Bertemu

553 79 49
                                    

Clara duduk di samping Jeremy yang fokus menyetir dengan sedikit cemas. Sebentar lagi, ia akan bertemu dengan ibu Jeremy. Ia tentu sangat cemas mengenai pandangan ibu Jeremy mengenai dirinya.

Seorang Jeremy yang tampan, muda, dan mapan seharusnya mencari wanita yang sepantaran dengannya atau lebih muda. Sedangkan dirinya hanya lah wanita pekerja lepas yang sudah pernah menikah dan melahirkan. Bukan kah kebanyakan ibu menginginkan menantu perawan untuk anak lelakinya?

Mengerti kegusaran Clara, Jeremy meraih tangan Clara yang sedari tadi mengusap selimut yang membalut tubuh mungil Cleo. "Mikirin apa?" tanyanya

Clara menggeleng pelan. Ia lebih memilih menatap wajah damai Cleo yang tertidur di dekapannya. Rasanya Cleo adalah satu-satunya orang yang siap menghiburnya ketika nanti ia mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan itu.

Apakah ia terlalu berpikiran negatif sekarang? Bisa jadi ibu Jeremy tidak seperti yang ia pikirkan. Ah, bahkan berusaha berpikiran positif saja sulit baginya.

"Jer."

"Iya, Clara?"

"Nanti kamu ngenalin aku ke ibu kamu sebagai teman, 'kan?"

Kali ini, hubungan mereka semakin dekat, memang. Mereka melepaskan kata 'saya' dan menjadi lebih santai satu sama lain. Namun demikian, kejelasan hubungan mereka sangat abu-abu. Bahkan hanya untuk meraba pun susah bagi Clara.

Hubungan orang dewasa memang seabstrak itu, tidak bisa disamakan dengan hubungan remaja yang harus jelas arahnya. Apa mungkin karena keduanya yang terlalu nyaman dengan hubungan yang mereka bangun?

Jeremy menoleh kilat kemudian tersenyum. "Iya. Kamu pengennya aku kenalin sebagai apa?"

"Misal nih Jer, aku sebagai ibu kamu. Terus aku nanya, "Ini siapa, Jer?" Kamu bakal jawab apa?"

Jeremy terdiam sesaat, sepertinya ia tahu arti kegusaran Clara. Ia mengeratkan genggaman tangannya, mengusap punggung tangan Clara dengan pelan. "Temen, Bu. Ketemu waktu di nikahan Mbak Kinan," jawabnya, mengikuti alur perandaian Clara.

"Dia sendirian? Suaminya mana?"

"Ga ada, Bu. Clara udah pisah sama suaminya." Ia kemudian beralih mengusap selimut Cleo. "Kalo ini baby-nya, namanya Cleo. Lucu, ya?"

Clara meneguk ludahnya. Ia berusaha memosisikan dirinya sebagai calon ibu mertua yang sekejam mungkin. "Jer, masih banyak lo cewek yang single. Kenapa malah nyarinya yang udah ada anak sih?"

Usapan Jeremy di selimut Cleo berhenti. Ia mendadak kehilangan senyumnya saat mendapati pertanyaan itu dari mulut Clara.

Mengerti perubahan drastis ekspresi Jeremy, Clara memekik, "Eh, gak, Jer. Lupain aja. Aku asal ngomong tadi. Ibu kamu ga mungkin sejahat itu." Ia melipat bibirnya ke dalam. "Tapi, seumpama ada pertanyaan sejenis itu, tolong yakinin ibu kamu kalo kita cuman temen, ya? In case aku ga bisa ngomong."

"Apa sih, Clar?"

Jawaban singkat yang mengandung unsur kesal itu membuat Clara bungkam. Apalagi ketika Jeremy menepikan mobilnya, dirinya semakin bungkam dan gugup saja. Ah, pasti Jeremy berpikir ia terlalu percaya diri dan berpikir bahwa pria itu mengajaknya bertemu ibunya untuk mengenalkannya sebagai orang yang dekat dengannya.

Bukan hanya sebagai teman, tapi teman wanita.

Jeremy mengembuskan napasnya usai menghentikan mobilnya. Ia menoleh, wajahnya terlihat kesal ketika mendapati Clara membuang muka. "Clar."

"Hm?"

"Lihat aku kalo aku ajak omong."

Sepanjang Clara mengenal Jeremy, baru kali ini ia melihat sisi serius yang menyeramkan dari Jeremy. Dengan gerakan pelan, ia menolehkan wajahnya. "Maaf, aku ga seharusnya mikir kalo kita sedeket itu."

By The Irony Of FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang