22/1 ; Kashihugo

3.1K 796 82
                                    

"Gimana magang di sini? Ada kendala?" tanya Hugo pada Jakti.

Senyuman Jakti membuat Hugo merasa lega. Meski begitu, dia akan memastikan sendiri apa yang akan disampaikan oleh Jakti.

"Kok, kamu malah senyum-senyum? Kamu nggak mau jawab pertanyaan saya?"

"Eh, bukan gitu, Pak! Saya nggak bermaksud nggak sopan. Saya cuma ngerasa seneng karena bisa magang di sini."

Hugo mengernyit. "Seneng magang di sini sampe bikin kamu senyum-senyum gitu?"

Jakti tertawa pelan. Dia membuat Hugo semakin tidak paham. 

"Sebenernya ini bukan cuma soal magang di sini, Pak."

"Tapi?" sahut Hugo tak sabaran. 

"Nggak ada tapinya, Pak. Saya bahagia dengan magang di sini saya jadi bisa ketemu perempuan yang saya suka."

Seingat Hugo pegawai perempuan di pabriknya sangat sedikit, Hugo bisa menghitung dengan jari para pegawai perempuan yang menjadi staf. Untuk karyawan pabrik, jelas Hugo hanya mengandalkan tenaga pegawai pria. Lagi pula, kapan Jakti pernah bertemu dengan staf wanita yang beda gedung dengan bagian pengerjaan?

"Siapa perempuan yang kamu suka? Kamu mau saya coba tebak? Staf perempuan di sini bisa saya sebutin karena memang nggak banyak."

"Oh, bukan staf di sini, Pak."

"Terus?"

Jakti terlihat tidak langsung menjawab karena pertimbangannya. Jika dia mengatakan tertarik pada adik Hugo, maka bisa saja Hugo langsung siap siaga menjadi singa hutan. Biasanya seorang kakak laki-laki akan sangat protektif kepada adik perempuannya, apalagi jika ada yang berani mendekati.

Pemikiran itulah yang membuat akhirnya Jakti hanya tersenyum dan membuat Hugo semakin kebingungan. Pertanyaan di kepala Hugo bahkan semakin tinggi, salah satunya adalah kenapa Jakti malah terus tersenyum tanpa jawaban jelas. 

"Kamu malah senyum lagi. Saya jadi bingung sama kamu, Jakti."

"Maaf, Pak. Untuk saat ini saya belum bisa mengatakan siapa nama perempuan yang saya suka."

"Kenapa belum bisa? Karena yang kamu suka istri orang?"

"Bukan, Pak. Saya belum bisa kasih tahu karena saya memang belum tahu namanya."

"Apa???"

Hugo tidak habis pikir dengan Jakti sama sekali. Tampaknya ada yang salah dengan isi kepala mahasiswa magang itu.

"Kamu nggak tahu namanya tapi kamu bisa suka sama orang itu? Jadi, kamu cuma tahu mukanya aja?"

Anggukan Jakti membuat Hugo menarik napas dalam-dalam. Semakin lama bicara dengan Jakti semakin dia tidak waras. Rupanya anak muda di depannya ini mengalami rasa pada pandangan pertama. 

"Saya nggak tahu harus bilang apa, Jakti. Tapi saya ucapkan selamat karena kamu bisa menemukan seseorang yang kamu suka tanpa perlu repot memikirkan hal yang terlalu serius. Semoga aja kamu nggak semakin aneh dengan menyukai perempuan tanpa nama dan melamarnya tanpa aba-aba."

"Nggak sampe segitunya, Pak. Saya bakalan deketin perempuan itu dengan cara normal aja, Pak. Masa belum apa-apa udah main lamaran?"

"Siapa tahu aja kamu memang senekat itu."

Saya nggak berani begitu sama adek Bapak. Jakti hanya bisa tersenyum karena dia membayangkan seperti apa reaksi Hugo ketika tahu bahwa seseorang yang Jakti incar adalah adik pria itu. 

***

Anjar sedang duduk di kursi kerjanya dengan kepala yang bersandar ke belakang pertanda lelah menyerang kepala. Dia juga memejamkan mata sejenak untuk merehatkan diri. Namun, gangguan dari anak magang membuatnya ingin mengeluarkan amarah yang kuat.

"Bang Anjar!" panggil Jakti.

"Emang Anjir lu, ganggu gue lagi merem bentaran aja, sih!"

Bahasa kasar sudah terbiasa ada di lingkungan pabrik. Terlebih jika Anjar memarahi orang-orang yang dirasa tidak kompeten bekerja.

"Hehe. Maaf, Bang. Gue mau nanya boleh nggak?"

"Cepetan, mau nanya apaan?" Anjar memberikan kesempatan pada Jakti.

"Gue suka sama seseorang, Bang. Tapi dia keluarga sama atasan di sini, gue nggak tahu harus gimana, tapi gue suka banget sama itu cewek. Gue yakin abangnya pasti bakalan jadi garang banget kalo gue ngaku suka sama adeknya. Tapi gue suka banget—"

"Jangan muter-muter! Nanya apaan lu kayak gitu?"

Jakti sekali lagi meringis. "Intinya, gue harus gimana, ya, Bang buat deketin adeknya atasan sini?"

Anjar agak bingung dimintai pendapat seperti ini. Dia tidak tahu siapa yang dimaksud oleh Jakti.

"Adeknya atasan? Atasan siapa?" tanya Anjar bingung.

"Ya, atasan kita semua, Bang Anjar."

Anjar semakin mengerutkan kening karena ucapan Jakti.

"Atasan kita semua? Siapa? Lu kalo ngomong yang bener, Jak. Gue udah pegel, capek, ngurusin kerjaan kalian sebelum—" Anjar menghentikan kalimatnya dan menatap Jakti. "–sebentar! Lu bilang mau  deketin adeknya atasan kita semua? Atasan gue langsung berarti, ya? Bos besar?" tanya Anjar dengan jelas.

"Hehe. Iya, Bang."

"Adeknya pak Hugo?" tambah Anjar lagi.

"Betul, Bang Anjar."

"Lo suka sama adeknya? Mau deketin adeknya?"

Jakti mulai merasakan sesuatu tidak enak dalam dirinya. Dari reaksi Anjar sudah jelas ekspresi meragukannya.

"Kenapa, Bang? Nggak pantes, ya, gue deketin adeknya—"

"Sejak kapan pak Hugo punya adek, Jak?"

Loh? Kenapa Bang Anjar malah nanya?

[Ada kode voucher potongan harga di Karyakarsa bagi 20 orang tercepat. Kodenya: ULTRA]

Teman Tidur [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang