Setelah mengantarkan perabot ke rumah Clara, akhirnya Jeremy berangkat juga menuju bandara.
Tentu saja kali ini Clara tidak terpisahkan dari Jeremy. Wanita itu selalu ada di sampingnya apapun yang ia lakukan.
Tidak hanya Clara yang tak ingin terpisah, Jeremy pun seperti itu. Sejak keberangkatan mereka dari rumah menuju bandara, ia sama sekali tidak melepaskan genggamannya pada tangan Clara.
Kedua tangan itu saling menggenggam di atas paha Jeremy. Seolah tidak ada yang boleh dan mampu memisahkan mereka.
Jangan tanyakan di mana Cleo. Sejak pemberitahuan keberangkatan Jeremy, Helena mengambil alih posisi Clara untuk mengasuh Cleo. Ia tahu jika keduanya butuh waktu untuk berpisah.
Tidak banyak obrolan yang mereka lakukan sepanjang perjalanan menuju bandara. Mobil yang Jeremy lajukan itu sayangnya terasa begitu cepat melaju. Rasanya satu jam perjalanan hanya lah lima menit bagi mereka.
Pukul 9 malam, mereka akhirnya tiba di bandara, tepat dua jam sebelum keberangkatan pesawat.
"Clar," lirih Jeremy usai memindahkan dua kopernya ke troli. Membiarkan porter bandara untuk mendahului mereka. "Aku gamau pergi."
Clara mendesah kecil. Bahkan ia pun merasakan hal yang sama; tak ingin Jeremy pergi. Tapi, apa boleh buat? Semuanya di luar kendali mereka.
Wanita itu hanya pasrah saat Jeremy membawanya ke dalam pelukannya. Usapan lembut di belakang kepalanya membuatnya semakin berat melepaskan Jeremy. Sekali lagi, ia membasahi kemeja kotak-kotak Jeremy setelah sebelumnya juga ia basahi oleh air mata di rumah.
"Ati-ati di sana, ya, Jer. Jangan lupa selalu kabarin kalo ada apa-apa," isak Clara. Sudah tak punya daya untuk menahan Jeremy pergi.
Jeremy mengeratkan pelukannya saat pengumuman pesawatnya terdengar menggema di seluruh penjuru bandara. Seharusnya ia ada di rumah bersama Clara dan Cleo detik ini. Seharusnya ia sudah mulai merencanakan resepsi pernikahan.
Bukannya ada di tempat perpisahan seperti ini.
"Kamu juga jangan lupa kabarin aku apapun. Apapun, Clar. Sekecil apapun tolong kabarin aku. Sesibuk apapun aku nanti, kamu tetep jadi prioritas aku. Itu sumpah aku, Clar."
Pelukan mereka merenggang untuk saling menatap. Tangan Clara terangkat, mengusap basah di kelopak mata Jeremy tanpa pernah sadar jika wajahnya lebih basah.
Jeremy ikut mengusap wajah Clara. Mengagumi ciptaan Tuhan di hadapannya dengan segenap jiwa. Jika ia sudah pernah mengatakan bahwa Clara adalah yang tercantik di dunia, maka selamanya ia tak akan pernah bosan mengatakannya berulang kali.
Dan itu pula yang Clara pikirkan saat ini. Jika dibutuhkan, maka ia akan mengatakan pada seluruh dunia bahwa Jeremy adalah yang terindah dan itu hanya miliknya seorang.
"My sweetheart, my beautiful lady, I love you. Aku bakal kangen banget sama kamu," desis Jeremy.
Kalimat yang seharusnya terdengar menggelikan di telinganya kini justru terdengar menyedihkan bagi Clara. Wanita itu mengangguk kecil. "I love you more, Jeremy. Aku juga bakal kangen banget sama—"
Kalimat itu terhenti ketika tangis sang wanita meledak. Clara ambruk di pelukan Jeremy, menumpahkan semua berat hatinya di dada bidang itu.
Jeremy membuang bola matanya ke atas, menahan dirinya agar tidak menangis lagi. Tangannya pun tak mampu hanya untuk mengusap punggung yang bergetar itu. Mungkin jika ia memeluk Clara lagi, ia tidak akan pernah bisa melepaskan pelukannya lagi.
"Sayang."
Suara gemetar Jeremy membuat Clara sedikit menegakkan badannya. Ia tak peduli lagi dengan wajahnya yang sembab dan mungkin berantakan di mata Jeremy.
KAMU SEDANG MEMBACA
By The Irony Of Fate
FanfictionIni cerita klise yang singkat tentang Jeremy dan Clara yang bertemu karena ketidaksengajaan. Kalau ditanya bisakah cinta pandangan pertama hadir di antara dua orang dewasa, coba saja jadi saksi kisah mereka; si Jeremy yang lama menyendiri dan si Cla...