15/1 ; Zemaya

3.9K 852 19
                                    

Zema tidak melihat keberadaan suaminya saat bersiap untuk melemparkan bantal begitu membuka pintu. Pria itu rupanya sudah lebih cepat kabur. Padahal Zema akan menyerang pria itu dan melampiaskan rasa kesalnya. Bukan hal yang aneh jika Zema masih kesal pada suaminya karena keberadaan Cinta tadi. Perempuan itu adalah teman Hugo, jelas saja Zema kesal kenapa pria itu bisa dan mau berteman dengan Cinta.

"Sial, papa kamu ternyata lebih cepet kaburnya!" Zema langsung menutup mulutnya. "Eh—maaf, ya. Bukan maksudku ngatain kamu sial. Itu refleks aja ngatain papamu."

Zema tidak paham kenapa ada perempuan yang sembrono dan tidak tahu diri seperti Jacinta itu. Apa yang diharapkannya dari mengemis cinta serta perhatian suami orang? Apa menurutnya Hugo akan berpaling dengan semua usahanya yang murahan itu?

"Assalamualaikum!"

Perhatian Zema teralih pada suara salam dari arah depan rumah. Siapa yang datang jam segini disaat Zema baru kembali dari pulang kampung?

Zema meletakan bantal di sofa karena tak mau membuat orang tersebut menunggu.

"Waalaikumsalam," jawab Zema begitu mendapati wajah orang di depan gerbang rumahnya.

"Permisi, Mbak. Ini rumah Pak Kashihugo, bukan, ya?" tanya si tamu yang belum Zema persilakan.

"Iya, benar. Mas ini siapa, ya?"

Senyum di wajah pria itu mengembang sempurna. "Akhirnya saya nemuin rumah Pak Kashihugo."

Zema benar-benar tidak mengerti kenapa ada pria yang begitu bahagia menemukan alamat rumah suaminya. Tidak mungkin setelah Jacinta muncul bibit penyuka sesama jenis yang menginginkan untuk dekat dengan Hugo, kan? Apa suaminya sepopuler itu? Bahkan di kalangan laki-laki?

"Oh, maaf. Saya lupa memperkenalkan diri. Nama saya Jakti Kusuma Nagara, Mbak."

Zema menatap pria yang bernama Jakti itu dengan curiga. Dia tidak bisa begitu saja percaya dengan apa yang lelaki itu katakan. Bisa saja nama itu hanya tipuan, apalagi susunan nama lelaki itu terlalu kaku dan terlalu berlebihan

"Jakti ... jadi, kamu siapa? Kenapa mencari rumah Pak Hugo?"

"Saya mau magang di perusahaan Pak Hugo. Saya mahasiswa semester tujuh, Mbak. Pak Hugo pernah seminar di kampus saya, terus saya tertarik buat magang di perusahaannya."

Zema tidak pernah menyebut pabrik mebel suaminya adalah perusahaan. Tempat itu adalah tempat dimana para pekerjanya lebih banyak bekerja berat dan kasar secara pengamatan Zema. Padahal memang ada karyawan yang memang mengurus barang keluar dan masuk, keuangan, pemasaran dan semacamnya. Hanya saja Zema merasa aneh dengan sebutan perusahaan untuk pabrik mebel suaminya. 

"Kamu datang lain kali aja. Pak Hugo lagi nggak ada di rumah."

Zema sedang tidak ingin untuk berbasa-basi dengan siapa pun. Suasana hatinya sedang tidak bagus, jadi lebih baik untuk tidak memaksakan komunikasi pada orang lain.

"Loh, loh, Mbak? Saya diminta langsung ke rumahnya--"

"Hubungi Pak Hugo lebih dulu sebelum ke sini!"

Zema meninggalkan Jakti yang terus memanggilnya dengan sebutan mbak, seolah lelaki muda itu tidak menyadari bahwa Zema adalah calon ibu-ibu dan seorang istri. Seharusnya Jakti memanggil Zema dengan sebutan ibu, kan? 

"Apa aku keliatan terlalu muda dari usiaku?" Zema bertanya pada dirinya sendiri begitu masuk ke dalam rumah. "Eh? Aku emang masih muda! Baru 29 tahun bukan usia tua!" Perempuan itu menyanggahnya sendiri.

"Apa itu anak nggak tahu aku istrinya Hugo?" Zema kembali bertanya dengan dirinya sendiri. "Nggak mungkin! Semua orang pasti tahu, apalagi gara-gara video yang kesebar itu."

Zema menghentikan langkahnya saat menangkap bantal yang seharusnya dia lemparkan kepada Hugo tadi. Kemarahannya tidak bisa dilampiaskan pada Hugo dan dia sekarang kebingungan ingin melakukan apa. 

Zema akhirnya memilih untuk duduk di sofa dan menggunakan bantal itu untuk tidur di sana. Perasaannya tidak nyaman dan bayangan wajah Cinta masih melekat hingga emosinya menjadi tak stabil dalam beberapa waktu sebelum akhirnya masuk dalam alam mimpi. Kehamilan membuatnya merasakan dorongan untuk tertidur lebih mudah. 

Zema tidak tahu berapa lama dihabiskannya untuk tidur di sofa hingga dia merasakan kecupan di keningnya berulang kali. Zema tidak merasa terganggu, justru dia merasa nyaman dan lebih tenang dengan perlakuan semacam itu. 

"Hugo?" 

Pria itu diam saja dan memilih untuk mencium bibir istrinya. Zema menyipitkan mata dan mendorong dada pria itu.

"Habis dari mana kamu? Jam berapa sekarang?" Zema menodong suaminya dengan pertanyaan. 

"Aku udah bilang ketemuan sama Emil. Ini hampir magrib, dan aku bawain kamu donat mini kesukaan kamu."

Zema langsung bangun dan melihat apakah benar suaminya membawa donat mini kesukaannya. Lalu, Zema tidak menunggu lebih lama untuk menyantapnya. 

"Kamu nggak habis melakukan kesalahan dibelakangku makanya bawa donat ini, kan?" tanya Zema sembari menyipitkan matanya. 

Hugo terlihat menghela napasnya dan Zema secara otomatis tidak bisa melepaskan tatapan dari suaminya itu. 

"Go? Kamu ngelakuin kesalahan di belakangku??"

Hugo terlihat begitu menyesal dan menggenggam tangan Zema. "Aku melakukan kesalahan di belakang kamu, Ema."

Tuhan, apa lagi ujian beruntun yang Engkau beri? 

[Yang mau baca duluan bab 17 dan 18 udah ada di KK, ya. Inget, belinya via web aja. Bisa pake metode pembayaran kayak biasanya dan tentunya harga asli dari penulis.]

Teman Tidur [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang