Pertemuan Kira dengan Jeremy dan Clara di reuni SMA Adip itu sama sekali tidak pernah terbersit di otak Kira. Ia sama sekali tidak menyangka jika Adip dan Clara adalah teman SMA. Ia pun tak menyangka jika mantan kekasih Adip itu adalah Clara kekasih Jeremy.
Pada intinya semua itu di luar kendali Kira.
Ia sama sekali tidak pernah berpikiran untuk mengusik ketenangan Jeremy. Ia bahkan berbohong dan bilang pada Jeremy bahwa ia sudah memesan tiket pulang ke Jepang padahal ia masih ada urusan yang harus diselesaikan di Indonesia.
Semata-mata agar dirinya tidak punya alasan untuk bertemu lagi dengan Jeremy.
Tidak ada yang bisa ia salahkan. Adip bahkan tidak tahu bahwa ia adalah mantan kekasih Jeremy. Semuanya terjadi begitu saja seolah memang mereka harus bertemu.
Di hari Minggu ini, Kira dan Adip memang memiliki janji bertemu untuk membahas pertemuan Kira dengan tim nuklir di hari Senin. Meskipun mereka sedikit canggung karena kejadian di reuni itu, mereka tetap memutuskan untuk bertemu.
Kira tiba di kafe tempat mereka bertemu lima menit setelah Adip datang. Ia bisa melihat sosok Adip menunggunya di sisi dekat jendela, menghadap ke arah tempat pemesanan. Ia mengangguk kecil ke arah Adip sebelum menuju ke arah tempat pesananan.
Ketika ia tengah memilih-pilih menu, ia merasakan embusan napas berat di belakang telinganya. Dari kaca di belakang barista, ia bisa melihat Adip tengah membuka jaketnya.
"Emm, Mas Adip?"
"Eh, gak kok, Mbak. Cuman mau ngasih ini." Adip melingkarkan lengan jaketnya ke pinggang Kira, mengikatkannya di area perut Kira. "Maaf karna saya liat itu."
Kira sedikit maju, memperbesar jarak antara dia dan Adip. Ia merasa tidak enak saat melihat ekspresi barista yang canggung. "Apa maksudnya?" tanyanya, melirik ke belakang.
"Mbak lagi red day, ya?"
"Hah?" Kira mengintip dari balik jaket Adip. Celana cokelatnya itu memiliki bercak merah kehitaman. Adip benar. "Sialan, gue ga bawa pembalut," desisnya dengan wajah yang memerah.
Ia malu tentu saja. Selain itu, ia juga merasa marah pada dirinya sendiri yang ceroboh tidak menghitung harinya.
"Kalo ga keberatan, Mbak di sini dulu aja. Saya beliin di minimarket depan."
Adip berbalik cepat dan melangkah cepat menuju minimarket. Meninggalkan Kira yang entah mengapa emosinya menjadi tidak karuan.
Usai memesan es americano, ia duduk di tempat Adip tadi duduk. Entah karena terbawa emosi atau malu, ia menangis dalam diam. Hormon wanitanya serta semua kejadian kemarin dan hari ini berkecamuk begitu saja menciptakan emosi baru yang membuat air matanya terus mengalir.
"Mbak ini—" Adip datang dengan satu bungkus pembalut. Ia sedikit termangu saat melihat Kira yang sibuk menghapus air matanya. "Maaf, saya taruh sini ya."
"Hidup kenapa ga adil sih? Kenapa dia bahagia banget sedangkan gue gini-gini aja? Gue ada dosa apa sama dunia? Gue bukan pembunuh, gue bukan teroris, gue bukan pengacau pemerintahan dunia. Kacau banget, anjing!"
"Mbak?"
Kira menyahut pembalut yang Adip beli dan bergegas menuju toilet dengan kaki yang menghentak. Adip yang melihat itu hanya bisa terdiam. Ia terbiasa dengan situasi seperti ini, ia tidak terlalu kaget.
Cukup lama bagi Adip untuk menunggu Kira. Bahkan sampai air dari gelas minuman dinginnya dan Kira meluber cukup banyak.
Kira keluar dari kamar mandi, masih dengan jaket Adip yang menutupi celana basahnya.
"Mbak, kalo misal lagi ga mood, bisa ditunda besok aja, sekalian di kantor," ujar Adip saat Kira duduk di hadapannya.
"Maaf, maaf. Saya kebawa emosi."
Kira memang sudah terlihat lebih stabil dari sebelumnya. Tapi tidak cukup membuat Adip yakin bahwa Kira sanggup mengikuti arahannya.
Pria itu menggeleng tegas. "Kita bisa bahas besok sekalian sama orang kantor. Sekarang bisa cerita sama saya yang Mbak Kira rasain."
"Ga perlu lah. Mas bukan orang yang harus tau segalanya." Kira yang sedang merogoh isi tasnya itu mengerutkan kening. Merasa jika Adip terlalu ingin mencampuri urusannya. "Ini ganti uang pembalutnya, Mas. Makasih," ujarnya seraya menyerahkan selembar uang 20.000.
Bukannya menerima, Adip justru menggeleng. "Simpen aja."
Kira lagi-lagi mengernyit. Ia tidak mampu memaksa karena wajah Adip yang terlampau serius. Ia kembali simpan uang itu dan menaruh dompetnya ke dalam tas.
"Clara itu mantan istri saya."
Gerakan Kira sempat terhenti. Ia menatap Adip yang sepertinya hendak menceritakan sesuatu.
"Saya sama Clara udah berhubungan lama, dari SMA. Setelah kita berdua pacaran lama, kita nikah. Tapi, pernikahan kita bahkan ga sampe 1 tahun karna dia ga mau ikut saya ke Belanda. Dia milih pisah daripada harus ninggalin ibunya.
"Waktu saya balik lagi, dia ternyata udah sama Jeremy. Dia bahagia banget saya liat waktu sama Jeremy. Begitu pula Jeremy ke Clara. Saya pikir, saya orang paling sial di muka bumi karna udah sia-siain Clara demi keegoisan sesaat. Saya sumbu pendek karna menyetujui perceraian kami karna merasa ga mampu buat komitmen LDR.
"Tapi, ya saya tau, itu konsekuensi yang harus saya jalani. Saya ninggalin dia dan dia harus tersakiti. Sekarang mungkin giliran dia yang ninggalin saya dan saya yang harus tersakiti. Bukannya itu dah impas?"
Kira mendengus kecil. "Apa hidup selalu tentang impas? Yang tersakiti harus menyakiti dan sebaliknya? Kenapa yang menyakiti ga bisa dapet pengampunan? Manusia tempatnya salah, 'kan?"
"Karna manusia juga butuh bahagia, Mbak." Adip menatap tajam tepat ke mata Kira. "Kita egois atas mereka, tapi kita ga pernah berpikir tentang perasaan mereka, bahagia mereka."
Kira menajamkan rahangnya. Memang jika dipikir, ia memiliki keegoisan akan Jeremy. Jika saja ia jahat, ia tentu akan merebut Jeremy dari Clara.
"Kita ga boleh egois ya? Kan kita juga berhak bahagia?" cicitnya tanpa menatap Adip.
"Dengan mengorbankan kebahagiaan orang lain, Mbak yakin? Mbak mending pikir dua kali, apa kemudian ketika Mbak dapetin lagi Jeremy dengan merebut kebahagiaan Jeremy, apakah kemudian hubungan kalian akan bahagia? Mbak akan bahagia?"
Adip sedikit terengah usai mengatakan kalimat panjang. Ia seolah menampar dirinya sendiri yang selama ini berusaha mengejar Clara lagi. Ia bodoh, ia akui. Semata-mata karena ia sangat mencintai Clara.
Melihat emosi Adip yang memuncak, Kira semakin setuju dengan tawaran Adip untuk menunda pertemuan mereka.
"Mas, saya pulang ya?" Kira buru-buru menyampirkan tas di pundak. "Makasih banyak, Mas Adip. Saya bakal pikirin kata-kata Mas Adip."
Adip mengusap wajahnya kasar. Ia tidak seharusnya semarah ini. Karena dirinya sendiri lah yang membuatnya begitu emosi saat ini. Ia emosi bukan karena Kira atau situasi kemarin, melainkan karena dirinya sendiri.
Ia menahan tangan Kira yang hendak melewatinya. Ia mendongak, menatap Kira yang menatapnya heran.
"Mbak nginep di mana? Saya anter."
TBC
Gas ga nih Dip???
KAMU SEDANG MEMBACA
By The Irony Of Fate
Fiksi PenggemarIni cerita klise yang singkat tentang Jeremy dan Clara yang bertemu karena ketidaksengajaan. Kalau ditanya bisakah cinta pandangan pertama hadir di antara dua orang dewasa, coba saja jadi saksi kisah mereka; si Jeremy yang lama menyendiri dan si Cla...