Hugo tidak bisa mengucapkan apa pun meski dirinya begitu ingin menjelaskan segalanya pada Zema. Perempuan itu duduk dan menatap Hugo tanpa bicara apa-apa lagi setelah mengatakan bahwa dia sudah ada di sana tanpa perlu Hugo mencari. Rasanya ada yang aneh dengan hubungan mereka. Ya, tentu saja aneh. Siapa yang akan bersikap biasa saja setelah salah paham?
"Ibu sudah hubungi orang tua suamimu, Zemaya. Mereka sepertinya langsung datang ke sini."
Zema tidak menanggapi ucapan ibunya. Hugo jadi bertanya-tanya apa yang sebenarnya ada di pikiran istrinya saat ini. Zema tidak terlihat ingin mengatakan apa pun. Perempuan itu hanya menatap kondisi Hugo saja.
"Kamu mau makan sesuatu, Nak Hugo?" tanya Windu pada menantunya.
"Ibu," panggil Zema.
Windu menatap putrinya yang sejak tadi diam. Windu mengira bahwa mungkin Zema terlalu shock melihat keadaan sang suami.
"Biar aku yang suapi kalo memang Hugo mau makan sesuatu. Aku yakin Hugo masih kesulitan buat makan. Butuh kesabaran tinggi untuk mengurusnya dalam kondisi seperti ini."
Hugo merasa begitu diperhatikan, tapi rasa cemas masih melingkupi hatinya. Bagaimana jika Zema mengurusnya sekarang untuk menunda perpisahan? Hugo tak mau berpisah dengan Zema. Dia tak mau Zema pergi dan meminta perceraian.
Windu mengusap bahu putrinya dan memberikan kalimat menguatkan. "Yang sabar, ya, Nduk. Kalo saja bapakmu nggak membuat ulah begini, kalian pasti bisa menyelesaikan masalah dengan bicara baik-baik."
Zema menatap suaminya lagi. Jika saja Hugo bisa bicara, dia pasti akan menjelaskan pada istrinya langsung.
"Bu, aku mau berdua aja sama Hugo."
Zema meminta waktu untuk bisa bersama suaminya. Hugo merasa bahwa ada yang ingin Zema sampaikan.
"Iya. Ibu tinggal dulu kalo begitu. Ibu akan menjamu mertua kamu dulu kalo mereka sudah datang."
Zema tidak menanggapi dengan apa pun. Zema tidak terlihat terkesan dengan kabar mertuanya akan datang.
Windu yang pergi dan memberikan ruang bagi pasangan itu membuat kamar rawat inap Hugo sangat sunyi. Bunyi air conditioner bahkan bisa ditangkap pendengaran mereka.
Zema berdiri untuk mengupas buah melon menjadi kecil tanpa bicara. Perempuan itu membuat Hugo terus bertanya-tanya dan penasaran apa yang ingin disampaikan.
"Buka mulut kamu," ucap Zema tanpa ekspresi.
Hugo mencoba membuka mulutnya perlahan. Dia sudah merasa kesakitan dengan sedikit gerakan saja.
Zema lebih dulu menyendokkan air untuk masuk ke mulut suaminya. Meski tidak ada kalimat yang keluar dari mulut istrinya, Hugo tahu bahwa perempuan itu memberikan perhatian tanpa banyak bicara. Inilah cara kamu, Ema. Nggak banyak bicara, maafin aku karena banyak protes karena sikap diam kamu.
"Aku nggak tahu kamu masih bisa hidup dengan darah yang bercecer di pelataran rumah orang tuaku."
Hugo terkejut dengan ucapan istrinya yang terdengar kejam. Matanya bergerak menegang tapi Zema tidak terlihat peduli dan terus bicara.
"Aku berharap bisa melihat kamu tiada, sama seperti anak yang kamu harapkan dariku."
Tangan Hugo mengepal ketika mendengarkan kalimat itu. Ingin sekali Hugo menggeleng dan berkata tidak mungkin. Namun, tubuhnya kaku akibat ulah bapak mertuanya.
"Aku benci melihat kamu masih baik-baik saja, sedangkan aku harus kehilangan banyak hal. Aku kehilangan harga diri, anak, dan mungkin kelak pernikahan karena ulah kamu sendiri. Tapi sekarang aku harus mengurus kamu yang orang lain pikir masih bisa diberi kesempatan kedua."
Hugo hampir tersedak karena Zema memaksa air masuk ke dalam mulut pria itu. Zema masih bertahan dengan ekspresi datarnya yang mirip dengan bapaknya ketika dengan bengis memukuli Hugo.
"Apa? Kamu nggak mau minum?" tanya Zema yang melihat suaminya kesulitan menelan air.
"Kamu nggak bilang kalo mulut kamu berniat berhenti beroperasi, Hugo. Aku kira kamu masih mau hidup, tapi melihat kamu nggak mau minum begini aku mulai cemas."
Hugo tidak paham apakah istrinya tidak tahu atau sengaja meluapkan kemarahan dengan cara begini. Namun, dia melihat Zema berlari membuka pintu entah untuk apa.
Hugo tidak bisa melihat apa pun, tiba-tiba saja dia mendengar suara tangisan Zema dan beberapa orang masuk.
"Suami saya nggak mau minum, Dokter. Suami saya sepertinya nggak punya niat untuk hidup lagi." Zema menangis, mengusap pipinya yang basah.
Nggak, nggak, nggak! Kalian salah paham!
"Dokter, tolong berikan lebih banyak vitamin supaya suami saya bisa kembali sehat. Berikan obat penenang juga karena suami saya terlihat selalu tegang, Dokter. Matanya melotot terus menerus, tangannya juga terkepal seolah dia frustasi dengan hidup yang dijalani sekarang."
"Tenang, Bu. Kami akan melakukan yang terbaik. Tolong ibu tenangkan diri agar kondisi ibu juga tidak drop untuk menemani dan mengurus suami Ibu."
Ema ... aku nggak frustrasi! Apa yang kamu lakukan?
[Zema harus bikin Hugo kapok, tapi tetap mengais perhatian orang lain, yes. Biarin aja si Hugo bingung.🙈]
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Tidur [TAMAT]
General Fiction[Baca lengkap di Karyakarsa 'kataromchick'] Kashihugo Bijaksana dan Zemaya November adalah pasangan yang unik. Keduanya memiliki nama yang akan menjadi bahan perbincangan-ejekan-orang. Orang tua yang saling melengkapi; orang tua Hugo begitu ramai, d...