5/2 ; Zemaya

5.2K 1K 40
                                    

Jika ditanya apakah Zema cemas atau tidak dengan kondisi suaminya, tentu saja jawabannya 'sangat'. Dia tidak menyangkal bahwa memang ada rasa cemas yang tidak bisa dirinya bagi dengan orang lain. Hanya Zema yang mengerti dengan perasaan cemas tersebut, perasaan cemas yang ditekan supaya tidak melebihi kekecewaannya. Meski Hugo adalah suaminya, apa yang pria itu dapatkan kini memang pantas bagi Zema.

"Apa Bapak sudah keterlaluan menurutmu?" tanya Zaka.

Untuk mengurangi suasana tidak menyenangkan di dalam ruangan Hugo, sengaja Zaka mengajak putrinya ke kantin meski tidak nafsu makan. Zema yang sedang mengandung berhak mengonsumsi makanan lebih dari biasanya karena ada dua tubuh yang harus diberi asupan.

"Keterlaluan apa maksud Bapak?"

Zema menyeruput jus jambu yang dipesan. Meski tidak menggugah dirinya untuk nafsu makan, jus jambu tersebut bisa membuatnya sedikit menghilangkan rasa lapar yang sebenarnya ada tapi tidak dirasa oleh Zema.

"Memukul suamimu sampai babak belur."

Zema tahu bapaknya bukan orang kejam. Zaka hanya merasa sakit hati karena putrinya tidak diperlukan dengan baik oleh suaminya sendiri. Bagi Zema itu bahkan lebih baik ketimbang bapaknya hanya diam di tempat dan membiarkan Hugo banyak beralasan saja.

"Akan lebih keterlaluan kalo Bapak nggak membela aku. Akan lebih menyakitkan kalo Bapak memaksa aku memaafkan Hugo dalam sekali pertemuan. Aku bisa gila seandainya Bapak lebih sok bijak dengan nggak berbuat kekerasan kepada Hugo."

"Lalu, kamu akan melakukan apa setelah ini? Kamu akan memaafkan Hugo?"

"Itu yang diinginkan semua orang, Pak."

"Bapak nggak. Bapak lebih suka kamu mengikuti apa isi hati kamu, bukan mengikuti keinginan orang lain yang nggak tahu apa yang kamu rasakan."

Zema tahu dia akan selalu memiliki dukungan bapaknya. Meski pria itu adalah orang yang kaku, tapi dukungannya tidak pernah main-main untuk Zema.

"Kalo ... aku nggak berhasil dengan pernikahan ini?"

"Itu sudah menjadi salah satu kemungkinan, kan? Kamu tahu sendiri bahwa kemungkinan itu adalah pilihan yang paling kamu tunggu."

Zema terdiam. Dia merasakan betapa berat menjalani rumah tangga yang kini harus melibatkan orang tua di dalamnya. Meski tidak mendengar banyak keluhan dari mertuanya, tapi Zema tahu Kiana dan Wijaya sangat tidak terima melihat kondisi Hugo yang parah. Zema juga sebenarnya tidak tega pada kedua orang tua pria itu, tapi bagaimana lagi? Apa yang Hugo lakukan selalu memiliki risikonya sendiri.

***

Disaat malam menyapa, Hugo sudah kembali terbangun dan tetap diam. Dia hanya melihat kepala sang istri yang menyembul dilapisi mukena berwarna hijau toska dengan motif sakura yang nyaman menjadi pemandangan menakjubkan. Hugo tidak bisa bicara, tapi dia memang bersyukur bisa melihat sisi istrinya yang tadinya biasa saja untuk dirinya lihat. 

Sedangkan Zema, yang sedang salat, pikirannya fokus pada ibadah yang dijalaninya. Kemarahan selalu berhasil untuk luruh dalam kondisi seperti ini. Meski nantinya dorongan untuk membuat Hugo merasakan sakit hati akan muncul lagi. 

Saat selesai melakukan salam, setelah dzikir singkat yang dirinya lakukan, Zema menengadahkan tangan pada Yang Maha Kuasa untuk berdoa. Doa yang paling Zema ingin segera terkabul adalah kondisi suaminya bisa segera membaik seperti semula. Memang dirinya tak suka dan sakit hati dengan sikap suaminya, tapi Zema tetap tidak sepenuhnya tega melihat kondisi Hugo. Sebagai istri yang sudah tiga tahun bersama, melihat Hugo yang biasanya sehat dan aktif, sangat miris mendapati pria itu tidak bisa melakukan apa-apa. 

Zema tidak tahu apakah doanya terlalu keras atau apa, tapi kaki suaminya bergerak-gerak mengganggu sesi doa perempuan itu.

"Kenapa, Go?" tanya Zema. 

Tentu saja tidak ada kalimat balasan dari pria itu karena memang tidak bisa bergerak. Zema tidak berniat membuat drama lagi malam-malam begini. Dia ingin istirahat di ranjang tambahan yang dipesan oleh mama mertuanya sebelum pergi untuk menginap di hotel terdekat. Semula Kiana memang tidak mau membiarkan menantunya menunggui Hugo sendirian dalam kondisi hamil muda, tapi Zema ngotot meminta mertuanya istirahat setelah perjalanan dari Jakarta. 

"Kamu mau minum?" tanya Zema yang hanya mendapati kedipan mata suaminya sebagai jawaban.

Dengan sabar Zema menyuapi air minum untuk suaminya. Tidak seperti tadi siang, Zema tidak membuat ulah hingga suaminya tersedak. Hugo bisa minum dengan perlahan dan Zema mengurus dengan sabar. 

Makanan dari rumah sakit belum tersentuh dan Zema berinisiatif menyuapi suaminya untuk makan. 

"Makan dulu."

Zema tidak meminta persetujuan untuk menyuapkan bubur yang diberi kuah ke mulut suaminya. Ada irisan ikan yang juga Zema berikan di atas bubur agar makanan itu lebih terasa. Namun, tidak ada makanan rumah sakit yang nikmat dengan suasana sunyi begini.

Zema tahu dirinya diamati oleh suaminya sendiri, tapi dia tak mau luluh dengan tatapan itu. Biarkan saja Hugo merasa bersalah. Zema hanya ingin menjalani hari-hari ini sebagai istri yang baik dengan mengurus suaminya itu. Setelah Hugo sehat kembali, skenario baru untuk membuat pria itu bertekuk lutut akan segera terlaksana. 

[Bab 7 dan 8 udah ada, ya. Kalian sudah paham dimana baca duluannya :)]

Teman Tidur [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang