Cinta pertama membutakan mata dan hati Daisy. Menghantarkannya pada jurang penderitaan dan penyesalan. Berharap bisa kembali ke masa lalu dan memperbaiki kesalahan fatalnya.
Hingga keajaiban pun menghampirinya. Ia benar-benar kembali ke masa lalu. L...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Di dalam mobil sangat tenang. Noah dan Daisy sibuk pada kegiatan masing-masing.
Noah sibuk mengemudi sedangkan Daisy sibuk mengecek keadaan Jillian lewat pengasuh anaknya.
Daisy sedikit merasa bersalah karena memilih berkumpul bersama teman-temannya dibandingkan bersama Jillian.
Mau bagaimana lagi, dia tidak bisa menolak kehendak teman-temannya. Mereka merajuk padanya.
Sebenarnya semua permasalahan itu bisa diselesaikan dengan mempertemukan mereka pada Jillian tapi Daisy tidak ingin mengambil resiko yang membahayakan nyawa Jillian.
Daisy masih belum tahu siapa penghianat tersebut. Ia harus berhati-hati supaya tempat tinggalnya tetap terjaga rahasianya. Dia juga harus menyembunyikan Jillian dari mereka. Tak boleh ada kesempatan sedikit pun bagi penghianat itu untuk menyentuh putri kecilnya.
"Kau chat dengan siapa, Daisy?"
Wanita cantik itu refleks menoleh ke arah Noah mendengar pertanyaan bernada cemburu tersebut. Senyuman miring muncul di bibirnya. Berniat menjahili Noah. "Rahasia." Kekehnya dan menyembunyikan ponsel ke dalam saku celananya.
Noah melirik tingkah mencurigakan Daisy. Dirinya sontak dipenuhi kecemburuan. Tanpa terduga, dia pun menepikan mobil dan mematikannya.
"Huh, kenapa berhenti?" Heran Daisy.
Noah menyodorkan tangan kanannya ke Daisy. "Berikan ponselmu padaku!" Titahnya.
Daisy mendadak menunjukkan wajah muram. "Sekarang kau mulai posesif padaku, Noah? Kau curiga aku selingkuh?"
Noah gelagapan seketika melihat perubahan raut wajah Daisy. Perasaan bersalah menghantuinya. "Maaf. Aku tidak bermaksud begitu."
"Lantas, kenapa kau meminta ponselku?"
"Aku hanya penasaran." Elaknya berusaha membuat Daisy berubah pikiran tentang tindakannya.
"Bohong!! Kau pasti curiga padaku."
Noah tersentak kaget melihat Daisy menunduk dan menutup wajahnya dengan bahu yang bergetar samar. "Maafkan aku, Daisy. Aku tidak bermaksud demikian. Maafkan aku kalau sifat penasaranku membuatmu tersakiti." Sesalnya seraya membawa Daisy ke dalam pelukannya. Kemudian mengelus punggung Daisy lembut. Berharap sentuhannya dapat menenangkan Daisy. Namun, Daisy tetap menangis dan terdiam membisu.
"Sekali lagi maafkan aku. Sebenarnya aku cemburu melihatmu tersenyum karena bertukar pesan dengan orang lain. Jangan menangis lagi.." Lirih Noah jujur sedangkan Daisy terkikik pelan. Pria itu menunduk ke bawah dan menatap Daisy kaget.
Daisy menyengir seraya melepaskan pelukan Noah dari tubuhnya. "Hehe. Aku tidak menangis. Maaf sudah mengerjaimu. Dan, aku bertukar pesan dengan pengasuh Jillian, bukan bertukar pesan dengan laki-laki lain. Jadi, kau tidak usah cemburu."
Noah menatap istrinya gemas. "Kau ini! Apa begitu menyenangkan melihatku ketakutan karena tingkah jahilmu?" Omelnya.
Daisy terkekeh pelan. "Iya. Melihatmu ketakutan karenaku memang sangat menyenangkan."
Noah memutar bola mata malas. "Ya, ya, ya. Lakukan saja sesukamu."
Daisy mencolek pipi Noah gemas. "Jangan merajuk. Maafkan istrimu ini karena telah mengerjaimu."
"Akan ku maafkan kalau kau mencium pipiku." Sahut Noah sok jual mahal. Padahal sebenarnya ia tak marah atau pun kesal.
Daisy mengecup pipi Noah secepat kilat. "Sudah."
Noah berusaha menahan senyum sedangkan Daisy berusaha menahan tawa melihat reaksi lucu suaminya.
Tingkah mereka sekarang benar-benar terlihat seperti sepasang kekasih yang baru saja dilanda kasmaran.
"Oh iya, besok ada acara pembukaan hotel. Ku harap kau mau mendampingiku dan Jillian." Celetuk Noah tiba-tiba akibat teringat hal penting yang harus dilakukannya besok.
"Tentu saja mau. Aku kan istrimu, sudah seharusnya mendampingimu di acara penting itu. Tapi, apakah kau tidak merasa malu membawaku ke sana?"
"Kenapa aku harus merasa malu?"
"Karena aku bukan siapa-siapa jika dibandingkan dengan dirimu."
"Sejak kapan kau menjadi rendah diri, Daisy?" Tanya Noah heran mendengar penuturan sang istri.
"Bukan rendah diri tapi sadar diri kalau aku hanya mahasiswi biasa, bukan pengusaha berpengaruh sepertimu."
"Bagiku, kau bukan mahasiswi biasa, Daisy. Kau istriku yang paling luar biasa dan paling berpengaruh dalam hidupku."
Daisy tertawa mendengar perkataan suami tampannya itu. "Wajar saja kau menganggapku begitu karena sejak awal, kau sudah tergila-gila padaku." Ledeknya.
Noah menyandarkan kepalanya di bahu istrinya. "Ya. Aku memang tergila-gila padamu. Bagaimana ini? Semakin hari, aku semakin tidak bisa mengendalikannya." Adunya lemah.
Wanita cantik itu mengelus rambut Noah pelan. "Tidak usah dikendalikan. Biarkan saja perasaan cinta menggebu-gebumu itu menguar bebas. Asalkan jangan menyakitiku saja dan yang paling terpenting, jangan mudah terpengaruh oleh orang luar. Kalau ada rumor buruk tentangku, segera tanyalah padaku. Intinya, kau harus menyelidiki dulu masalah sebelum bertindak."
Noah mengeratkan pelukannya. "Baiklah. Aku akan mengingat perkataanmu. Ku harap, kau juga bersikap demikian padaku."
"Ah, aku ingat. Dari dulu, aku punya satu pertanyaan. Ku harap, aku bisa segera mendapatkan jawabannya." Cetus wanita cantik itu.
"Apa itu?" Noah bertanya tak sabaran karena baru kali ini Daisy bertanya sesuatu padanya mengenai dirinya.
Daisy menatap Noah ragu seraya menyatukan jari telunjuknya gugup. "Tapi jangan tersinggung oleh pertanyaanku."
"Tenang saja. Aku tidak akan merasa tersinggung."
Noah menatap tak sabaran. "Jadi, apa pertanyaanmu?"