19/2 ; Zemaya

4K 853 24
                                    

Banyak hal yang tidak bisa dilakukan sendirian, dan itu adalah usaha yang ditekuni oleh Zema. Dia tidak memiliki karyawan untuk mengurusi usahanya. Jika terus mengandalkan diri sendiri, maka Zema akan kesulitan. Dia tidak bisa menjadi pengusaha jika mengerjakan semuanya sendiri. Apalagi dirinya akan terus kewalahan dengan kehamilannya yang semakin besar. 

"Rencana nomor satu yang harus aku lakuin adalah cari tempat yang bisa dipake buat produksi dan kantor dalam skala kecil."

Zema mencatat semua rencananya di dalam jurnal miliknya dan segera mencari cara untuk bisa mewujudkannya. Rencana hanya rencana tanpa tindakan. Dia tidak bisa berdiam diri lagi, dia ingin membesarkan usahanya meski tidak sebesar milik suaminya. Zema ingin dia memiliki penghasilan sendiri yang bisa digunakannya untuk memenuhi keinginan sendiri dan tabungan diam-diam. Ya, Zema menganut paham untuk memiliki segalanya sendiri. Ini dilakukannya jika memang keadaan sudah sangat tidak bisa diharapkan dan tidak mengharapkan suaminya, maka Zema harus berharap pada diri sendiri. 

Untuk itulah dia memilih untuk keluar siang ini sembari mencari-cari jajanan. Dia akan meminta sopir yang dipekerjakan suaminya untuknya untuk mengelilingi beberapa tempat. Siapa tahu dengan berjalan-jalan maka dia akan menangkap ruko strategis untuk dirinya jadikan tempat usaha. 

"Kemana kita hari ini, Bu?" tanya sopirnya.

"Jalan aja, Pak. Saya mau ke tempat makan lebih dulu, sih. Eh, mall juga boleh."

Arahan dari Zema tidak membuat si sopir mengerti. Seorang wanita memang selalu memiliki cara yang unik untuk menyampaikan apa yang mereka inginkan.

"Gimana, Bu? Jadi yang bener ke tempat makan mana? Atau mau ke mall mana, Bu?"

Zema tidak memberikan arahan yang tepat. Meski memang hanya sopir, tapi Zema kesal menghadapi laki-laki yang tidak langsung mengerti keinginannya. 

"Tadi, kan, saya sudah bilang tempat makan atau mall juga boleh, Pak."

"Jadi ke tempat makan di mall gitu, Bu?" Zema bisa melihat sopirnya menggaruk pelipis.

"Ya, udah. Gitu aja."

Lalu, helaan napas pria itu membuat Zema menggelengkan kepalanya singkat. Tidak Hugo, tidak sopir yang dipekerjakan, keduanya sama saja tidak peka.

*** 

Zema tidak mendapatkan apa yang dirinya inginkan. Mendapati bahwa usahanya jalan-jalan untuk mencari ruko malah berakhir dengan kepincut belanja di toko pakaian bayi, dia malah kesal setelah berada di rumah. Untung saja dia memegang kartu debit suaminya, jika tidak, Zema akan semakin menyesal karena uangnya terpakai bukan untuk membuka tempat usaha tapi malah digunakan berbelanja. 

"Tadi kamu ngapain?" tanya Hugo yang menggosok kepalanya yang basah sehabis mandi. 

Zema berdecak karena suaminya mengulangi pertanyaan. Meski begitu, Zema tetap mengulangi penjelasannya. 

"Aku ke mall, niatnya mau muter-muter aja. Karena tujuan utama aku itu mau cari-cari ruko yang sewanya nggak mahal dan bisa dijadiin tempat usaha aku."

"Deket pabrik aku banyak lahan kosong. Nggak mau beli tanah di sana terus bangun sendiri?"

Zema tahu suaminya akan membelikan tanah di sana dan membuatkan bangunan. Namun, Zema tidak mau seperti itu.

"Ngabisin waktu. Aku maunya yang udah ada bangunannya. Aku juga nggak mau ngeluarin dana terlalu banyak dengan beli tanah di sana."

"Kan, aku nggak suruh kamu bayar dan bikin sendiri. Aku masih lebih dari kata mampu, Em. Kamu jangan meremehkan mebel aku."

"Oh? Kamu mau bayarin? Pake duit kamu, ya?"

Hugo mengangguk dengan entengnya. Pria itu tidak terlihat keberatan sama sekali. Zema suka dengan suaminya yang memang tidak perhitungan gila-gilaan. Itu sebabnya Hugo juga tidak memperhatikan berkurangnya saldo di salah satu kartu debitnya yang seringkali digunakan oleh Zema. 

"Jawabanku tetep nggak, sih, Go. Aku maunya yang langsung ada dan sewa aja. Jadi kalo misal nggak strategis banget, aku bisa pindah."

Hugo hanya bisa mengangguk karena istrinya tak mau. Hugo pasti berpikir bisa mampir ke tempat istrinya jika tempat usaha mereka berdekatan. Zema bisa menebak hal itu, karena Hugo selalu merasa senang bila bisa sesering mungkin dengan Zema. Alasannya, perut bisa kenyang dan bawah perut bisa sewaktu-waktu dikenyangkan dalam waktu siang hari.

Ya, bagaimana lagi. Tiga tahun pernikahan mereka rasa seperti pasangan baru menikah. Seks bukan hal yang sulit mereka lakukan karena masih berdua. Tidak ada gangguan jika mereka mau melakukannya tiga kali sehari. 

"Aku nanti bantuin dengan nanya sama rekanan pabrik, deh. Kan, banyak orang berduit yang mungkin bisa aku lobi supaya kasih kamu ruko dengan harga oke."

Zema tersenyum dan mengangguk antusias. Perempuan itu lalu bergelayut pada suaminya serta memberikan kecupan di pipi pria itu. "Makasih, Hugo."

Hugo terlihat mengernyit. "Kamu aneh. Nggak biasanya begini. Kamu lagi pengen?" tanya Hugo.

"Iya. Aku lagi pengen."

Hugo yang sempat berhenti sejenak tetap bisa bergerak untuk menurunkan celananya kembali, tapi segera Zema hentikan.

"Eh, eh. Bukan pengen itu. Aku pengen yang lain, Go!"

"Hah? Pengen apaan, Em?"

"Beliin aku rujak, dong!"

Mata Hugo melebar. "Ngidam?"

Zema menaikkan bahunya. "Begitulah."

Lalu, mata Hugo mencari jam. Sudah jam setengah sembilan malam. "Rujak banget malem gini?"

Sekali lagi Zema menaikkan bahunya. "Begitulah." Haha, akhirnya kamu pengen sesuatu juga, Nak! 

Teman Tidur [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang