Tiba saatnya Clara pulang dengan Cleo di hari Minggu sore. Sejak siang, Clara merasa sedih karena waktunya terbatas. Harusnya, ia bisa menginap di sana seminggu lebih. Tetapi, ia tidak mungkin meninggalkan Helena sendiri tanpa ada yang mengawasi jadwal kontrolnya.
Cleo dalam gendongan Clara juga sepertinya merasakan hal yang sama. Sejak pagi, ia uring-uringan tanpa sebab yang jelas. Sepertinya gadis itu paham, ia tidak ingin berpisah dengan Jeremy.
Di depan pintu gerbang keberangkatan, Jeremy berhenti. Begitu pula dengan Clara yang kini berbalik menghadap Jeremy. Pria itu memeluk erat kedua perempuan terbaiknya. "Ati-ati," bisiknya.
"Kamu juga ati-ati di sini." Clara mengusap punggung Jeremy pelan. Ia tidak boleh menangis di depan Cleo, itu prinsipnya.
"Iya, Sayang."
Jeremy lantas melepaskan pelukannya, mengusap kepala Clara dengan penuh sayang kemudian mengecup keningnya lama. Begitu pula dengan Cleo yang tak lama kemudian meminta jatahnya.
"Aku dah hubungin WO, namanya Mbak Galuh. Kalo kamu ada waktu, nanti bisa ngobrol sama dia dulu ya tentang konsepnya kaya gimana."
"Gamau. Sama kamu aja kalo udah pulang." Jawaban itu mirip sebuah protes manja di telinga Jeremy. Apalagi posisinya kini Clara tengah menahan tangis.
"Sama aku apanya?" tanya Jeremy disertai senyum jenaka.
"Diskusinya, kita bertiga. Gamau cuman aku aja. Emang kamu mau kalo konsep pernikahannya sepihak aja?"
"Aku percaya sama kamu, kok, Sayang. Apapun yang kamu mau aku suka."
"Trus kalo ditanya kapan mau nikahnya, trus aku jawab taun depan, emang ga diketawain?"
Malah kini Jeremy yang tertawa melihat Clara yang menjebikkan bibir. Oh, ayolah. Ia berusaha membuat Clara kesal sekarang. Ia ingin Clara kesal karena dirinya tidak sedih sama sekali saat mereka berpisah padahal sekitar seminggu lagi ia akan kembali.
"Ga bakal. Aku udah bilang kok kapan estimasinya," jawab Jeremy pelan, meredakan gelinya.
Dan itu berhasil. Clara cukup kesal dengan reaksi Jeremy yang seolah tidak ada sedihnya sama sekali. Bahkan pria itu menganggap enteng pernikahan mereka.
"Ya udah."
Jika saja ia tidak terbang beberapa menit lagi, ia sudah memperpanjang debat mereka hingga Jeremy sadar akan kekesalannya. Beruntungnya Jeremy.
Beberapa detik setelah ia memutus negosiasi singkat itu, pemberitahuan mengenai pemberangkatan pesawatnya terdengar. Ia menjadi lemas.
"See you again, Sayang." Jeremy mengecup kening Clara sekali lagi sebelum melambaikan tangannya.
"See you." Clara menghela napas singkat. Ia beralih pada Cleo, mencolek pipi tembamnya yang kini sibuk menatap orang-orang di sekitarnya. "Dadah dulu sama Ayah."
Gadis mungil itu tersadar bahwa Jeremy tengah melambaikan tangan. Tangannya terangkat ke udara, bergerak kecil seolah dirinya adalah seorang model. "Dadah."
"See you, cantiknya Ayah. Kita ketemu lagi di Jakarta, ya?" Jeremy mencubit pelan pipi merah Cleo kemudian melambaikan tangan lagi.
Setelah itu, Clara menarik kopernya menuju ke tempat pemeriksaan dengan tanda tanya besar di kepalanya. Apakah Jeremy benar-benar tidak sedih dengan kepulangannya? Ia masih ingat bahkan bagaimana pria itu menangis satu tahun yang lalu saat hendak berangkat ke Pekanbaru.
Apakah cinta Jeremy sudah luntur pelan-pelan?

KAMU SEDANG MEMBACA
By The Irony Of Fate
FanfictionIni cerita klise yang singkat tentang Jeremy dan Clara yang bertemu karena ketidaksengajaan. Kalau ditanya bisakah cinta pandangan pertama hadir di antara dua orang dewasa, coba saja jadi saksi kisah mereka; si Jeremy yang lama menyendiri dan si Cla...