Teras Rumah

338 50 33
                                    

Masi bangun???
Double up nih, leggo~





"Lo masih aja gencer ngejar Clara."

Jeremy menyusul Adip yang tengah merokok di teras. Ia duduk di kursi kayu kosong di sebelah Adip yang nampaknya tak peduli dengan kehadirannya.

Adip mengembuskan asap dari mulutnya ke samping sebelum mematikan rokoknya di asbak. Rasa kesalnya pada Jeremy tentu tidak mereda. Jika saja Jeremy tidak hadir di hadapan Clara, akan lebih mudah baginya membujuk Clara untuk kembali padanya.

"Padahal cewe berlimpah, ya? Masih aja ngincer masa lalu yang bahkan dah punya gandengan," sindir Jeremy, masih belum merasa puas membuat Adip tambah kesal.

Namun nyatanya, Adip sama sekali tidak terlihat kesal. Ia justru memandang jauh ke depan, tak sama sekali menatap ke arah Jeremy. Napasnya tenang, tidak seperti saat di meja makan.

"Clara orang yang jarang banget bersosialisasi sama orang baru, dia cenderung tertutup sama orang yang baru dia kenal. Lo tau karna apa? Karna Clara terlalu baik dan itu adalah bentuk pertahanan diri yang dia ciptain sendiri. Dia sering dimanfaatin sama orang-orang di sekitarnya karna kebaikan hatinya. Dia susah bedain mana orang yang tulus sama dia atau cuma dateng buat manfaatin dia, harus butuh waktu yang lama baginya buat mencerna sifat orang.

"Dan lo itu dateng atas kebaikan hatinya. Dia bahkan gampang maafin lo yang ciuman sama mantan lo sendiri karna dia masih dalam tahap memahami elo." Adip tersenyum separuh kemudian menggeleng. "Gue ga semudah itu percaya sama omongannya tentang lo. Bisa aja lo dateng cuman buat seneng-seneng?"

Jeremy mengeratkan rahangnya. Mereka memang sedang berkompetisi dan ia memang mengira jika sewaktu-waktu Adip akan menyerangnya.

Adip melirik sekilas ke arah Jeremy dengan ujung mata tajamnya. "Gue mikir, bisa aja besok lo bakal nyakitin hati tulus dia, ga jauh beda kaya gue. Terlebih lo belom kenal dia 100%. Apa lo bakal tetep sama dia setelah lo kenal baik buruknya?"

"Untuk apa gue harus kasih tau lo? Lo ga lebih dari mantan Clara yang berusaha ngrusak dia lagi."

"Gue akui gue jahat sama dia," sahut Adip. "Gue tinggalin dia karna keegoisan gue. Dan gue mau perbaikin itu semua. Gue ga mau sia-siain permata seindah Clara untuk yang kedua kalinya." 

Adip dan Jeremy kini saling melemparkan tatapan berapi-api. Untuk poin Clara adalah permata yang indah, Jeremy setuju. Ia tidak ingin menyia-siakan wanita seperti Clara. Sama halnya dengan Adip yang menyesal telah membuang wanita itu.

Keduanya tidak mau kalah satu sama lain.

"Gue minta lo untuk pertimbangin lagi. Lo mampu ga bahagiain dia sama seperti yang dia pengen? Padahal lo sendiri ga tau apa arti bahagia bagi Clara."

Jeremy sedikit termangu. Benar. Ia dan Clara belum lama saling mengenal. Selama masa pendekatan ini, ia sama sekali tidak pernah menanyakan bahagia Clara. Ia belum sepenuhnya mengenal sosok kekasihnya sendiri dan apakah wanita itu bahagia bersamanya.

Sesaat setelah Adip membuang wajahnya, menatap ke arah langit yang mulai mendung, Clara datang dari dalam. "Jer. Dip."

Kedua pria itu kompak mendongak, menyambut wanita yang menjadi rebutan itu. Adip yang lebih dulu bangkit dan menghampiri Clara. Ia tersenyum kecil sebelum berkata, "Clar, aku pulang ke asrama. Kamu bisa pulang ke rumah, kok."

Setelah itu, Adip tidak mengatakan apapun lagi. Ia pergi begitu saja tanpa berpamitan. Lebih benar rasanya untuk pergi dan menenangkan pikirannya yang kacau karena Jeremy.

Clara sangat kebingungan dengan kepergian Adip itu. Ia segera duduk di tempat yang tadi diduduki oleh Adip. Ia menatap Jeremy yang kini menatap ujung kakinya. "Jer, kalian ngobrol apa tadi," tanyanya, mengguncang pelan lengan Jeremy.

By The Irony Of FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang