya. Tentu saja pembalasannya tidak boleh gegabah.

"Aku nggak apa-apa, Bapak."

"Ema, kalo kamu kelelahan, biar mama yang menjaga Hugo di sini."

Kiana memang mama mertua yang baik, tapi kebaikan mama mertuanya itu tidak cukup untuk membuat kekecewaan dan kemarahan Zema hilang.

"Aku mau nemenin Hugo di sini, Ma. Bagaimanapun Hugo tetap suamiku, ayah dari anakku."

Semakin Zema bersikap penuh pengertian dan tidak berdaya, semakin dirinya dipedulikan dan dibela lebih besar. Jika tidak mendapat pembelaan pun, Zema akan tetap membalas Hugo. Atau langsung saja melakukan proses perceraian supaya pria itu kapok harus jauh dari anaknya kelak.

Kiana mendekati Zema, menggenggam tangannya dan mengatakan hal yang mustahil bagi Zema. "Maafin Hugo, ya, Ema."

Ingin sekali Zema membalas mama mertuanya, "Hah? Apa? Minta maaf? Mimpi!"

Namun, demi sopan santun, Zema tidak mengatakannya. Alih-alih berkata tidak sopan, Zema tetap membalas mertuanya dengan kalimat yang lebih lembut.

"Untuk saat ini sulit bagi aku memaafkan Hugo, Ma. Kita sama-sama perempuan, dan Mama pasti mengerti rasanya. Meski belum bisa memaafkan Hugo, aku tetap akan menjalankan tugasku sebagai istri. Aku nggak akan mengingkari itu, tapi jangan paksa aku untuk memaafkan kesalahan fatal Hugo. Setelah Hugo sehat kembali, kami akan membicarakannya dan mengambil keputusan yang terbaik."

Belum mengetahui keputusannya saja Kiana sudah menangis. Zema enggan melihat mertuanya menangis karena itu hanya mengikis rasa teganya untuk membalas Hugo. Maaf, Ma. Aku hanya manusia biasa. Butuh waktu untuk memaafkan, atau bahkan nggak ada waktu untuk bisa memaafkan Hugo.

[Bagi yang mau baca dua bab langsung bisa mampir ke akun Karyakarsa aku, ya. Di sini masih di-update, cuma lebih cepat di KK aja.]

]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Teman Tidur [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang