Penguntit

299 40 25
                                    

Siang hari di ibu kota yang panas sangat ideal untuk digunakan bersantai menikmati es kopi. Hal ini tentu tidak disia-siakan oleh Adip. Setelah bertemu dengan salah satu koleganya, ia beranjak ke sebuah mall untuk membeli kopi di salah satu kedai terkenal.

Adip adalah seorang pegawai di sebuah badan reaktor nuklir di Belanda. Namun setelah kontraknya habis, ia kembali ke Indonesia. Kebetulan juga, ia mendapatkan tawaran dari badan riset untuk mengembangkan teknologi nuklir di negara kelahirannya tersebut.

Ia pikir, kembalinya ke Indonesia ini adalah langkah yang tepat. Ia akan kembali hidup normal layaknya manusia Indonesia dan kembali ke pelukan keluarga kecilnya dengan mengajak Clara kembali.

Namun, ia salah dan terlambat. Clara sudah jatuh cinta dengan pria lain.

Sebenarnya bukan itu yang membuatnya tertekan akhir-akhir ini. Bahkan dirinya tinggal di Belanda tanpa wanita pun ia sanggup. Hanya saja, ia merenungkan kehidupannya selanjutnya.

Apakah kemudian ia akan selamanya sendiri sebagai duda yang menyedihkan? Terlebih dua hari lagi akan ada reuni SMA, di mana teman-temannya pasti tahu tentangnya dan Clara.

Sudah pasti wanita itu menggandeng Jeremy ke reuni tersebut, Jeremy sendiri yang mengatakan padanya. Lalu, apakah kemudian ia datang seorang diri? Hah, menyedihkan.

Ketika ia mengaduk-aduk caramel macchiato-nya di sebuah meja kedai kopi, seorang gadis yang lebih muda darinya menghampiri. Gadis itu cantik dan tinggi. Penampilannya sangat mencerminkan bahwa ia wanita karier yang sukses berdiri dengan kakinya sendiri.

Gadis itu mengamati kartu identitas karyawan yang menggantung di lehernya. Membuatnya mau tidak mau ikut memperhatikan kartunya.

"Mas, kerja di Badan Riset, ya?" Gadis itu mengerjapkan mata bulat cantiknya.

"Eh, iya."

"Boleh ngobrol ga, Mas? Kebetulan saya juga kerja di badan risetnya Jepang."

"Oh, boleh-boleh."

Persetujuan itu membuat sang gadis cantik itu duduk di hadapannya. Ia mengulurkan tangannya. "Kira," ujarnya tanpa melepaskan senyumannya.

Adip membalas senyuman tersebut dan menjabat tangan yang lebih mungil darinya tersebut. "Radifan." Ia sedikit mengernyit saat mencermati nama Kira. "Saya kayak pernah denger nama Mbak, tapi saya lupa."

"Masa? Di mana itu, Mas?" tanya Kira seraya melepaskan jabatan tangan mereka.

"Mungkin saya lagi halu aja. Jadi gimana, Mbak? Ada yang mau diobrolin?"

"Ini sih, Mas. Kebetulan tim saya dikasih tahu kalo ada proposal masuk dari Badan Riset untuk kerja sama di bidang nuklir beberapa bulan yang lalu. Kebetulan saya lagi di Indonesia, jadi saya mau ngecek. Kalo mau follow up gitu saya harus ke siapa, ya, Mas?"

"Oh, bisa ke saya. Kebetulan saya di bidang yang sama."

Wajah Kira berubah semakin sumringah. "Kebetulan banget, Mas!"

"Tapi, mungkin saya juga harus komunikasikan ke atasan dulu. Soalnya saya juga baru di sini."

"Oalah. Masnya baru lulus?"

Tendensi asing di antara mereka luruh begitu saja. Mereka seolah kawan lama yang akrab mengobrol dan santai satu sama lain. Bahkan kini Kira mencondongkan tubuhnya ke depan, tanda tertarik dengan arah obrolan mereka.

"Udah lama sih lulusnya. Cuman kemaren sempet kerja di luar, baru balik lagi beberapa minggu yang lalu."

"Oh, ya, ya. Di mana, Mas?"

By The Irony Of FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang