Sebuah Undangan ✔

21.5K 2.8K 9
                                    

Suara berisik seseorang yang terus saja berbicara sendiri. Suara itu memang terdengar seperti seseorang yang sedang marah-marah, tetapi entah kenapa hatiku merasakan kesedihan. Kegelapan masih menyelimuti. Kelopak mataku terasa berat, beberapa bagian tubuh masih terasa sakit. Aku tidak tahu pasti apa yang terjadi. Kenapa aku bisa di tengah kegelapan ini?

"Nona, apa Anda tahu? Hari ini bunga mawarnya mekar sangat indah, bunga dahlianya juga. Nona, Anda harus melihat semuanya langsung, jika dipetik begini hanya bertahan beberapa waktu saja. Jadi, Nona harus bangun dan kita akan ke taman. Sudah seminggu, tetapi Nona masih mau membiarkan saya sendirian berbicara? Saya ingin berdebat dengan gadis kecil keras kepala seperti Anda lagi."

Suara Jennie semakin jelas, sekarang sosoknya yang mondar-mandir di kamarku juga samar terlihat. Bukan lagi kegelapan yang pekat. Tetapi sosok Jennie yang samar.

"Jennie ...." Aku berhasil bersuara setelah usaha yang sia-sia beberapa saat lalu. Aku tersenyum begitu Jennie menatapku terkejut.

"Nona! Anda sudah bangun?! Astaga, astaga! Nona!" Gadis itu sudah berusia delapan belas tahun, tetapi dia masih kekanakan, meskipun begitu, Jennie adalah satu-satunya yang bersikap baik. Walau Jennie adalah antek-antek Gerald yang membenci keluarga Bearc.

"Nona! Saya membawa mawar! Saya juga membawa bunga dahlianya ke sini! Indah bukan?" Jennie menunjukkan karangan yang ia buat.

"Ah! Bodohnya aku! Aku harus memanggil dokter, Anda juga harus minum obat dan makan. Nona berbaringlah," kata Jennie dengan kecepatan pengucapan dua kali lipat dari manusia biasa.

Aku tertawa kecil melihatnya yang kelimpungan sendiri. Jennie, aku menyayangimu. Tak peduli apa yang terjadi di masa depan nanti. Meskipun mungkin kita akan mengangkat pedang masing-masing dan berusaha membunuh satu sama lain.

Tangan yang lemah dan pucat kuangkat. Meraih cahaya matahari yang tembus dari jendela luas kamar ini. Hangat.

Aku menyelamatkan Cleo. Aku membuatnya sehat kembali dengan kekuatan ini. Meskipun begitu aku masih menolong Gerald dalam misinya. Sungguh, sekarang ini apa yang aku lakukan? Sebenarnya di pihak mana aku berada? Rasanya semua rencana kacau karena tindakan bodoh yang mengikuti naluri.

Tapi, waktu itu aku benar-benar kesal dituduh habis-habisan. Sehingga aku mengakuinya karena tidak mau berdebat. Bahkan aku rela mati saat itu juga. Hah! Dasar gadis bodoh! Sebenarnya kau ini mau hidup yang bagaimana sih? Siapa yang kau dukung, Lyana?!

"Nona? Bagaimana perasaan Anda?" Dokter keluarga datang, Fendri. Dia tersenyum hangat kepadaku, selain Jennie tidak ada yang seperti ini.

"Berbaringlah dengan santai, saya akan memeriksa keadaan Anda, Nona."

Fendri menekan pergelangan tanganku. Merasakan denyut nadi, kemudian memerikaa beberapa hal hingga Jennie yang tadi keluar kamar datang bersama makanan dan obat.

Fendri mencatat beberapa hal. Kemudian ia bangkit dari kursi.

"Nona butuh istirahat, agar pulih total," kata Fendri menyerahkan catatan yang dibuatnya tadi.

"Baik, Tuan! Terima kasih."

"Aku hanya butuh istirahat, tidak butuh obat bukan?" tanyaku memastikan.

Fendri terdiam. Kemudian tersenyum. "Tentu, obat juga penting, Nona."

Aku mendengkus kesal. Obat adalah racun yang baik tapi aku tetap membencinya. Obat itu pahit. Heran, kenapa harus pahit? Tidak adalah obat manis seperti madu? Hah! Aku lelah meminum obat di kehidupan dulu. Aku sudah senang tidak harus bernasib seperti dulu, tetapi sekarang obat menjadi bagian hidupku lagi. Meskipun sementara.

"Nona, ayo makan lalu minum obatnya."

Aku melirik cairan hitam di dalam gelas kramik yang dibawa Jennie. Itu bahkan lebih menyeramkan dari warna racun yang mematikan.

***

Ada banyak bunga, ini memasuki musim semi. Aroma mawar tertiup angin lembut yang mengibarkan rambutku.

"Hehe," tawaku saat Jennie memberikan mahkota bunga untukku. "Terima kasih, Jennie."

"Selamat karena Nona sudah sembuh total!" Jennie berseru dan tersenyum.

"Jennie, peluk aku!"  seruku manja.

Kali ini saja, aku ingin menjadi seorang anak yang ingin dipeluk orang yang disayangi. Ibu, bagaimana kabarmu di sana? Aku, merindukan pelukanmu.

"Terima kasih, Jennie," gumamku.

Jennie tak menjawab. Ia hanya mengusap puncak kepalaku. Kemudian melepas pelukan.

"Nona, tumbuhlah menjadi seseorang yang kuat di masa depan," kata Jennie sembari menyelipkan rambut emas ikalku di belakang telinga.

"Tentu!"

"Kakak! Lihat, bunga ini yang terbaik di taman, indah bukan?" Aku melihat sosok Gisella, Hars, dan Kleand di taman bunga milik Gisella. Mereka tertawa dan tersenyum bersama. Aku melihat mereka dari jarak yang cukup jauh.

"Jennie," panggilku sembari menatap mereka yang tertawa bersama.

"Sekali, selama aku tidak sadarkan diri, pernahkah mereka datang untukku?" tanyaku, tidak ada keinginan lebih. Aku hanya ingin memastikan saja.

Pertanyaan konyol ini, keluar begitu saja. Entahlah, hatiku mulai berharap sesuatu yang mustahil itu setelah merasakan sedikit perhatian Hars dan Kleand beberapa kali. Sangat rumit, hatiku ini bodoh, sudah ditusuk masih saja mendekat ke arah jarum itu.

"Tidak, Nona."

Jawaban Jennie tegas dan lugas. Sekilas aku menoleh ke arah Jennie yang tengah merangkai bunga. Gadis itu tampak tenang dan jujur atas jawabannya.

"Begitu, ya?" Aku menunduk. Duduk di sebelah Jennie.

"Nona, mereka itu sangat kejam. Bahkan lebih dari serigala," kecam Jennie. Dia jelas sangat kesal. Dan aku terkekeh melihat wajahnya itu. Sedikit lega, meski hanya Jennie, setidaknya ada yang menyayanginya.

"Kau benar, Jennie."

***

"Wah, kau sudah pulih Lyana?" Suara angkuh Gisella menyambutku yang memasuki ruang belajar.

"Iya." Aku menjawab singkat. Aku berjalan lurus menuju meja belajar.

"Setelah ini, kau punya rencana meracuni siapa lagi?" sindir Gisella.

"Saya akan meracuni Anda," jawabku penuh penekanan.

Gisella terdiam dengan wajah. Kemudian mimik wajah itu berubah marah.

"Kau! Kau berani?!" seru Gisella

"Jika meracuni Yang Mulia saja saya berani apalagi Anda?" balasku tak kalah tajam.

"Lyana, hentikan." Suara Kleand menjadi penengah.

"Kakak~" rengek Gisella, berlari menghampiri Kleand yang baru tiba. Najis, dia persis seperti parasit yang menempel dan merugikan.

"Berhenti mengatakan kalimat seperti itu, jangan bodoh," kata Kleand padaku?

Aku hanya mendesis kesal. Mengalihkan pandangan ke tulisan di buku sihir yang aku bawa. Mengabaikan perbincangan mereka yang tidak penting, isinya hanya perkataan Gisella tentang penampilannya dan juga rengekan tidak penting tentang pertengkaran dan makanan hari ini.

Pelajaran pertama setelah bangun dari koma adalah pengendalian sihir tingkat enam. Tetapi, pelajaran menyenangkan itu menjadi memuakkan karena hal-hal yang Gisella lakukan. Sungguh, dia seperti hantu yang menempeli manusia. Sangat mengganggu.

***

"Nona, ada undangan dari Kekaisaran."

Jennie menyambutku dengan suaranya yang mengucap kalimat mengejutkan. Kekaisaran? Yang benar saja! Siapa?

TBC

My Male Lead [SELESAI] (REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang