Setelah melewati perdebatan panjang dengan Pak Markus, Jeremy mengalah. Ia tidak bisa menolak keputusan final pusat untuk menjadikannya direktur di kantor cabang Pekanbaru. Ia sempat berdebat sengit karena alasan dipilihnya dia yang tidak masuk akal.
"Anda itu yang paling berpotensi, Pak Jeremy. Anda belum punya tanggungan keluarga yang harus dinafkahi, jadi mudah saja bagi Anda untuk pergi-pergi, 'kan? Pengalaman seperti ini mahal harganya loh. Masa iya, mau disia-siakan?"
Jika ingat ucapan itu, Jeremy ingin marah lagi rasanya. Ia memang belum menikah seperti Pak Markus atau pun Yudha. Tapi apakah kemudian alasan itu cukup masuk akal untuk memilih kandidat seorang direktur? Padahal ia pikir ada banyak sumberdaya manusia potensial di kantor pusat yang mampu menangani kantor cabang baru itu dibandingkan dirinya.
Masalahnya adalah, salah satu faktor perceraian Clara dan Adip adalah karena jarak. Mereka berpisah karena tidak ingin menjalin long distance relationship. Lalu, jika kemudian ia akan bekerja jauh dari Clara, ia akan merelakan wanita yang ia perjuangkan itu?
"Dimakan, Jer. Maaf ga masak banyak, soalnya baru nyampe jam 11 tadi."
Clara hadir membuyarkan lamunan Jeremy. Wanita itu kini sudah pulang ke rumahnya lagi dan memang tidak ada sosok Adip di sana. Ia mengajak Jeremy untuk makan siang bersama ketika pria itu luang. Hanya saja, karena waktu yang terbatas untuk memasak, ia hanya bisa menyiapkan cah kangkung dan tempe goreng saja sebagai lauknya.
Jeremy menerima uluran piring berisi nasi dari Clara. "Iya, gapapa, Sayang. Makasi banyak. Cleo mana?" tanyanya, sedari tadi ia belum melihat kehadiran Cleo di rumah itu. Sejak datang, ia langsung diarahkan untuk duduk di meja makan. Tidak banyak bicara, ia lebih banyak melamun sementara Clara menyiapkan makan siang.
"Itu di kamar, tidur," jawab Clara.
Wanita itu lantas duduk di samping Jeremy setelah mengambil nasi untuknya sendiri. Tak lupa, ia ambilkan pula cah kangkung dan tempe untuk Jeremy serta untuk dirinya sendiri.
"How's your day, Jer? Ada yang mau kamu ceritain ke aku?" Clara melirik ke arah Jeremy yang mendadak menjadi sangat pasif itu.
Jeremy menoleh sekilas kemudian tersenyum kecil. Ia menggeleng pelan sebelum menyuap makan siangnya. Seperti biasa, masakan Clara selalu enak. Namun untuk kali ini, ia belum bisa menikmatinya dengan tenang.
Clara mengambil satu butir nasi yang tertinggal di ujung bibir Jeremy. Tatapannya sangat teduh, menantikan sang kekasih untuk membicarakan gundah di hatinya. Tentu saja ia bisa merasakan kegundahan Jeremy walaupun pria itu tak mengatakan sepatah kata pun padanya. Karena itu, ia lebih memilih untuk memperhatikan Jeremy daripada memulai makannya.
Lama kelamaan ditatap seperti itu membuat Jeremy menyerah. Ia menelan makanan di mulutnya dengan pelan. "Sayang, aku boleh tanya sesuatu ke kamu?"
Pertanyaan itu membuat senyum di wajah Clara mengembang. "Apapun."
"Aku boleh tahu ga arti bahagia buat kamu?"
Clara semakin tersenyum dibuatnya. Tangannya terulur lagi, kali ini menyisir helaian rambut tebal milik Jeremy. Ia bawa helaian yang telah melewati telinga itu untuk ia selipkan ke belakang telinga.
Jeremy menyerah. Ia menoleh dan mulai menerima tatapan teduh yang membuatnya sedikit lebih tenang. Selalu dan selalu ia ingin rasakan perhatian seperti itu dari seorang Clara. Seperti kasih seorang ibu yang memperhatikan anaknya.
"Bahagia itu ketika aku deket sama orang-orang yang aku sayangi dan menghabiskan waktu sama mereka. Itu cukup banget. Kalo kamu, Jer?" Tangan Clara mengusap pelipis hingga pipi Jeremy lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
By The Irony Of Fate
FanfictionIni cerita klise yang singkat tentang Jeremy dan Clara yang bertemu karena ketidaksengajaan. Kalau ditanya bisakah cinta pandangan pertama hadir di antara dua orang dewasa, coba saja jadi saksi kisah mereka; si Jeremy yang lama menyendiri dan si Cla...