Mobil

520 57 57
                                    

"Kamu suka banget sama mint choco, ya?"

Jeremy melangkah lebih di belakang daripada Clara yang tengah menikmati boba rasa mint choco. Sedangkan dirinya ditemani oleh satu cup kopi yang ia beli di kedai kopi di mall tersebut serta satu kardus belanjaan milik Cleo.

"Bukan favorit sih, tapi tetep suka. Paling favorit tu tetep matcha sama double choco."

Mendengar jawaban ringan dan disertai kekehan dari Clara membuat Jeremy sedikit lega. Itu berarti Clara sudah tidak marah padanya.

Setelah memasukkan kardus belanjaan ke dalam bagasi, ia menyusul Clara yang lebih dulu duduk di kursi penumpang. Ia masih melihat Clara yang menikmati minumannya dengan raut bahagianya.

"Rasanya kaya pasta gigi gitu kok suka, aneh," godanya.

"Dih, lebih aneh lagi orang yang nyari kopi item di kedai boba."

"Coba sini yang katanya enak."

Clara menyodorkan minumannya pada Jeremy. Membiarkan pria itu menyeruput minumannya cukup banyak. "Enak, kan? Mau lagi?" tanyanya ketika Jeremy mengernyit seraya mengecap-kecap rasa di mulutnya.

"Ga, buat kamu aja. Abisin." Jeremy menyerah dengan selera aneh Clara. Ia kembali menetralkan lidahnya dengan meminum kopinya sebelum meletakkannya ke tatakan di samping pintu. "Jadi ke stasiun buat beli cilok?"

"Jadi. Nanti saos kamu dibanyakin ya? Aku mau cicip pedes dikit aja."

"Orang aku ga mau cilok."

Clara jadi lemas mendengarnya. Entah hormon apa yang membuatnya menjadi sangat kecewa mendengar jawaban Jeremy. Ia menatap Jeremy yang tengah memakai sabuk pengamannya dengan wajah memelas. "Kok gitu? Trus ngapain jauh-jauh ke stasiun cuma buat beli satu porsi doang?"

"Ya gapapa, dong?"

"Ga jadi deh kalo cuma aku aja."

Jeremy buru-buru menoleh ketika jawaban Clara berubah menjadi cepat dan lugas. Kali ini Clara benar-benar memperlihatkan sikap marahnya dengan wajah yang sangat datar, cara menaruh minumannya dengan kasar, dan menarik sabuk pengaman dengan cepat.

"Eh, gapapa, Sayang. Yuk beli, yuk."

"Ga usah, pulang aja," ketus Clara seraya membuang wajahnya.

"Clara?"

Jeremy mengembuskan napas. Menghadapi wanita yang pundung bukan lah sekali dua kali ia rasakan. Dengan lembut, ia membawa Clara untuk menghadapnya. Ia sempat termangu ketika mendapati mata tajam Clara yang berkaca-kaca.

"Belum udahan marahnya sama aku? Masih kesel?"

Clara menghapus air matanya yang sempat terjatuh dengan punggung tangannya. "Gatau, akhir-akhir ini aku agak sensitif."

"Lagi haid?"

"Aku belum haid lagi setelah melahirkan."

Jeremy membawa tubuh Clara untuk ia dekap. Ia usap punggung itu dengan lembut seraya berdesis, menenangkan. "Ya udah, aku minta maaf ya, Sayang. Yuk, kita beli dua porsi, ya? Yang satu pake sambel biar kamu bisa nyobain pedes. Hmm?" bujuknya, seolah ia tengah membujuk anak-anak.

Clara diam dalam pelukan Jeremy. Ia meraih pinggang Jeremy dan menenggelamkan kepalanya di dada bidang itu. Ia suka cara Jeremy membujuknya dengan penuh kelembutan, ia tidak pernah berpikir ada pria seperti Jeremy di dunia. Kalau pun ada, itu hanya di novel romansa.

Nyatanya, Jeremy ada untuknya. Hanya untuknya.

"Aku nyebelin ya Jer?" Ia mendongak, memperhatikan wajah teduh Jeremy yang selalu membuatnya nyaman saat menatapnya.

By The Irony Of FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang