Jeremy baru menyelesaikan rapatnya dengan kantor pusat secara daring di pukul 10 malam. Ternyata direktur yang ditunjuk untuk mengepalai kantor cabang di Pekanbaru sudah selesai dengan urusannya dan akan kembali dalam waktu dekat.
Ya, posisi direktur sementara yang dipegang oleh Jeremy memang tidak selamanya, seperti namanya; sementara. Direktur yang seharusnya menjabat masih terikat kontrak dengan perusahaan lain di Gorontalo. Karena itu, Jeremy di sini ditugaskan untuk menahkodai kantor cabang yang sudah dicanangkan untuk segera berdiri tahun lalu.
Itu berarti, Jeremy akan kembali ke Jakarta secepatnya.
Jeremy menutup laptop-nya dan meregangkan tubuhnya. Kurang lebih rapat hanya berjalan 2 jam. Untuk ukuran rapat yang membahas banyak hal tentang progres setiap cabang dan pengumuman kembalinya direktur Pekanbaru, rapat itu cukup singkat. Ia awalnya berpikir akan selesai tengah malam. Karena itu lah tadi ia menyuruh Clara tidur lebih dulu dengan Cleo.
Sebelum masuk ke kamar, dirinya menyempatkan untuk mematikan lampu ruang tengah. Ketika ruangan semakin senyap, ia bisa mendengar sayup suara televisi dari arah kamar. Apakah Clara belum tidur?
Ketika ia membuka pintu kamar, ia disambut oleh cahaya redup lampu tidur dan nyala televisi yang menyorot ke wajah Clara. Di sampingnya, Cleo sudah tertidur dengan kaki yang menguasai sisi tempat Jeremy biasa tidur.
Jeremy menggeleng kecil sebelum menutup pintu kamarnya. Ia letakkan laptopnya di meja seraya menatap ke arah layar televisi yang menayangkan film legendaris "Titanic" dengan volume minimum. Sang pemeran wanita terlihat menggenggam tangan pemeran pria yang hampir tenggelam. Itu adegan yang pernah membuatnya menangis.
Namun, saat dirinya menoleh ke arah Clara, wanita itu terlihat datar. Sama sekali tidak terlihat bersedih dengan adegan di depannya.
"Ih, kok kamu ga nangis?" tanyanya seraya memperbaiki posisi tidur Cleo yang berantakan dan merebahkan dirinya di samping kanan Cleo.
Pasti akibat dari kecil dirinya terbiasa dengan kasurnya sendiri.
"Ga ah. Bulol banget mereka berdua. Lagian itu papan kayu masih bisa kali buat berdua," omel Clara dengan suara kecil.
"Berarti Rose egois?"
"Hmm, gatau ya egois apa ga. Soalnya kalo egois si Rose udah ninggalin Jack dan ga lompat dari sekoci. Tapi masa iya baru ketemu sehari aja udah secinta itu? Ga masuk akal."
"Aku buktinya." Jeremy menumpukan kepalanya dengan tangan yang menekuk. Ia menghadap sepenuhnya pada Clara yang kini duduk bersandar pada kepala tempat tidur. "Aku dah secinta itu dari awal kita ketemu di nikahannya Bang Theo sama Mbak Kinan."
Mendengar hal itu, Clara mengernyit seraya melirik ke arah Jeremy. "Apa sih?"
"Salting cieee." Jeremy mencolek dagu Clara berulang kali hingga gadis itu mengerang kesal.
"Engga tuh?"
Jeremy terkekeh pelan. Wanita itu memang tidak ingin menunjukkan bahwa dirinya tersipu, pikirnya. "Ya udah engga."
Pria itu kini diam, tidak mengajak Clara berbincang. Ia lebih tertarik menatap wajah serius Clara saat menonton film diiringi suara televisi dan napas teratur Cleo.
Merasa terus dipandang secara intens, Clara menjadi tidak fokus. Ia menoleh, menutup mata Jeremy agar berhenti menatapnya. Namun, pria itu segera menyingkirkan tangannya dan kembali menatapnya dengan mata elang yang indah itu.
Semua yang melihat cara Jeremy menatap Clara pasti tahu jika pria itu cinta mati pada Clara. Mungkin Jeremy akan melakukan hal yang sama yang Jack lakukan di film pada Clara saking cintanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
By The Irony Of Fate
FanfictionIni cerita klise yang singkat tentang Jeremy dan Clara yang bertemu karena ketidaksengajaan. Kalau ditanya bisakah cinta pandangan pertama hadir di antara dua orang dewasa, coba saja jadi saksi kisah mereka; si Jeremy yang lama menyendiri dan si Cla...