Menjadi ibu ternyata tidak mudah. Jika tahu menjadi seorang ibu susahnya bukan main, Clara tidak akan menjadikan 'ibu' sebagai cita-citanya di masa kecil.
Lebih lagi ibu tunggal.
Clara Seana Martani adalah wanita berusia 30 tahun dengan satu anak. Clara merupakan single parent sejak beberapa bulan yang lalu.
Alasan perceraiannya dengan mantan suaminya memang sepele; karena tidak satu visi misi. Mantan suami Clara meminta Clara untuk tinggal di Amsterdam, sedangkan Clara tidak mau. Ibu Clara sudah tua dan sering sakit-sakitan, sehingga ia tidak berani meninggalkannya sendirian di Indonesia.
Sementara itu, di saat yang bersamaan, posisi Clara sudah hamil 6 bulan. Alhasil, Cleo, sang anak, lahir tanpa ayah.
Itu tidak masalah bagi Clara karena dengan tetap tinggal di Indonesia, dia jadi lebih fokus mengawasi kesehatan ibunya dan Cleo.
Itu yang Clara awalnya pikirkan.
Ia tidak memproyeksikan rencananya dengan baik. Dengan posisinya yang menjadi tulang punggung bagi ibu dan anaknya, ia cukup sulit membagi waktu. Apalagi Cleo yang masih berusia 5 bulan ini sering sekali rewel.
Berbagai macam cara ia pikirkan hingga ia memutuskan untuk bekerja menjadi perancang bangunan lepas di sebuah website. Dari segi waktu memang diuntungkan, tapi tidak selamanya finansialnya cukup untuk menutup kebutuhannya, ibunya, dan anaknya.
Well, ia tidak masalah akan hal itu. Untuk sementara ini ia masih bisa hidup dengan baik.
Umm, sebenarnya tidak terlalu baik. Terlebih ketika Cleo sering rewel di saat-saat yang tidak tepat. Seperti di acara pernikahan mantan bosnya, Tian, sekarang ini.
Sejak setengah jam yang lalu ia tiba di gedung, ia belum berani masuk. Cleo menangis dan tidak bisa diam meskipun ia sudah berusaha untuk memberikan ASI atau susu formula. Ia tidak akan enak jika membawa masuk Cleo yang berisiknya bukan main itu. Ia juga lebih tidak enak hati jika tidak menghadiri pernikahan Tian.
"Belum berhenti juga nangisnya?"
Seorang pria asing datang ke arahnya. Dari setelan jasnya, ia bisa menebak jika pria itu salah satu keluarga mempelai, entah Tian atau istrinya.
"Ah, iya nih Mas. Saya sampe bingung, biasanya ga gini loh," keluhnya seraya menggendong Cleo dan menggoyangkan tubuhnya ke atas bawah.
Pria itu mengangguk. "Tapi udah masuk ke dalem belum?"
"Belum. Gimana ya? Saya ga enak kalo bikin ribut di dalem."
"Anaknya titipin ke saya dulu aja. Seenggaknya setor muka di dalem."
Clara menatap sang pria dengan hati-hati. Tawaran itu menarik juga, tapi ia tidak bisa serta merta memasrahkan anaknya pada orang asing. Bagaimana jika pria itu penculik? Bagaimana jika Cleo diincar sejak tadi?
Mengerti arti tatapan itu, sang pria terkekeh. "Saya bukan penjahat. Saya Jeremy, sepupu Mbak Kinan. Saya cuma menawarkan bantuan aja, kok. Kalau gamau juga gapapa," ujarnya lembut.
Clara sekali lagi melirik ke arah pria asing itu di antara kegiatannya menenangkan Cleo. Tidak ada pilihan lain. Ia selamanya tidak akan bisa menghadiri pesta Tian jika Cleo terus menangis.
Nampaknya juga pria itu orang baik. Apalagi ketika beberapa tamu di sana menyapa pria itu seolah memang dia adalah orang yang banyak dikenal di sana.
"Boleh kalau ga merepotkan?" Clara mengusap punggung Cleo kemudian melanjutkan, "Tapi, boleh saya minta KTP-nya sebagai jaminan?"
Jeremy menaikkan alisnya kemudian terkekeh. Ia mengambil dompet di celananya kemudian mengeluarkan KTP, SIM, dan kartu debit dari sana. "Kalau Mbak kurang jaminan," kelakarnya seraya menyimpan lagi dompetnya di saku.
KAMU SEDANG MEMBACA
By The Irony Of Fate
Fiksi PenggemarIni cerita klise yang singkat tentang Jeremy dan Clara yang bertemu karena ketidaksengajaan. Kalau ditanya bisakah cinta pandangan pertama hadir di antara dua orang dewasa, coba saja jadi saksi kisah mereka; si Jeremy yang lama menyendiri dan si Cla...