21/2 ; Zemaya

3.1K 714 22
                                    

"Menurut kamu, kalo ada orang yang suka sama kita, alasannya apa?" 

Zema bertanya ditengah kegiatannya merawat wajahnya dengan skincare yang sudah cocok sekali di wajahnya dan tentu saja sudah menanyakannya pada dokter kehamilannya. Hugo pulang pukul sembilan dan pria itu masih harus mengirimkan banyak perintah kepada Anjar. Demi projek besar pria itu rela pulang lebih larut, padahal biasanya Hugo paling malas mengikuti jam kerja kantor. Pria itu akan pulang lebih cepat pada hari biasanya, dan membiarkan beberapa orang pekerjanya di pabrik menyelesaikan tugas sesuai shift mereka. 

"Emang kalo suka sama orang butuh alasan, Em?" 

"Ya, aku nggak tahu. Kamu waktu sadar mulai suka sama aku itu karena apa?"

Hugo yang kebingungan menggaruk keningnya dan menatap sang istri dengan alis yang hampir menyatu. 

"Kenapa? Kamu nggak tahu kapan dan apa alasannya kamu suka sama aku?" 

Zema sudah siap membuat sarkasme pada suaminya ketika menyadari Hugo kebingungan. Namun, pria itu lebih dulu menggeleng dan menjawab pelan. 

"Aku bukannya nggak tahu, cuma karena kita dijodohin, bukan rasa suka yang langsung aku punya buat kamu. Hubungan kita itu nggak mudah buat dijelasin kalo soal rincian perasaan. Pasangan lain bisa aja suka dulu, terus cinta, terus akhirnya nikah. Ada juga yang jatuh cinta pandangan pertama tanpa perlu suka atau kenal. Sedangkan aku mulai suka ke kamu itu karena kebiasaan hidup bersama kamu, Em."

Zema terdiam dan menatap pantulan wajahnya di cermin rias. Penjelasan suaminya memang betul, mereka mungkin tidak menyadari rasa suka itu karena yang mereka punya adalah rasa saling terbiasa. Kebiasaan saling bersama itulah yang membuat mereka akhirnya sadar sudah jatuh cinta dan tak mau terpisah satu sama lain. Mereka berdua tidak memiliki kisah yang runut sebelum menikah. Tidak ada romantisme semacam itu sebelum mereka akhirnya menjadi suami dan istri. Tidak heran jika mereka berdua bingung menjawab bagaimana rasa suka bisa terjadi. 

"Kamu memangnya dulu nggak punya banyak pengalaman sama cewek?" tanya Zema lagi.

"Ada, tapi kamu tahu sendiri gimana cerewetnya mama. Aku hampir nggak pernah sibuk mikirin rasa suka ke cewek pas sekolah sampe kuliah karena setiap habis belajar, ya, seringnya diajak papa buat belajar usaha. Makanya sekarang aku bisa fokus bangun mebel dan udah bisa dibilang mapan sebelum usia tiga puluh."

"Itu sebabnya mama langsung sibuk cariin kamu jodoh, ya? Dan karena bapakku punya usaha, jadi kita dikenalin."

"Ya, mama kayaknya ngadu ke papa buat ajak aku ikut tahu kerjaan papa sambil cari kandidat jodoh buatku." Hugo jadi meninggalkan ponselnya sepenuhnya. "Kalo kamu? Kamu punya banyak pengalaman dulu?"

"Boro-boro! Aku ini jomblo ting-ting sebelum dikenalin sama kamu."

"Oh, kamu pasti jadi anak berbakti, ya. Nggak heran, sih, Bapak kamu aja garang begitu."

Zema yang sudah menyelesaikan ritualnya menaiki ranjang sembari menggelengkan kepala. "Bapak orangnya diem banget. Nggak masalah sebenernya kalo aku pacaran, karena dulu teman cowokku juga lumayang yang anterin pulang. Tapi aku nggak mau pacaran, takut."

"Takut kenapa?"

"Takut nggak kuat jaga keperawanan, Go! Aku bukannya sok suci, tapi kalo aku memahami nggak mau pacaran supaya aku nggak nyesel dengan masa lalu kelak kalo berkeluarga."

"Sejauh itu kamu mikirnya pas jaman sekolah?" tanya Hugo takjub.

"Iya. Aku ngeri juga waktu beberapa temen ada yang nggak lanjut sekolah karena katanya nikah atau parahnya melahirkan tapi nggak dinikahin pacarnya. Meskipun banyak temen yang nggak malu cerita soal rasanya nge-seks, yang bilang enaklah, deg-deg an-lah, atau sensasinya nggak nahanlah, aku nggak bisa bayangin tubuhku dijamah dan ditinggal gitu aja. Aku kayak punya perasaan nggak rela aja kalo disentuh tapi nggak dikasih kepastian."

Hugo mengecup pipi istrinya dan berakhir mengusap-usap bibirnya karena bekas skincare istrinya menempel. "Pahit, Em!"

Zema menertawakan kebodohan suaminya. "Suruh siapa main cium-cium aja! Udah tahu aku habis pake skincare."

"Ya, aku, kan lupa. Aku refleks pengen cium kamu karena aku bangga punya istri kayak kamu yang mikirnya panjang."

Zema mencibir pria itu. "Baru tahu aku jago mikir? Emangnya kamu yang nggak bisa mikir panjang main percaya aja sama temen cewek yang resek?"

Hugo menghela napas dan hanya mengatakan. "Iya, iya. Udahan kali dibahasnya. Berasa masuk kelas sejarah aku."

"Emang! Karena perempuan itu ahlinya sejarah, kenangan, masa lalu, apa pun sejenisnya."

Hugo memutar otak untuk mengalihkan topik pembahasan. "Eh, btw. Kenapa kamu nanya alasan orang suka kita?"

Zema kembali memikirkan mengenai kecurigaannya mengenai Jakti yang kelihatan tertarik padanya. "Aku pengen tahu aja, sih."

"Yakin pengen tahu doang?"

"Hm."

Zema tidak mau suaminya langsung panik dan nantinya malah langsung menuduh Jakti. Bukan apa-apa, Zema hanya tidak yakin apakah Jakti suka padanya atau suka pada Hugo, atau memang pada dasarnya sifat anak itu selalu baik dan ceria pada semua orang? Bisa saja Jakti juga bersikap sama kepada Hugo. 

"Em? Ema?"

"Hah?"

"Yaelah, bengong. Padahal aku dari tadi bilang pengen jenguk dedek. Boleh nggak?"

 "Nggak boleh, aku malem ini nggak mau skincare ini hilang gara-gara keringetan lagi sama kamu."

"Ya ampun, bisa pake lagi nanti. Aku beliin setoko kalo kamu takut habis itu krim. Ayolah, Em! Ya, ya, ya?"

Astaga ... kok, malah Ayah kamu malah yang jadi nafsuan, Dek?

[Bab 25 dan 26 udah bisa dibaca duluan di Karyakarsa, ya.]

Teman Tidur [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang