2/1 ; Kashihugo

7.5K 1.4K 126
                                    

Kepala adalah tempat paling aman bagi otak untuk bisa digunakan dengan baik. Bagian paling keras hingga ada istilah keras kepala sangking sulitnya bagian itu untuk disakiti. Namun, bagi Hugo saat ini dia merasa kepalanya tidak membuat aman isi di dalamnya. Hugi tidak bisa berpikir dengan baik, bahkan sekarang rasanya begitu sakit karena keluhan pusing akibat permasalahan yang menerpanya.

Hugo tidak pernah mengira bahwa istrinya yang pendiam dan terkesan sangat pasif itu bisa melakukan hal seperti ini. Zema jauh dari kata kejam, bahkan saat Hugo memberikan pernyataan hubungan mereka hanya sebatas teman tidur, perempuan itu tidak memprotes dan mengangguk pasrah.

"Hugo."

Pria itu mendesis dan mengusap wajah penuh kebingungan.

"Kamu mau apa, Cinta? Aku nggak punya waktu untuk mengurus kamu. Aku harus cari istriku."

"Hugo, aku mau minta maaf. Aku menyesal dan ingin menjelaskan ke istri kamu—"

"Cinta, Cinta, Cinta. Tolong berhenti menambah masalah, oke? Aku udah bilang, kan, kalo istriku nggak ada. Aku harus cari dia. Minta maafnya nanti aja."

Hugo tak mau lebih lama ditahan di sini karena istrinya yang sedang mengandung jelas lebih penting. Namun, Cinta menahannya dengan berdiri di depan rumahnya dan terus bicara mengenai penyesalan dan permintaan maaf.

"Aku ikut kamu cari Zema, ya? Aku harus menjelaskan ke dia—"

"Yang ada Ema semakin salah paham! Apa kamu nggak ngerti posisiku sekarang??" Dengan cepat Hugo menunjuk wajah Cinta dengan telunjuknya. "Lagian, apa kamu nggak malu karena udah banyak orang yang anggap kamu pelakor? Aku nggak bisa melanjutkan ini, kesalahpahaman orang lain merugikan aku."

Hugo dengan cepat bergerak untuk mencari tempat praktek aborsi yang ada di sekitar Jakarta. Pria itu agak mendorong tubuh Cinta untuk menyingkir karena wanita itu tidak kunjung menyingkir.

Saat tangannya siap menutup pintu mobil, Cinta kembali menahannya.

"Hugo," panggil wanita itu.

"Apa lagi, Cinta?! Aku buru-buru!"

"Apa kamu ... mencintai Zema?"

Hugo mendengkus. "Menurut kamu apa yang membuat aku bisa bertahan selama tiga tahun?"

"Tapi kamu bilang kalo sifat Zema yang terlalu pendiam dan penurut itu nggak menyenangkan selama kalian menikah."

"Aku nggak suka sifatnya yang pasif, bukan berarti aku nggak suka keseluruhan yang Ema punya." Hugo melepaskan tangan Cinta dari pintu mobil. "Berhenti membuat asumsi sendiri. Aku udah bilang dari awal, aku hanya menganggap kamu teman, Cinta."

Hugo tidak peduli jika Cinta merasa dicampakkan. Karena memang Hugo tidak berniat mendua, dia hanya menganggap mereka sebatas teman. Mengenai pertemuan mereka di hotel, itu murni salah paham saja. Hugo akan menjelaskan pada Zema setelah mereka bertemu.

***

Hugo tidak menemukan istrinya di klinik ilegal aborsi yang ketiga didatangi. Tidak ada nama Zema yang dikenal orang klinik tersebut. Hugo juga tidak tahu mengenai dukun aborsi jika memang ada di Jakarta, karena Jakarta memang sangat luas. Tak mungkin dalam satu malam bisa menemukan semuanya.

Dengan sisa semangat yang dirinya punya. Hugo duduk dibalik kemudi dan menunduk lesu.

Mama calling...

Hugo sedang tidak siap untuk menjawab panggilan mamanya, tapi dia tahu mengabaikan panggilan tersebut juga tidak baik.

"Halo, Ma."

"Kamu nggak beneran selingkuh, kan?!"

Pertanyaan pertama yang menyambut telinganya sungguh tak enak. Bagaimana bisa pula mamanya langsung tahu? Apa Zema langsung mengatakannya pada orang tua Hugo?

"Ema bilang apa sama Mama?"

"Astaghfirullah, Hugoooo!!! Jadi beneran? Ema bahkan belum bilang apa-apa sama mama, tapi kamu langsung bilang begini. Ya Allah!! Hugo ... mama malu! Sangat malu!"

Hugo memijit keningnya yang semakin pusing mendengar isak tangis mamanya di sambungan telepon.

"Ma ... itu salah paham."

"Salah paham apanya!!! Mama nggak bisa bayangin posisi Ema waktu mergokin kamu sama pelakor sialan itu!! Di video itu bahkan Ema nangis dan dalam kondisi hamil!!! Kenapa kamu nggak bilang kalo Ema hamil, hah!? Kamu mau bikin orang tua kamu jantungan!?"

"Video? Mama nonton video apa? Dimana?"

"Toktok! Mama kecewa kamu viral dengan cara begini. Ya Allah!" Dengan keras wanita yang melahirkan Hugo meraung. "Mama mau ketemu Ema, mama mau bilang—"

"Ema hilang, Ma."

Hugo tidak mendengar suara mamanya lagi secara tiba-tiba.

"Ma? Mama?"

Panggilan itu masih tersambung, tapi tidak ada suara mamanya. Perasaan Hugo menjadi semakin kacau. Pikirannya bercabang dan merasa ada sesuatu yang buruk terjadi pada mamanya.

Tidak bisa mencari Zema lagi, Hugo harus lebih dulu pergi ke rumah orang tuanya untuk tahu kondisi sang mama. Meski sejujurnya dia tidak bisa membiarkan Zema pergi, tapi saat ini ada kondisi mamanya yang harus dipertimbangkan juga.

Ema, tunggu aku. Aku janji jelasin semuanya. Aku tahu kamu nggak akan setega itu membunuh anak kita.

Teman Tidur [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang