Dewasa, Katanya

560 72 32
                                    

Setelah mengarungi jalanan hampir 30 menit lamanya, Jeremy, Clara, dan Cleo tiba di rumah ibu Clara. Sepanjang perjalanan, Cleo tertidur. Membuat kedua sejoli itu mampu berbincang ringan tanpa gangguan.

Bermesraan kalau kata Jeremy.

Sesampainya di rumah ibu Clara, Jeremy menggendong Cleo dan membiarkan Clara membawa tas milik sang anak. Bohong jika Jeremy tidak gugup, terlebih ketika Clara menekan bel pintu rumah minimalis itu.

Pintu terbuka tak lama setelah Clara mundur untuk menyejajarkan posisi dengan Jeremy. Wanita itu melemparkan senyum tenang pada Jeremy yang terlihat tegang. Well, ia paham situasi yang Jeremy hadapi sehingga ia berinisiatif untuk mengusap lengan Jeremy pelan.

"Halo, Tante. Saya Jeremy," ujar Jeremy ketika wanita berambut putih keseluruhan itu muncul dari balik pintu. Tak lupa, ia berikan senyuman terbaiknya hingga kedua pipinya menghasilkan lubang manis.

Wanita paruh baya bernama Helena itu balas tersenyum pada Jeremy. Ia membuka pintu lebar-lebar, mempersilakan tamunya itu untuk masuk. "Hai, sini-sini masuk. Clara udah banyak cerita tentang kamu. Ternyata beneran udah deket ya sama Cleo. Udah kenal Clara sejak kapan?"

Sambutan ceria dari Helena itu membuat Jeremy sedikit bisa bernapas lega. Ia menatap sekilas ke arah Clara sebelum mengekori langkah Helena menuju ruang tamu. 

"Udah satu bulanan, Tante. Kami ketemu di nikahan kakak sepupu saya waktu itu. Kebetulan suami kakak sepupu saya itu bosnya Clara."

"Oalah, gitu. Panggil Ibu aja, Jeremy. Sini duduk."

Jeremy melipat bibirnya ke dalam mendengar kalimat itu. Sekali lagi, ia merasa lebih lega dari sebelumnya. Ia terkekeh pelan kemudian ikut duduk di sofa, di samping Helena. "Iya, Bu."

"Cleo ditidurin di kamar tamu aja, Clar. Udah Ibu kasih perlak sama ada selimut juga," titah Helena ketika melihat Jeremy masih menggendong Cleo bahkan ketika dirinya ingin mengobrol banyak dengan pria yang mampu memikat anaknya itu.

Clara mengangguk patuh sebelum mengambil alih Cleo dari gendongan Jeremy. Ia sempat tersenyum geli ketika melihat isyarat Jeremy padanya bahwa ia masih sedikit gugup dan akan semakin gugup jika Clara meninggalkannya. "Sebentar, Sayang," cicitnya sebelum membawa Cleo pergi dari ruang tamu.

Helena tidak melihat interaksi itu, terlalu sibuk untuk merangkai kata-kata yang akan ia gunakan untuk berbincang dengan Jeremy. Sebagai seorang ibu yang pernah melihat kegagalan rumah tangga anaknya tentu membuat Helena ingin menjadi lebih selektif lagi. Ia tidak ingin mengulang kejadian saat mantan suami Clara meninggalkan istri dan calon anak dalam kandungan.

Ia mengambil napas dalam ketika Clara sudah benar-benar meninggalkan mereka. Kembali ia angkat wajahnya, menatap dalam ke arah Jeremy yang entah mengapa masih setia mengumbar senyumnya.

"Clara cerita, kamu kerja jadi konsultan bangunan, ya? Kalian satu jalur berarti."

"Iya, Tan. Eh, Bu. Aduh, maaf Bu belum kebiasaan." Jeremy merutuki dirinya sendiri dalam hati seraya menggaruk pipinya. Ia terkekeh pelan kemudian melanjutkan, "Kami emang sering sharing tentang kerjaan kami masing-masing. Awalnya ketemu biasa, eh kok malah nyaman."

"Gitu, ya. Tapi, kamu ga masalah sama Clara? Bukan apa-apa, tapi pasti banyak orang yang milih cewe yang belom punya anak."

Ah, tentu Jeremy sudah memprediksi pertanyaan ini. Pertanyaan yang Clara pernah tanyakan padanya ketika mereka hendak ke makam ibunya. Ternyata memang Clara dan Helena memiliki pemikiran yang sama. Untung dirinya sudah mempersiapkan jawaban itu sejak di apartemen.

"Simpel, Bu. Saya bukan termasuk banyak orang itu. Saya bukan lihat apakah cewe itu punya 'ekor' atau engga. Saya lihatnya ke arah mana dunia cewe itu berputar. Dari kecil, saya cuman hidup sama ibu saya karena ayah saya meninggalkan kami. Dari situ, ibu saya jadi peringkat satu orang yang ada di hidup saya. Lalu, setelah ibu saya meninggal, sosok yang paling berpengaruh itu hilang.

By The Irony Of FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang