Ketika ada Jeremy, maka semua tugas yang bersangkutan tentang Cleo akan ditangani oleh pria Antonio itu. Termasuk menceritakan dongeng sebelum tidur.
Tepat setelah makan malam, Cleo mengantuk. Selalu seperti itu jika seharian diajak bermain ke sana ke mari oleh neneknya. Ia akan tidur lebih awal jika agendanya menjadi artis kompleks dadakan penuh.
Jeremy mengusap kepala Cleo pelan sebelum meletakkan buku "Christopher Robbin" kembali ke rak buku. Cepat juga gadis kecil itu tertidur. Tubuhnya kini menguasai kotak tempat tidurnya yang kini lebih besar dari satu tahun yang lalu.
Masih pukul 9 sebenarnya. Belum terlalu larut baginya untuk tidur. Termasuk Clara dan Helena yang masih beraktivitas di luar; Clara membereskan kamar tamu dan Helena menonton drama korea di ruang tengah.
Jeremy melongok ke kamar tamu, memperhatikan Clara yang sedang menggerakkan vacum cleaner ke kolong tempat tidur dan lemari. "Kan malem ini aku tidur di kamar kamu? Kok kamu bersih-bersih kamar tamu, sih?" tanyanya seraya bersandar di ambang pintu.
"Oh, Cleo udah tidur?" Clara memekik kecil. "Iya, soalnya kamarnya kotor banget ni liat. Kalo ga dicicil kamu ga bisa istirahat besok," lanjutnya, masih sibuk membersihkan kamar yang sudah mirip seperti gudang itu.
"Kan bisa di kamar kamu."
"Kalo mau dicincang Ibu sih gapapa. Aku sih mau cari aman, ya."
Jeremy terkekeh kecil. Ia lantas pergi ke bawah, tepatnya ke dapur untuk membuatkan Clara dan dirinya kopi. Sebelumnya, ia juga menawarkan Helena secangkir kopi, tapi wanita itu menolak dengan dalih akan segera tidur.
Ketika ia tengah menunggu airnya mendidih, Clara turun. Tangan kecilnya itu menenteng satu kresek besar berisi sampah dan kotoran. Ia melewati dapur, menuju ke halaman belakang untuk membuang sampah.
Sebenarnya tinggal memasang sprei dan memindah barang-barang ke luar. Tapi, ternyata membersihkan kamar yang lama tak terpakai melelahkan juga.
"Dilanjut besok aja, aku bantuin," ujar Jeremy, seolah mengerti arti wajah Clara.
Wanita itu meringis kecil kepada Jeremy. Ia mengunci pintu belakang sebelum mencuci tangannya di wastafel. Matanya melirik ke arah panci yang berisi air. Juga dua cangkir yang terisi bubuk kopi.
"Ih, buat apa tu?" tanyanya berbasa-basi.
"Kopi. Kamu mau, 'kan?"
"Mau. Tapi aku pake gula ya, takut pait."
"Padahal kamu dah manis?"
"Mulut kamu tuh lebih manis." Clara mengerutkan hidungnya, mengibaskan tangannya hingga air di tangannya itu terciprat ke wajah Jeremy. "Aku tunggu di balkon, ya?" bisiknya kemudian mendahului Jeremy ke kamar.
Selalu manis. Interaksi antara dirinya dan Clara memang yang Jeremy rindukan selama ia di Pekanbaru. Interaksi-interaksi kecil yang membangkitkan semangat romansa antara mereka berdua itu yang membuatnya hampa ketika hidup seorang diri.
Ia menuangkan air panas itu ke cangkir secara adil. Tak lupa, ia tambahkan satu sendok gula ke cangkir milik Clara sebelum mengaduknya dan membawanya ke balkon.
Saat ia masuk ke kamar, lampu sudah dimatikan. Clara sengaja mematikan lampu agar Cleo tidak terlalu terganggu dengan terang lampu saat tertidur. Sebaliknya, di balkon cukup terang. Mengindikasikan bahwa di sana ada kehidupan yang menunggunya.
Jeremy menyerahkan kopi manis kepada Clara sebelum dirinya ikut duduk di bangku panjang yang menghadap ke tralis. Sejauh mata memandang, hanya perumahan saja yang bisa Jeremy lihat. Tidak seperti rumah lama Clara yang setidaknya menghadap ke kebun.
KAMU SEDANG MEMBACA
By The Irony Of Fate
أدب الهواةIni cerita klise yang singkat tentang Jeremy dan Clara yang bertemu karena ketidaksengajaan. Kalau ditanya bisakah cinta pandangan pertama hadir di antara dua orang dewasa, coba saja jadi saksi kisah mereka; si Jeremy yang lama menyendiri dan si Cla...