Mie goreng yang dibuatkan oleh Zema memang bekal yang biasanya dimakan oleh anak SD yang maunya praktis. Zema tidak berniat masak heboh untuk suaminya, bukan karena tidak sayang, tapi dia masih dalam mode belum ingin bersikap memanjakan Hugo. Selama hubungan mereka masih diinterupsi oleh Cinta yang akal bulusnya banyak, maka Zema tidak akan kalem dan akan terus mendorong Hugo agar tidak berleha-leha membiarkan Cinta masih saja berkeliaran.
Untuk beberapa hari, Zema ingin melihat apakah suaminya ada tanda-tanda mau diajak pergi dengan Cinta atau tidak. Memang sejatinya perempuan akan menjadi begitu waspada pada pasangan mereka apalagi setelah ada insiden yang sempat terjadi.
Saat sore hari suaminya pulang dengan wajah ditekuk dan bantingan di pintu, Zema tidak heran meski agak terkejut. Tentu saja Hugo merasa ditipu habis-habisan karena ulah istrinya sendiri. Mie goreng bisa bikin dia ngambek. Zema ingin tertawa karena membayangkan bagaimana reaksi suaminya itu ketika membuka kotak bekal.
"Kok, nggak pake salam?" tanya Zema yang sengaja tidak menyinggung bekal. Memakai jurus tidak merasa bersalah cukup mengangumkan.
Hugo membalikkan tubuhnya dan menatap Zema di sofa dan menonton televisi dengan santai. "Assalamualaikum!"
Zema menjawab salam suaminya dan kembali fokus dengan tontonannya. Hal itu membuat Hugo tidak bisa berdiam diri. Ya, pada dasarnya pria itu memang tidak bisa menahan mulutnya.
"Kamu bisa santai banget, Em? Kamu nggak ngerasa bersalah gitu?" ucap pria itu yang pada akhirnya menddekati Zema lebih dulu.
Saat merasakan bagian sofa melesak karena bobot tubuh Hugo, perempuan itu melirik sekilas dan bertanya balik. "Bersalah karena apa? Kamu, kan, seharian di pabrik. Kenapa aku harus merasa bersalah? Harusnya yang salah itu pekerja kamu."
"Kamu tahu betul aku nggak sedang membicarakan mengenai pekerjaan sekarang ini, Zemaya!"
Oke, Hugo udah manggil nama utuh.
"Oke, fine. Aku minta maaf karena cuma bawain kamu bekal mie goreng instan."
Hugo menatap istrinya dan masih menunggu lanjutan dari Zema.
"Udah, kan?" tanya Zema dengan gestur tidak mengerti.
Tidak ada yang perlu Zema akui bahwa dirinya sedang bersalah pada sang suami. Kenapa juga pria itu menunggu lanjutan dengan wajah yang tidak menunjukkan rasa lega.
"Cuma minta maaf? Kamu harusnya memperbaiki kesalahan kamu, kan, Em?"
"Memperbaiki?" Zema mengatakannya dengan nada melengking. "Kamu mau apa memangnya? Aku bikinin kamu bekal besok dengan menu yang lebih bener? Oke! Aku bisa lakuin."
Pria itu menggeleng semakin membuat Zema tidak mengerti apa yang diinginkannya. "Terus apa? Kamu besok nggak mau aku bawain bekal berarti, ya?"
"Besok tetep kamu bikinin bekal, Em. Tapi aku mau kamu memperbaiki suasana hatiku yang udah kacau sejak makan siang. Kamu tahu nggak, sih? Aku nggak kenyang dengan mie goreng yang udah menggumpal dan nggak lagi nikmat karena nggak hangat. Kamu nyiksa aku sampe kelaparan di pabrik."
"Masa? Setahuku kamu bakalan minta beliin makan siang sama asisten kamu itu, siapa namanya?"
"Anjar."
"Iya! Itu, si Anjar nggak beliin kamu makan sampe kelaperan?"
Zema sebagai istri tidak ingin suaminya sampai kekurangan makanan, tapi bukan berarti akan dengan rumit mengomeli Anjar karena tidak membelikan makan Hugo. Itu juga salah Hugo karena tidak meminta makan siang.
"Anjar nawarin, tapi aku tolak karena aku udah bangga dibawain bekal sama istriku. Sayangnya pas aku buka malah zonk. Ya, aku agak malu minta beliin."
"Astaga! Intinya kamu tetep makan siang dua kali, kan?" tanya Zema menyimpulkan.
"Iya."
"Ya, udah. Kenapa kamu ribut kelaperan? Kalo laper aku udah masakin kamu--"
Hugo mencium bibir istrinya dengan gerakan cepat hingga Zema tidak bisa mengelak begitu saja.
"Kamu ngapain malah cium aku?"
"Aku lapernya bukan makanan yang itu, Em. Aku minta perbaikan bukan buat urusan perut saat ini, tapi aku minta perbaikan dengan kamu kasih makan yang di bawah perut aku."
Zema bisa melihat suaminya yang menginginkan dirinya. Memang seaktif inilah Hugo, pria itu memang tidak banyak mengambil jatah absen untuk urusan ranjang. Sejak tahun pertama mereka memang aktif melakukan seks. Hugo yang menginginkan anak selalu berusaha untuk membuahi Zema meski Zema sendiri sudah mengatakan tidak akan mau memiliki anak dengan hanya menjadi teman tidur pria itu. Zema tahu siasat pria itu yang selalu membuat Zema terkadang melupakan jadwal ke bidan untuk melakukan pencegahan. Hingga akhirnya di tahun ketiga barulah Zema menyadari dirinya tengah berbadan dua dan si Jancok itu masuk dan merusak kedamaian yang selama ini Zema jaga.
"Loh? Loh? Loh? Kok, malah jadi horny bukannya hungry? Kamu abis ngapain sampe kepengen begini?"
Hugo tertawa miris karena mulut Zema kini semakin suka menyerukan kalimat yang konyol.
"Namanya kepengen, ya, nggak abis ngapa-ngapain. Kalo aku nggak kepengen abis pulang kerja, malah aneh, Em."
Zema merapatkan bibirnya dan memikirkan cara untuk membuat suasana baru dalam momen bercinta mereka.
"Kamu mandi, aku akan siapin buat bikin kamu kenyang."
"Nggak, ah! Nanti kamu malah kabur. Kamu belakangan jadi suka ngerjain aku, Em."
Zema menggeram. "Nggak kali ini. Percaya sama aku, kamu bakalan kenyang."
Hugo tidak bisa menolak karena Zema kelihatan akan mengubah pikiran jika pria itu tidak menurutinya.
"Oke. Jangan kabur dan jangan ingkari janji kamu bikin aku kenyang, ya?"
"Iyaaa!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Tidur [TAMAT]
General Fiction[Baca lengkap di Karyakarsa 'kataromchick'] Kashihugo Bijaksana dan Zemaya November adalah pasangan yang unik. Keduanya memiliki nama yang akan menjadi bahan perbincangan-ejekan-orang. Orang tua yang saling melengkapi; orang tua Hugo begitu ramai, d...