Rumah Sakit

838 96 44
                                    

Pada akhirnya, Clara tidak bisa menolak. Mereka kini ada di klinik anak, sedang antre menunggu giliran. Sepanjang waktu itu, ia juga merasa tidak enak dengan orang-orang di sana karena Cleo terus-terusan menangis.

Ia bingung, tidak biasanya Cleo seperti ini. Atau memang karena dirinya ibu baru sehingga ia tidak tahu apa-apa?

"Cleopatra Denusa Putri."

Panggilan seorang suster membuat Clara yang semula berjalan ke sana ke mari menggendong Cleo menoleh. Jeremy yang semula duduk di ruang tunggu juga ikut berdiri. Pria itu mengikuti Clara masuk ke ruangan.

Siapapun yang melihat pasti akan salah paham dan berpikir Jeremy adalah suaminya.

"Eh, kenapa adek kecil nangis?" Seorang dokter perempuan menyambut kehadiran Cleo, Clara, dan Jeremy dengan ramah.

"Dia anget, Dok. Sejak siang tadi dia rewel terus. Gamau minum susu juga. Saya khawatir."

Sang dokter mengarahkan Clara agar menidurkan Cleo di tempat yang telah dipersiapkan. Dokter itu membuka baju Cleo, memeriksanya dengan stetoskop dengan sesekali menenangkan Cleo. Ia kemudian menepuk pelan perut Cleo yang buncit.

"Ini Cleo lagi kembung, Bu," ujar sang dokter bernama Isna itu. Ia memainkan pipi Cleo lembut. "Cleo belum bisa kentut, ya, Nak?"

Kekhawatiran Clara hilang begitu saja bersamaan dengan embusan napas lega dari Jeremy di sampingnya. Clara menoleh ke arah Jeremy yang rupanya sudah lebih dulu menatapnya.

"Syukur lah, bukan suatu hal yang buruk." Kemudian pria itu tersenyum teduh ke arah Clara.

"Iya." Sang dokter kemudian menggerakkan kaki mungil Cleo ke atas dan ke bawah dengan sedikit tekanan. "Bapak dan Ibu bisa lakukan gerakan ini kalau anaknya lagi kembung."

Clara berdeham kecil. Bahkan dokter pun mengira mereka suami istri. Ia terus memperhatikan bagaimana dokter itu membuat Cleo kentut beberapa kali. Mungkin karena perutnya tak lagi sakit, Cleo akhirnya bisa tertidur.

Sang dokter membenarkan posisi baju Cleo dan menyerahkannya kembali pada Clara. "Udah biasa anak kalo kembung jadi rewel. Anak pertama ya, Bu?"

Clara meringis kecil. "Iya."

"Gapapa, seiring berjalannya waktu pasti tahu. Besok kalau udah punya anak kedua pasti lebih tahu." Sang dokter berbicara ringan seraya mengerling ke arah Jeremy.

Yang membuat Clara kelabakan bukan main. Ia sempat ingin membantah bahwa Jeremy bukan lah ayah Cleo atau suaminya. Namun, kekehan rendah Jeremy membuatnya menoleh dan tidak jadi membantah.

Pria itu terlihat santai ketika banyak orang mengira mereka adalah pasutri baru yang sangat awam masalah anak.

Dokter itu menyerahkan satu lembar resep obat pada Jeremy. "Saya resepkan vitamin dan obat begah, ya, Pak. Bisa dibawa ke apotek untuk penebusannya. Ada lagi yang bisa saya bantu?"

"Mau nanya apa lagi? Mumpung masih ada dokter." Jeremy menerima resep itu seraya menoleh ke arah Clara.

Clara lagi-lagi meringis. Ia menggeleng kecil. "Nggak ada, Dok. Makasih banyak."

Jeremy mengangguk ke arah Dokter Isna sebelum membukakan ruang praktek untuk Clara. Ia menuntun wanita itu menuju apotek di sebelah rumah sakit tanpa banyak bicara.

Dan itu semakin membuat Clara tidak enak.

"Uhmm, Jeremy?"

"Ya?"

"Maaf, ya udah ngrepotin. Orang-orang jadi mikir kamu bapaknya Cleo. Maaf bikin kamu ga nyaman."

"Ga sama sekali. Anggep aja hadiah pertemuan pertama saya sama Cleo." Jeremy melirik ke arah Clara. "Saya yang harusnya ga enak sama suami kamu."

By The Irony Of FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang