Dia Sudah Pergi ✔

17K 2.1K 68
                                    


Lyana kembali di saat malam tiba. Dalam diam, tanpa diketahui siapapun. Lyana pamit untuk pergi ke kuil sebenarnya. Jadi, tidak akan ada yang curiga.

Senyuman di wajah Lyana tak kunjung luntur. Ia terus memikirkan semua hal menyenangkan yang terjadi di antara dirinya dan Revan.

Suara ketukan pada kaca jendela kamar Lyana mengalihkan pandangannya. Lyana melihat seseorang ada di luar kamarnya, tepat di balkon.

Dia berjalan dengan waspada. Perlahan-lahan. Dia juga mengeluarkan sihir, membentuk pedang es yang merupakan perpaduan air dan angin. Begitu jendela dibuka dan Lyana siap menyerang, dia langsung terdiam saat melihat sosok Gerald duduk di tepian pembatas balkon. Hanya diam menatapi rembulan. Seraya memegang liontin pemberian Lyana beberapa tahun yang lalu.

"Yang — Gerald?" Lyana meralat panggilannya.

Gerald menoleh dengan mata emas dan kelopak matanya yang sendu. Lyana bingung apa yang terjadi. Gerald tak banyak bicara, ia hanya berjalan mendekati Lyana kemudian menyandarkan kepalanya di bahu kecil Lyana.

Suhu tubuh Gerald panas. Napas pemuda itu juga berat.

"Apa kau sakit?" tanya Lyana.

"Tidak," lirih Gerald tepat di telinga Lyana.

Gadis itu mendorong Gerald perlahan untuk menjauh. Gerald menurut, ia berdiri tegak dengan mata emasnya yang menatap sendu Lyana.

Tangan Lyana terulur. Mengusap dahi Gerald.

"Kau demam!" seru Lyana.

Gerald tak menjawab. Hanya duduk di balkon kamar Lyana. Bersandar pada kaki Lyana. Gadis itu otomatis mematung, tak berani bergerak karena Gerald sedang bersandar padanya. Lyana menunduk melihat Gerald yang hanya diam.

"Kau kenapa ke sini? Ada yang ingin dibicarakan?"

Tangan panas Gerald menarik tangan Lyana. Seolah menyuruh gadis itu untuk duduk bersamanya. Lyana yang berdiri perlahan duduk. Gerald sudah tidak. Lagi bersandar pada kakinya.

"Kenapa?"

"Maafkan aku," lirih Gerald.

"Memangnya apa?"

"Aku terpaksa melakukan ini karena aku tidak tahan lagi, rasanya sakit, Lyana," ucap Gerald yang masih belum menjelaskan maksudnya dan menjawab tanya Lyana.

Gerald yang gagah, sebagai pahlawan utama yang luar biasa, tidak pernah sekalipun seperti ini di hadapan Lyana yang meskipun sudah lama bersama Gerald sejak dia kecil. Tetapi, sekarang pemuda bertubuh tegap di sebelah Lyana seolah menjadi sosok berbeda. Dia seperti seorang anak yang tanpa sengaja menghilang Tupperware ibunya.

"Sudahlah," balas Lyana yang mengusap puncak kepala Gerald. Rambut hitam pemuda itu basah karena keringat dingin. "Lebih baik kau kembali dan istirahat," tutur Lyana lagi.

Gerald mengangkat pandangan. Mengunci tatapan Lyana hanya padanya. Pemuda itu bergerak maju dan tiba-tiba mengecup bibir Lyana.

Seketika Lyana menghindar. Tetapi sudah terlambat. Dia yang sudah terlepas menatap Gerald sinis.

"Kau harus kembali," titah Lyana setengah marah.

"Maafkan aku," lirih Gerald lagi.

"Iya," balas Lyana setengah hati.

Gerald siap melompat dari balkon. Ke dahan pohon yang sedikit dekat dari kamar Lyana. Tetapi sebelum itu ia menoleh menatap Lyana dengan senyuman tipis.

"Aku mencintaimu," lirihnya.

Gerald pergi. Meninggalkan Lyana yang diam di depan pintu menuju balkon. Ia menatap kepergian Gerald dengan tatapan bingung.

"Hah?!"

***

Tiga hari kemudian, sesuatu yang mengejutkan terdengar di telinga Lyana. Menciptakan luka yang sangat menyakitkan.

"Sir Revan Velanes, tiada dalam pemberantasan monster di Utara, bahkan mayatnya saja tidak tersisa, hanya beberapa bagian tubuh saja yang bisa dibawa pulang karena dia dilahap monster di sana."

Begitu kabar yang Lyana dengar.

Air matanya jatuh, kalimat yang menggaung di telinganya, menggores luka di hati terus menerus. Padahal rasanya baru kemarin Lyana bersama dengan Revan. Hanya sebentar. Ingatan tentang tawa Revan yang renyah, senyuman ceria, dan loluconnya yang selalu membuat Lyana tertawa bahagia, ciuman pertama mereka. Lyana merasa semua itu hanya mimpi.

"Mimpi! Ini pasti mimpi!" teriak Lyana seperti ini gila.

Akan tetapi, para ksatria putih yang kembali membawa peti kecil seukuran kotak sepatu, membuat Lyana melemas.

Ia dengan gaun hitamnya, tak sanggup melihat arak-arakan itu. Pengantaran sisa tubuh Gerald ke pemakaman.

Semua orang tidak menyangka. Tak hanya Lyana saja. Duke dan Duchess Velanes juga tak sanggup menerima kepergian itu.

Penugasan tersebut diatur oleh Gerald yang menggantikan ayahnya sebagai seorang putra mahkota. Kaisar yang sakit menyerahkan wewenang Kekaisaran kepada putranya.

Lyana tak begitu marah atas kematian ini jika saja memang Revan itu ksatria khusus, tetapi Revan adalah ksatria putih yang merupakan pengawal kaisar sejak beberapa tahun lalu, dan bisa-bisanya Revan yang merupakan kepala pengawal kaisar di kirim ke utara?

"Dia sudah pergi." Bisikan tersebut membuat Lyana menoleh ke belakang. Mendapati Gerald dengan wajah sedih, tetapi mata emas yang bersinar bahagia itu tidak bisa berbohong. Kematian ksatria putih, pengawal kaisar, Revan Velanes, membuat sang putra mahkota tersenyum bahagia di dalam hati terdalamnya.

Lyana menatap Gerald kesal. Dia ingin berteriak marah dan bertanya banyak hal pada Gerald tetapi ini bukan saatnya.

***

Revan dikatakan diberi perintah untuk ke wilayah utara tepat saat kembali dari 'kencan' bersama Lyana. Berarti saat Gerald datang ke kamar Lyana dengan suhu tubuh tinggi.

Ketika itu Gerald meminta maaf. Untuk apa? Lyana bingung. Apakah untuk penugasan Revan ke perbatasan? Tapi, kenapa malah minta maaf pada Lyana? Apa Gerald tahu tentang Revan dan Lyana?

Semua pertanyaan masuk kedalam pikiran Lyana.

Ketukan pada pintu balkon, tepatnya di jendela kaca sebelah pintu balkon. Bayangan tinggi seseorang dari balik pintu membuat Lyana yakin itu Gerald.

"Kenapa kau mengirimnya ke sana? Kenapa? Kenapa kau datang meminta maaf?"

"Kau sudah tahu jawabannya," jawab Gerald.

"Apa?"

"Karena kau mencintainya," jawab Gerald memperjelas.

"Hah?"

"Maafkan aku," ucap Gerald lagi yang kemudian mencium Lyana lagi secara paksa.

TBC

My Male Lead [SELESAI] (REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang