11/1 ; Zemaya

4.8K 910 23
                                    

Salah satu keuntungan menjadi pasangan suami istri yang sah adalah bisa menikmati sesi bercinta tanpa takut dengan risiko digerebek orang lain. Meski belum benar-benar saling berdamai, Zema dan Hugo tetap boleh dan bisa membagi peluh untuk meringankan sejenak isi kepala yang riuh menginginkan jalan keluar secepatnya. Namun, Zema tidak bisa langsung gegabah untuk melakukan segalanya ditengah kehamilan yang masih dirinya tutupi dari Hugo. 

Pria yang sedang sibuk menyusupkan kepalanya di dada Zema itu tidak mengizinkan waktu yang mereka punya habis dengan tidur saling memunggungi. Pelukan Hugo erat dirasakan oleh Zema dan napas pria itu menggelitik dada Zema yang hanya menggunakan gaun tidur cukup terbuka. Hugo benar-benar memanfaatkan kesempatan kegiatan fisik dengan baik. 

"Aku akan ikut kamu pulang," ucap Zema.

"Hm?" sahut Hugo tidak langsung menangkap maksud dari ucapan istrinya.

"Aku akan ikut kamu pulang ke Jakarta."

Hugo menjauhkan wajahnya dari dada sang istri. Mereka kembali bertatapan dan Hugo terlihat sangat terkejut. "Beneran? Setelah kita berhubungan intim kamu langsung berubah pikiran?"

"Siapa bilang karena hubungan intim aku berubah pikiran? Aku udah banyak berpikir belakangan ini. Aku sedang menimbang seluruh keputusan, dan aku akan ikut kamu ke Jakarta."

Hugo yang agaknya sekarang sudah lebih mawas diri menjadi lebih pandai memahami situasi. Pria itu tidak langsung termakan dengan ucapan Zema. 

"Ini bukan untuk sementara, kan? Bukan ancang-ancang kamu untuk bisa mengurus perceraian di Jakarta sendiri?"

"Kamu mau cerai?" tanya Zema dengan ekspresi yang tidak berubah. Datar selayaknya ekspresi mertua Hugo. 

"Jangan sampe! Amit-amit, Em! Aku nggak mau pisah dari kamu."

"Kalo gitu nggak usah banyak tanya. Aku mungkin akan berubah pikiran untuk nggak berbaik hati ikut kamu pulang, kalo kamu terus menanyakan ini dan itu yang bikin aku makin risih."

"Oke, nggak lagi. Aku nggak akan menanyakan apa pun sama kamu. Aku nggak mau bikin kamu risih. Apa sebaiknya aku tiduri kamu lagi supaya kamu nggak berubah pikiran?"

Zema menepuk bibir suaminya yang sembarangan bicara. 

"Apa-apaan, sih!? Jangan sembarangan kamu ngomongnya."

Hugo mengusap bibirnya. "Ya, habisnya kamu langsung jadi baik setelah kita tidur bareng begini. Aku ngerasa bisa memperkuat ikatan suami istri kita dengan--"

"Kamu hanya terlalu percaya diri. Aku nggak sedang memberikan kamu kemudahan, Go. Aku ingin melihat seberapa kuat kesungguhan kamu untuk menjadi suami yang baik untuk aku."

"Jadi, ceritanya kamu akan menguji aku dengan kesempatan yang kamu kasih?"

Zema mengangkat kedua bahunya, perempuan itu tidak akan peduli dengan apa tanggapan suaminya dan dia ingin melakukan banyak hal tanpa perlu Hugo pahami apa saja langkah besar Zema untuk menguji pria itu. 

"Ema ... kasih tahu apa yang kamu mau--"

"Jangan berisik atau aku bakalan berubah pikiran!?"

Hugo langsung menutup mulutnya dan seketika saja memilih untuk menjadi manja lagi pada sang istri. Mereka menghabiskan malam ini dengan damai, dan Hugo masih juga belum berani menanyakan apa benar istrinya setega itu menggugurkan janin mereka?

***

Zaka tidak pernah berusaha mengganggu apa pun keputusan putrinya. Sekalipun saat ini dirinya cukup terkejut dengan keputusan Zema yang mengatakan ingin ikut pulang ke Jakarta bersama Hugo, pria itu tidak menginterupsi. Apa pun yang diputuskan oleh Zema, pastilah ada baik dan buruknya. Zaka jelas berbeda dengan istrinya yang terlihat sangat bahagia mengamati anak dan menantunya yang akan kembali ke Jakarta dalam beberapa jam lagi. 

"Ibu nggak nyangka kamu bisa menurunkan ego kamu, Zemaya. Ibu pikir kamu akan sangat mewarisi sikap keras bapakmu yang akan membutuhkan waktu sangat lama untuk bisa legowo menerima sesuatu."

Zema hanya menatap sekilas ibunya. Dia hampir menyeletuk jika dia memang sangat mewarisi watak bapaknya dan berniat tidak membuat segalanya mudah bagi Hugo. Dia ingin diperjuangkan setelah tiga tahun disia-siakan, dianggap teman tidur, dan tidak berusaha ditanya apa keinginannya oleh sang suami. Namun, menjelaskan perasaan semacam itu tidak akan dipahami oleh Windu yang selalu menjadi orang terpositif yang pernah Zema temui. Bercerai ditengah dirinya yang berbadan dua hanya menyulitkan Zema, terlebih lagi jika melepaskan Hugo begitu saja akan memberikan kesempatan besar pada perempuan tidak tahu diri itu untuk mendekati Hugo dengan berbagai cara.

Harus Zema terima di dalam lubuk hati yang terdalam, dia juga terbiasa dan memiliki perasaan yang dalam untuk Hugo. Tiga tahun bukan waktu sebentar untuk membangun kebiasaan bersama dan menghabiskan waktu untuk menerima kekurangan satu sama lain. Sebagian hati Zema jelas dimiliki pria itu, kecewa dan rasa marah memang saat ini mendominasi, tapi sisi lemah Zema menginginkan Hugo untuk selalu bersamanya.

"Iya, Bu."

Zaka yang mendengar balasan singkat dari putrinya sudah sangat mengerti apa yang ingin disampaikan oleh Zema sebenarnya. Sebagai bapak, Zaka tidak akan memilih diam jika putrinya tersakiti. Tapi untuk menghargai keputusan putrinya, Zaka memilih mengalah. Namun, mengalah bukan berarti lepas tangan dan tidak melakukan apa-apa.

"Zemaya, bapak mau bicara sebentar." 

Pada akhirnya Zaka juga tetap harus menyampaikan pendapat meski tidak akan diterima sepenuhnya oleh sang putri.

Teman Tidur [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang