8/2 ; Kashihugo

4.6K 1K 56
                                    

Zema bukan sekadar melakukan ancaman pada Hugo. Tiga tahun membangun rumah tangga bersama, Hugo tahu akan keseriusan perempuan itu dalam berkata. Hugo akan langsung menjadi duda jika berani keluar dari rumah mertuanya. Zema yang sudah terlihat lelah dan enggan memberikan kesempatan dipisahkan jarak, itu adalah kode bahwa Zema tidak akan berbaik hati lagi. 

Pembicaraan yang terasa sangat berat itu akhirnya selesai. Wijaya dan Kiana memilih untuk kembali ke Jakarta tanpa membawa putra mereka. Zema sendiri memilih untuk menyewa penginapan hingga mereka benar-benar hanya berdua. Zema berlaku adil dengan membiarkan mertuanya pulang ke Jakarta dan memilih menjauh dari orang tuanya juga. 

"Kamu bisa mulai cerita, sekarang."

Hugo menatap istrinya dengan takut. Kali ini Zema benar-benar tidak diam, melainkan langsung meminta suaminya untuk bicara. Tentu saja Hugo tak mau jika dirinya kehilangan kesempatan untuk bicara dan menjelaskan segalanya. 

"Kamu baca waktu itu pesan yang dikirim sama Cinta, kan? Aku juga jelasin kalo Emil--"

"Terus kenapa cuma ada kalian di kamar hotel itu? Kamu juga seenaknya ngatain istri kamu di depan perempuan itu."

"Aku nggak ngatain kamu, Ema. Aku kebawa cerita dia aja. Emil selalu cuek dan nggak nanggapin Cinta, terus ngalir cerita dari mulutku kalo kamu juga nggak beda jauh. Kamu juga orangnya cuek, diam, dan cenderung pasif."

Zema menatap suaminya dengan seluruh wajah yang berkerut. Mulutnya yang menganga menjelaskan betapa terkejutnya dia dengan suaminya sendiri.

"Kamu sebodoh itu, Hugo?" ucap Zema dengan nada yang benar-benar tak percaya. "Apa kamu sebodoh itu menjelekkan istri kamu sendiri di depan perempuan yang sengaja memancing kamu karena dia tertarik mengacak-acak kepercayaan antar pasangan?!"

Hugo tidak menyadari bahwa apa yang Zema ucapkan memang sebuah kebenaran. Cinta memiliki seseorang yang bisa dikatakan sebagai calon kekasih, untuk apa Cinta melakukan apa yang Zema katakan?

"Hah?" 

Respon yang Hugo berikan sungguh tidak bagus. Zema tidak mengharapkan respon semacam ini dari suaminya. 

"Ema ... Emil saat itu nggak datang dan kirim pesan kalo dia ada kerjaan dadakan. Aku dikirimi pesan waktu itu." Hugo mencari keberadaan ponselnya yang baru terpikirkan sekarang ini. 

"Mana hapeku?"

"Buat apa? Kamu mau chat-an sama Jancok itu?" balas Zema dengan nada ketus yang belum pernah Hugo dengar sebelumnya.

"Bukan, Ema. Aku cari hape supaya aku bisa ngasih tahu kamu pesan yang Emil kirim ke aku itu bukan bohongan, Em. Kamu tahu, kan, aku nggak pernah main-main dengan hal-hal begitu? Kamu bahkan nggak pernah liat aku godain perempuan atau apa, kan? Aku tipikal orang lurus, Em."

Zema menghela napasnya, dia menarik kerah pakaian sang suami dan bicara dengan nada sangat perlahan berharap Hugo akan mengerti dengan baik. 

"Teman, kamu,  yang, nggak, lurus!" 

Hugo yakin dirinya akan langsung mencium bibir Zema jika saja mereka tidak sedang bicara serius. 

"Itu, kan, mereka, Em. Aku nggak!"

"Dan kalo kamu terus berteman sama orang kayak gitu, kamu akan terus masuk jebakannya! Kamu membiarkan orang itu masuk dan membuka aib istri kamu sendiri. Kamu bahkan udah viral karena ketahuan selingkuh. Apa kamu bakal terus lanjutin hal begitu, Go?"

Hugo menggeleng dengan keyakinan penuh. Dia benar-benar tampak seperti anak kecil. 

"Kamu itu udah bisa dibilang tua, loh, Hugo. Tapi kenapa bodohnya kamu dan polosnya kamu itu kebangetan banget?! Gimana kalo nanti kamu punya pasangan--"

"Kamu pasanganku, Em!"

Sejujurnya Zema ingin sekali menumpahkan tangisnya pada Hugo, tapi ketika pria itu melakukan kesalahan lagi nantinya, Zema yakin Hugo akan berharap tangis yang sama muncul dan masalah mereka bisa terselesaikan dengan hal itu. 

"Untuk saat ini--"

"Untuk selamanya, Ema!"

Zema menatap suaminya dengan lelah. "Apa kamu senang menyela ucapan orang sekarang?" 

"Aku nggak berniat begitu, tapi aku nggak mau denger kamu bicara begitu terus. Kita akan tetap sama-sama, Em. Aku nggak berharap bisa punya pasangan lain selain kamu."

Zema tidak tahu bahwa dirinya akan mendapatkan pelukan dari suaminya setelah kalimat itu diungkapkan. Sepertinya ada banyak hal yang tidak bisa Hugo tahan semenjak mereka memiliki masalah ini. 

"Jangan membicarakan perpisahan terus, Em. Aku cuma mau kamu."

Zema tidak masuk dalam bahasa manis mulut suaminya sendiri. Justru Zema memberikan pukulan telak bagi pria itu. 

"Aku cuma menganggap kamu sebagai teman tidur, Hugo. Nggak lebih!"

Hugo merasakan seolah jantungnya berhenti berdetak untuk beberapa saat. Serius, gue nggak bisa ngerasain detak jantung sendiri! 

Rasanya ada yang aneh ketika mendengar hal itu dari Zema. Padahal Hugo pernah mengatakan hal yang sama kepada perempuan itu tiga tahun lalu, mengulangnya terus menerus supaya Zema tidak lupa, menetapkan batasan mereka setiap kali sehabis bercinta. Namun, kenapa dirinya merasakan serangan hebat bagaikan tsunami yang tidak bisa dibendung dengan apa pun. Hatinya dibanjiri dengan luka batin yang tidak pernah Hugo bayangkan sebelumnya. Jadi begini rasanya. 

[Bab 11 dan 12 sudah bisa dibaca lebih dulu di Karyakarsa, ya. Selamat membaca💕.]

Teman Tidur [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang