20/1 ; Kashihugo

3.5K 780 15
                                    

[Baca duluan tersedia di Karyakarsa. Dan cerita ini sudah tamat di sana. Silakan cari akun kataromchick, pilih karya, cari judul Teman Tidur, ya. Happy reading!]

Belakangan Zema menjadi lebih komunikatif dengan apa yang dirinya inginkan. Perempuan itu tidak menjadi sosok yang lebih banyak diam seperti dulu. Pertengkaran mereka sepertinya yang membuat semua ini terjadi. Perubahan yang positif bergerak secara perlahan dalam pernikahan mereka. Hugo tidak akan memprotes mengenai hal ini, dia justru suka dengan istrinya lebih banyak mengungkapkan apa yang diinginkan. Dia suka diandalkan sebagai suami sekaligus calon ayah untuk anak mereka. Namun, ada kalanya Hugo kewalahan untuk mengatasi seluruh keinginan istrinya yang terkadang memang tidak main-main.

"Go? Kamu denger aku, nggak, sih!?" 

Dalam sambungan telepon itu, Zema mulai menyuarakan kemarahannya karena tidak didengarkan oleh Hugo sepenuhnya. Mau mendengarkan dengan baik bagaimana? Dia sedang berada di luar kota yang artinya tidak bisa 24 jam berada mengawasi dan memenuhi keinginan istrinya. Jika Hugo masih berdaa di pabrik, dia pasti bisa mengurus kemauan istrinya. Ini masalahnya mereka beda pulau!

"Sayang, aku ini lagi di luar kota. Aku kerja, Sayang. Aku harus pastiin barang yang datang nggak mengalami kerusakan supaya klien--"

"Jadi kamu nggak peduli sama aku dan anak kita, ya, Go? Kamu udah nggak mau ngurusin aku sama anak kita?"

Meski terkesan drama queen, tapi Hugo tahu istrinya baru bisa menunjukkan sisi dirinya yang seperti ini belakangan ini saja. Dulu, mana pernah Zema bersikap begini. Zema yang sekarang tidak menyebalkan bagi Hugo, justru menggemaskan.

"Aku peduli sama kamu dan anak kita, tapi aku nggak bisa kasih kalian fasilitas hidup bagus kalo nggak usaha dan kerja baik. Kamu mau aku nggak dipercaya sama orang dan nggak bisa kasih apa yang kamu mau?"

"Aku nggak bahas itu, Hugo! Kenapa kamu malah bahas itu?" 

"Karena itu berkaitan." Hugo memijat keningnya sebelum mencarikan cara yang bisa dirinya jadikan jalan keluar. "Gini aja, aku akan minta seseorang buat beliin apa yang kamu mau dan antar ke rumah. Aku yang bakalan arahin orang suruhan aku buat beli di tempat langganan kita beli mie ayam Banyumas."

Untuk beberapa saat tidak ada balasan yang Zema katakan pada Hugo. Hal itu membuat Hugo cemas. Pria itu melihat layar ponselnya, memastikan apakah panggilan itu masih tersambung atau tidak. 

"Hei? Ema? Sayang?" panggil Hugo berusaha membuat istrinya bersuara. 

Tidak ada kalimat yang muncul dari bibir Zema. Justru isak tangis yang kini Hugo dengar melalui telinganya yang mulai peka dengan suara istrinya ketika menunjukkan emosi.

"Ema? Kok, nangis?" tanya Hugo pelan. Meski mereka tidak saling bertatapan saat ini, tapi Hugo dan Zema bisa mengerti satu sama lain. 

"Aku ..." 

Hugo menunggu apa yang akan istrinya katakan, tapi suara perempuan itu putus-putus karena tangisannya.

"Kenapa? Kamu kenapa, Em? Bilang aja sama aku."

"I miss you," ucap Zema yang agaknya mengejutkan Hugo. 

Rasa cemas yang semula menghinggapinya mendadak sirna, tergantikan dengan senyuman yang tidak bisa dia lakukan dengan leluasa karena sekarang dia sedang berada di lobi hotel. Ada Anjar yang menunggu sekaligus memperhatikannya. Jika Hugo tersenyum dengan lebar karena senang mendengar pengakuan sang istri, maka dia akan menjadi bahan tontonan beberapa orang yang berada di sana. 

"Kamu ... kamu apa, Em? Coba bilang sekali lagi. Aku pengen denger."

"Kamu udah denger tadi!" 

"Ya, tapi aku mau denger sekali lagi."

"Kamu akan denger begitu apa yang aku pengen bisa sampe rumah!" 

Lalu panggilan itu terputus karena Zema yang memutuskannya lebih dulu. Sudha pasti perempuan itu malu bukan main dengan pengakuannya. Zema tidak mudah menyatakan kata I love you, I need you, I miss you semacam itu. Ini adalah perdana. Hugo tahu Zema mencintainya, melihat dari sikap dan perhatiannya sebagai pasangan. Namun, mendengar dirinya dirindukan oleh perempuan yang diinginkan, sudah pasti memberikan efek yang berbeda bagi Hugo.

"Gimana, Pak? Ada masalah di pabrik?" tanya Anjar begitu bos-nya kembali mendekat.

"Oh, nggak. Ini bukan telepon dari  pabrik. Ini istri saya, kok, Njar."

Anjar mengangguk paham. "Kalo gitu ada hal yang penting di rumah?"

"Ya, semua yang berhubungan dengan istri saya selalu penting."

Anjar tertawa pelan. Dia jadi ingat bagaimana atasannya itu akhirnya meminta dibelikan makanan setelah mengetahui istrinya hanya membuatkan mie goreng khas bekal anak SD yang mau praktis. 

"Kenapa kamu senyum begitu?"

"Oh, nggak, Pak." Anjar merapatkan bibirnya dan kembali fokus pada pembahasan mereka.

Hugo yang melirik Anjar dengan tajam memilih untuk memikirkan bagaimana caranya membuat istrinya mengatakan I miss you lagi. 

"Saya tadi lupa, Njar. Saya mau suruh orang suruhan saya buat beliin istri saya mie ayam langganan, tapi orang yang biasanya saya percaya itu kamu. Saya harus suruh siapa ini? Nggak ada pekerja selain kamu yang tahu rumah saya."

Anjar mengerutkan kening. "Bukannya Bingkala bilang anak magang itu cukup akrab sama Bapak? Bukannya dia bisa magang karena jalur--"

Anjar menghentikan kalimatnya karena Hugo menatapnya dengan kesal. Hugo paling tidak suka dituduh pilih kasih.

"Itu cuma karena dia gigih sejak ikut seminar saya! Jangan sebar rumor nggak bener kamu, Njar."

"Maaf, Pak."

Melupakan celetukan Anjar, dengan sigap Hugo mengirimi Jakti pesan agar membeli mie ayam Banyumas langganannya dan Zema. Tak lupa Hugo meminta Jakti untuk mengantarkannya ke rumah. 

"Sudah, anaknya nggak banyak protes dan alasan saya suruh." 

Anjar hanya mengangguk tidak begitu menganggap penting dan membiarkan atasannya merasa lega supaya mereka kembali fokus bekerja.   

Teman Tidur [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang