Kesempatan Kedua? ✔

21.5K 2.7K 34
                                    


Satu hal yang aku harapkan saat membuka mata adalah ... penjelasan.

Akan tetapi, yang menyambutku ketika bangun justru tangis Jennie yang begitu nyaring. Perempuan itu memelukku erat sambil terus mengatakan ini dan itu.

"Saya merindukan Anda, Nona." Sudah seratus kali kurasa Jennie mengulang kalimat yang sama.

Ya, aku juga merindukan Jennie yang seperti ini.

Sekarang aku sedang duduk di tempat tidur. Tidak boleh banyak bergerak katanya sampai luka benar-benar pulih. Meski punya sihir penyembuhan, dokter tetap tidak menyarankan Lyana untuk melakukan itu. Jennie sekarang sedang menyuapi makanan yang ia bawa untukku. Makanan hambar yang rasanya masih agak baik daripada roti yang selama ini aku konsumsi.

"Jennie, aku butuh penjelasan," ungkapku.

Jennie menghentikan geraknya. Menatapku dengan tatapan lembut. Kemudian dia tersenyum.

"Ekhem," dehem Jennie seraya menegakkan tubuh. "Baiklah, dari awal, Nona adalah putri satu-satunya Yang Mulia Grand Duke, lalu Gisella itu adalah anak dari si pengkhianat Vianni itu, Gisella ditukar oleh Tuan Muda Ren saat baru lahir. Jadi, sekarang secara otomatis Tuan Muda adalah saudara Nona. Lalu, selama ini Tuan Grand Duke bersikap abai dan dingin kepada Nona karena rencana untuk mengatasi setiap rencana jahat perempuan itu. Dengan maksud jika Anda diabaikan anda akan selamat. Tapi ternyata sama saja."

Jennie menghela napas karena dia mengucapkan kalimat panjang itu dalam sekali tarikan napas. Perempuan berambut cokelat itu menyuapi makanan lagi kepadaku. Kemudian, aku menatapnya meminta lanjutan cerita.

"Jadi, tiga hari yang lalu, Yang Mulia menyerang selir sebagai bentuk pembalasan dendam serta untuk keadilan semua orang. Yang Mulia memenangkan pertempuran, bersama Asher, tiga Tuan Muda, dan Yang Mulia pangeran juga. Dia juga menyerahkan bukti yang selama ini dikumpulkan untuk membuktikan jika Vianni adalah seorang pengkhianat. Selama ini Yang Mulia Grand Duke tidak bisa melancarkan aksinya karena Tuan Muda Ren bersama Vianni, jadi Grand Duke harus menjaga Gisella untuk keselamatan Ren. Sedangkan Baginda kaisar, dia berada di atas dilema atas ancaman dan jebakan yang sudah disiapkan Vianni jika Kaisar hendak melakukan sesuatu."

"Apa itu?" tanyaku yang semakin tertarik pada penjelasan yang lebih mirip dongeng itu.

"Ada sihir yang bisa membunuh Pangeran kapanpun yang hanya bisa dikendalikan Vianni. Kemudian, ada banyak sekali jebakan di seluruh titik Kekaisaran yang sulit diketahui tempatnya, jebakan yang akan langsung memusnahkan seluruh rakyat. Jadi, Yang Mulia Grand Duke dan Baginda kaisar harus berhati-hati menemukan semua itu dan menyelamatkan semua orang."

Aku paham sekarang. Semuanya benar-benar berbeda dari alur, ini bukan karena atensiku, tetapi karena memang seharusnya beginilah takdir hidupku di sini. 

Meskipun Jennie mengatakan kalau Cleo menyayangiku, tetap saja rasanya aku ini masih asing. Apalagi dengan mereka yang dulunya selalu abai. Yang ada diingatanku hanyalah perlakuan dingin mereka yang aku benci.

"Nona, cepatlah pulih untuk perayaan kedewasaan Anda," tutur Jennie lembut.

***

"Lily!" Suara teriakan itu sedikit menggangguku. Ren berlari memasuki kamarku seperti seorang anak kecil. Tetapi, melihat tubuhnya yang tinggi dan kekar, sikap seperti itu rasanya sangat tidak cocok dengan Ren lagi.

"Ah, Anda datang ya, Tuan Muda."

Ren tampak tertegun dan merengut sedih. Aku tak begitu peduli. Rasanya masih agak kesal dan kecewa pada semua orang.

Kenapa mereka harus mengabaikan aku dengan alasan melindungi? Itu agak menyakitkan hati mengingat penderitaanku selama ini begitu berat. Ditambah, mereka tidak mengatakan apapun. Bukannya diberitahu rencananya seperti Hars dan Kleand yang juga diceritakan hal yang sama.

"Kenapa kau memanggilku begitu?" Ren duduk di lantai sembari menidurkan kepalanya di ranjangku. Dia seperti anak kecil sekarang.

"Karena Anda adalah putra Yang Mulia Grand Duke."

"Dia ayahmu Lily," balas Ren.

Aku tersenyum simpul. "Saya tahu."

"Kau kecewa?"

Aku diam sesaat. Jujur atau bohong? Berkata tidak pun semua jelas terlihat di wajahku bukan?

"Ya."

"Maafkan kami ya," kata Ren lembut.

"Akan saya coba."

Aku kemudian diam dan kembali membaca buku. Ketika sudah mencapai baik ketiga, aku merasakan beberapa orang memasuki kamar. Hela napas kesal aku embuskan. Fokus yang semula berada pada buku teralih pada sosok-sosok yang kini mengelilingi ranjangku.

"Ada apa?" tanyaku datar.

Gerald tidak lagi menutupi mata emasnya dengan ramuan, Asher tampak sangat pendiam tetapi cekatan seperti dahulu, Ren masih sama--kekanakan. Hars terlihat sedikit kecil dibanding yang lain tetapi dia masih tampan, Kleand si kutu buku yang ahli tentang bacaan sihir dan materi persenjataan terlihat berdiri dengan pakaian formal yang cocok dengannya.

Aku menatap mereka datar. Tidak ada emosi. Sungguh, bertemu dengan mereka malah biasa saja. Tidak ada rasa senang dan kesal. Mereka, terasa seperti asing.

"Sudah cukup lama kau di sini ayo berlatih berjalan." Kleand menarik selimutku. Kemudian mengulurkan tangannya.

Aku menghela napas lagi. Pasrah dengan kelakuan mereka.

"Akan ada pesta perayaan kedewasaan untukmu. Jadi, kau harus tetap sehat." Ren kembali mengoceh.

"Lyana, kau harus kembali sehat," kata Hars.

Aku menatap pria itu. Jika dihitung, usianya sudah 26 tahun. Apakah dia sudah menikah atau bertunangan? Dengan siapa, ya?

Aku melirik kedua tangan Hars. Apakah sudah ada cincin? Ternyata belum.

"Tuan Hars, apakah Anda masih belum menikah?"

"Aku tidak akan menikah," jawab Hars datar.

Aku terkejut dan langsung menatap Hars yang ada di sebelah kiriku.

"Anda yakin? Hati-hati, nanti Anda jatuh cinta dan melupakan prinsip itu," ejekku.

Ah, percakapan kami berjalan begitu saja. Aku yang tadinya merasa asing entah kenapa berubah saat merasakan hangatnya genggaman Kleand. Apakah semua benar-benar akan baik-baik saja? Apakah kebencian itu akan benar-benar hilang bersama dengan kebahagiaanku yang sering mendapatkan kebaikan mereka?

Tampaknya aku harus membiarkan mereka mendapat kesempatan kedua?

"Kita ke mana?" tanyaku bingung sembari menatap Kleand yang menggenggam tanganku.

Begitu tiba di pintu masuk taman. Dari kejauhan pun aku bisa memastikan seseorang yang berdiri di depan pintu masuk taman itu adalah Cleo. Dengan sebuket bunga dan senyuman lembut. Dialah Cleo yang ku kenal sebagai pria dingin? Kenapa sekarang menjadi sangat manis.

"Cepatlah sembuh, Putriku," ucap Cleo sambil menyerahkan sebuket bunga padaku.

"Ah, maaf bentuknya agak jelek. Karena ayahmu ini tidak bisa membuat karangan bunga."

Aku tersenyum. "Terima kasih, Yang Mulia."

Bisa terlihat jelas wajah kecewa Cleo. Maaf, rasanya masih sulit untukku memanggilmu ayah Cleo. Mungkin nanti saatnya tiba. Aku akan memanggilmu dengan sebutan 'ayah'.

TBC

My Male Lead [SELESAI] (REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang