Bagian 6

37.8K 6.3K 743
                                    

Segala kebaikan datangnya dari Allah SWT, sedangkan segala keburukan datang karena kesalahan manusia. Cerita ini tidak ada unsur menjelekkan suatu unsur ajaran agama apapun.

—————

Ale kelimpungan, ini hari pertama dia masuk ke kelas hafalan yang dipandu oleh ustadz pembina masing-masing. Setiap kelompok terdapat 10 anak dan satu ustadz pengabdian. Dan sialnya Ale mendapatkan ustadz Amri yang waktu itu memarahinya di kamar.

Mereka duduk melingkar menghadap ke arah ustadz Amri. Ale berusaha menghindari tatapan dari ustadz Amri yang mana membuatnya ingin menjadi baraongsai.

"Berhubung ini hari pertama jadi kita kenalan dulu ya. Dan akan ustadz kasih tahu gimana sistem setoran hafalannya." Ujar ustadz Amri sembari tersenyum.

Ale merotasi bola matanya jengah melihat wajah ustadz Amri yang terlihat ramah.

"Dih pasti pura-pura baek. Ke gue aja kayak anjing Pitbull." Batin Ale jengkel.

Amri melirik ke arah Ale yang hanya menatap ke arah lain dan terlihat tak memperhatikannya.

"Nama ana Amri. Santri pengabdian tahun kedua. Peraturan di kelompok ana harus bisa setoran minimal 1/4 halaman setiap harinya." Ujar ustadz tersebut membuat yang lainnya mengangguk santai.

Pengecualian Ale, wajahnya pucat bahkan perutnya terasa mulas ingin buang air besar. Dia tidak bisa mengaji bagaimana bisa setoran hafalan?!

"Nah sekarang kalian isi kertas ini dulu yah. Supaya ana tahu sampai mana hafalan kalian." Ujar ustadz Amri sembari membagikan kertas kecil.

Tangan Ale gemetar, dia tak tahu jika hal seperti ini mampu membuatnya takut dan keringat dingin. Karena jika dulu di sekolah dia tak bisa maka dia hanya siap menerima hukuman dan tidak perlu malu karena teman-temannya pun seperti Ale.

Namun di pondok pesantren ini——Ale merasa terintimidasi dengan pengetahuan ilmu agama para santri lainnya. Sedangkan dia tidak bisa apapun kecuali mengucap salam, basmalah ah dan wudhu. Itupun karena diajari oleh Abi.

"Antum. Ayo isi kertasnya." Ujar ustadz Amri kepada Ale yang sibuk melamun.

Ale pun menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, dia kebingungan tak mempunyai alat tulis.

"Ini pakai punya ana." Ustadz Amri menyodorkan pulpen ke arah Ale.

Ale menerimanya lalu dia kembali berpikir, apa yang harus dia tulis. Berapa halafan yang ia punya? Tentu saja dia tidak punya.

"Anjir. Ini diisi apaan?! Emangnya ada berapa surat yang mesti dihapalin?" Batin Ale panik.

Dia semakin panik kala melihat teman-temannya sudah mulai mengumpulkan ke ustadz Amri. Dia pun melirik ke arah teman sebelahnya, dengan nekat dia menuliskan hal yang sama.

'30 juz'

"Kayaknya 30 paling sedikit deh." Batin Ale merasa lega.

Ia pun mengumpulkan kertasnya dengan wajah yang terlihat tenang. Hingga ustadz Amri membacanya satu per satu, wajahnya terlihat terkejut saat melihat kertas milik Ale. Sontak dia menatap ke arah bocah itu yang sedang sibuk mengerjap karena menahan kantuk.

AbiAle (21+) BL ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang