Percakapannya dengan ibu Clara tentu masih terpatri dalam kepala Jeremy. Ia bukan orang bodoh, ia dapat menyimpulkan bahwa Helena takut jika hal buruk terjadi pada Clara dan Cleo karena hubungan anaknya dengan pria yang lebih muda. Bukannya marah, Jeremy hanya kecewa pada dirinya sendiri karena tidak mampu meyakinkan lebih lanjut pada Helena tentang keseriusannya.
Ia pikir, firasat seorang ibu itu bukan main kekuatannya.
Saat Clara menyadari bahwa ia tidak membawa serta popok cadangan untuk Cleo, Jeremy memanfaatkan waktu ini untuk keluar bersama Clara. Ada yang perlu mereka bicarakan, seperti yang wanita itu bisikkan padanya tadi.
"Aku belum cukup dewasa untuk kamu." Itu adalah kalimat pertama yang keluar dari mulut Jeremy ketika mereka baru saja keluar dari minimarket. Tubuhnya bersandar lemah pada kursi mobil, tidak berniat untuk memakai sabuk pengamannya.
Masih belum siap kembali menghadap Helena.
Clara menoleh usai mengenakan sabuk pengamannya. Ia meraih belakang kepala Jeremy untuk ia usap rambutnya. "Enggak. Aku ga ngerasa kamu ga dewasa dengan usiamu yang lebih muda dari aku."
"Tapi ibu kamu mikirnya gitu, Clara. Aku belum cukup dewasa baginya. Dengan apa lagi harus aku buktiin ke Ibu bahwa aku bukan bocah ingusan yang ga bisa mikir konsekuensi dari pilihan yang aku pilih?"
Jeremy mengembuskan napas panjang. Bahkan Clara diam saja tak menanggapi keluhannya. Hanya berusaha menenangkannya dengan usapan di belakang kepalanya. "Aku cinta sama kamu, Clar. Ibu ga bisa lihat itu, ya?"
"Jeremy, sabar. Coba sini lihat aku."
Perlahan, ia menoleh ke arah Clara, menatap wanita itu lamat-lamat. Wanita di hadapannya itu nampaknya sudah menatapnya teduh sedari tadi.
"Ibu adalah saksi perceraianku sama mantan suami aku yang dulu. Dia adalah pihak paling terluka dengan perceraian kami. Ibu mana yang ga pengen lihat anaknya bahagia, sih, Jer? Ibu bilang kaya gitu karena Ibu takut ada kegagalan kedua."
Rahang Jeremy mengeras. Pria mana yang terima jika ada orang yang meremehkannya? Jeremy tentu bukan pria seperti itu.
"Tapi aku ga akan pernah nyakitin kamu, Clar. Ga ada dalam pikiran aku buat merencanakan kegagalan kedua untuk kamu," ucapnya tegas, sarat akan kemutlakan yang membuat urat-urat wajahnya muncul hingga membuat wajahnya memerah.
"Sssh, Jeremy tenang dulu."
Clara melepaskan sabuk pengamannya, membawa kening mereka untuk bersatu. Dengan sabar, ia mengarahkan pria itu untuk mengatur napasnya. Tangannya sangat lembut mengusap pipi Jeremy, meminta pria itu untuk meredakan emosi demi dirinya.
Setelah dirinya lebih tenang, Jeremy membuka matanya yang tadi sempat tertutup. Ia menatap lurus ke arah mata jernih Clara. Tangannya ikut terangkat, mengusap pipi Clara sehingga mereka kini terlihat saling memuja wajah satu sama lain.
"Aku cinta sama kamu, Clar, kamu tahu, 'kan?" bisiknya, sedikit diberi tekanan permohonan agar wanita itu mengiyakan ucapannya.
"Iya, Jer. Aku tahu banget perasaan kamu ke aku sama Cleo. Dan Ibu harus tahu juga kalo kamu beneran cinta sama aku sama Cleo."
"Aku mau buktiin itu ke Ibu. Segimanapun Ibu nolak, aku akan tetep coba sampe kapan pun. Nemuin orang kaya kamu susah banget, Clar. Cuma kamu yang aku pengen aku jadiin yang terakhir. Cuma kamu yang pengen aku ajak menciptakan hidup bahagia versi kita sendiri. Aku cuma mau kamu, ga ada yang lainnya."
Clara tersenyum simpul. Gombalan yang terselip di kalimat super serius itu membuat hatinya menghangat. Dari situ, ia bisa simpulkan bahwa Jeremy tidak main-main dengan ucapannya barusan.
"Aku juga mau kamu, Jer. Kita coba raih restu Ibu bareng-bareng, ya? Kamu mau, 'kan?"
Kini Jeremy sudah bisa tersenyum walaupun sangat kecil. Pria itu menggeleng kecil hingga membuat hidung mereka bergesekan. "Udah gila aku Clar kalo aku gamau."
Clara terkekeh pelan. Tangannya yang semula mengusap pipi Jeremy itu turun untuk menepuk pundak Jeremy satu kali. "Aight. Sekarang balik, yuk. Keburu dicariin sama Cleo kamu nanti."
Pria itu mengangguk, namun tidak menganggap tepukan itu sebagai tanda untuk mengakhiri jarak dekat mereka. Ia mendekap tubuh mungil Clara erat, mengusap punggung kecil itu dengan tangan lebarnya.
"Clar, aku selalu siap kalo kamu butuh apapun. Andalkan aku."
Clara balas mengusap punggung lebar Jeremy dengan tangan kecilnya.
"Iya, Jeremy. Untuk sekarang, kamu yang butuh aku. Gapapa, bukan berarti kamu ga dewasa dengan merasa marah sama ucapan Ibu. Kamu berhak untuk itu, tapi bukan berarti untuk menentang Ibu. Kita bareng-bareng, kamu ga sendirian untuk meluluhkan hati Ibu."
Kekesalan, kemarahan, keputusasaan, kecemasan, dan semua perasaan negatif di dalam diri Jeremy melebur begitu saja bersama kalimat-kalimat menenangkan dari Clara. Pria itu mengembuskan napas lega sebelum melepaskan pelukannya.
Tangannya kembali terangkat untuk mengusap pipi Clara. Menjumput rambut yang sedikit berantakan dan merapikannya ke belakang telinga. Matanya bergerak teliti, mengabadikan setiap jengkal wajah Clara tanpa bosan.
"You and your personality are so beautiful, Clara. There's no one I want but you. I love you."
Clara hampir tidak bisa menjawab ungkapan cinta dari Jeremy. Hal ini karena pria itu sudah tidak lagi menatap matanya, melainkan bibirnya. Sinyal seperti ini bukan lah sinyal asing baginya. Ia tahu betul arti tatapan sayu yang seolah mendamba belah bibirnya.
"I love you too, Jeremy," balas Clara dengan suara bergetar.
Karena setelah itu, Jeremy benar-benar mendaratkan ciuman di bibir Clara. Tidak ada yang menolak. Bahkan Clara kini ikut larut dengan suasana yang Jeremy bangun dengan ikut memejamkan mata dan menggerakkan bibirnya.
Jeremy menelengkan wajahnya ke kiri, memperdalam ciuman mereka yang sangat lembut. Satu kelemahan yang baru Jeremy ketahui dari dirinya adalah Clara, kelemahannya adalah Clara. Ia begitu gila saat bibir tipis itu saling berbelit dengan bibir tebalnya. Seolah diciptakan satu sama lain, mereka tidak ingin ciuman itu berakhir.
Namun nyatanya Jeremy adalah pria normal yang memiliki batas. Pria itu melenguh kecil saat menyadari satu persatu pertahanannya runtuh. Sebelum semakin terlambat dan berakhir buruk di mobil, ia buru-buru menjauhkan wajahnya dan memalingkannya ke arah lain.
"Udah, Clar," desisnya dengan wajahnya yang memerah menahan nafsu.
Clara hanya terkekeh saat melihat Jeremy buru-buru memasang sabuk pengamannya. Seraya memasang miliknya, ia mengejek, "Ga kuat, ya?"
"Ati-ati aja sih, Clar, kalo kata aku. Bener-bener bisa habis kamu sama aku. Untung aku kuat nahan." Suara Jeremy benar-benar tertahan saat melancarkan ancaman itu.
Yang sontak membuat Clara semakin keras tertawa. Tapi jujur, atmosfer tadi sempat membuatnya terlena. Jika saja Jeremy tidak menahan diri pun, ia akan dengan suka rela mengikuti permainan apapun yang Jeremy pimpin.
"Kamu bikin aku gila, Clar."
TBC
Re juga ga kuat, cringe banget story yg satu ini💨
KAMU SEDANG MEMBACA
By The Irony Of Fate
FanfictionIni cerita klise yang singkat tentang Jeremy dan Clara yang bertemu karena ketidaksengajaan. Kalau ditanya bisakah cinta pandangan pertama hadir di antara dua orang dewasa, coba saja jadi saksi kisah mereka; si Jeremy yang lama menyendiri dan si Cla...