DEAR, IRENE. BE STRONG. [ Pt. 02 ]

155 29 6
                                    

Dua hari terlewati semenjak percakapan singkat itu dengan Joy yang ditemukan Yerin melamun beberapa kali di beberapa tempat; Lapangan olahraga, kantin, sisi jendela koridor, dan bahkan di dalam kelas. Joy tidak dapat melepaskan topik Irene dari kepalanya serta keputusannya untuk menghadap Irene secara langsung hari itu. Muncul rasa bersalah yang cukup besar di relungnya ketika otaknya memutar memori ekspresi Irene yang tampak tersakiti.

Mungkin dia benar. Mungkin aku se-arogan itu. Pikir Joy sembari tak henti menekan ujung pulpennya, menimbulkan suara nan sebenarnya betul-betul mengganggu Yerin.

"Lagipula kerasukan apa Kau? Sampai berani-beraninya mendatangi Kak Irene di siang hari seperti itu, huh? Kau sungguh sudah ditandai oleh mereka!" Suara Yerin, untungnya, berhasil memecahkan lamunan Joy sehingga perempuan jangkung tersebut menghentikan gerakan ibu jari diatas pulpennya. Dan entah bagaimana caranya, satu pertanyaan yang tidak pernah terbersit di kepala Joy mendadak menampakkan keberadaannya; mengundang satu alis Joy untuk diangkat penasaran.

"Memangnya seberapa keras pembullyan itu sampai-sampai seorang lelaki bunuh diri?" Tolehan Joy kearah Yerin nyatanya justru dibalas dengan cara yang sama. Wajah Yerin jelas mengerut kencang, menjadikan Joy memiringkan kepala atas refleknya; berpikir bahwa mungkin pertanyaannya begitu konyol mengingat ketahanan mental tiap-tiap orang berbeda-beda.

"I know. Maaf aku tidak bermaksud meremeh—"

"Aku tidak pernah bilang dia laki-laki, Joy. Ditambah lagi, hampir satu sekolah sudah tahu bahwa kak Irene tidak tertarik dengan lelaki. Geez, kemana saja kau?!" Lantas sahutan suara Yerin yang memotong kalimat Joy, justru membuat si jangkung kembali tenggelam dalam deretan kata tersebut; tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Joy bahkan tidak bisa untuk sekedar membayangkan cara Irene berdamai dengan keadaan itu serta pelaku perundungan kekasih yang kini sudah tiada tersebut. Membayangkan mantan kekasih Irene adalah perempuan yang berarti Irene pun mungkin dapat merasakan ketakutan yang sama, malah meningkatkan intensitas rasa bersalah Joy pada perempuan mungil itu. Tidak seharusnya Ia dengan lancang mendatangi Irene tanpa tahu background story sebelumnya.

Semua informasi yang begitu baru dan selalu berhasil mencengangkan Joy sangat mengganggu pikirannya. Itu juga menjadi salah satu alasan mengapa Ia memilih untuk pergi ke toilet. Toh duduk di kelas pun tidak akan membuat otaknya menjadi lebih baik dan lebih fokus pada pelajaran. Kini Ia menemukan dirinya sendiri berdiri di depan cermin panjang kamar mandi, menyangga kedua tangan diatas wastafel berkeramik hitam sembari menunduk dalam demi merenungkan perbuatannya.

"Pabo sekali kau, Park Joy." Gumam Joy sendiri dalam bisikan seiring tangannya perlahan mengepal, melampiaskan rasa tak enak hati yang mendesak dadanya.

Joy tidak mengerti kenapa pertemuannya dengan Irene selalu tidak sesuai pada waktu yang tepat. Contohnya saja saat ini, dimana Joy menyentak lehernya untuk menatap cermin setelah suara kunci pintu terdengar dari bilik belakangnya. Disana Irene keluar, mata membelalak persis seperti ekspresi dua hari silam, serta tangan kanan terangkat, terlihat menjepit batangan berasap diantara jari telunjuk dan manisnya. Sekalipun Irene merupakan siswi nan dapat dikatakan nakal, namun Joy tidak pernah berpikir bahwa Irene bisa merokok. Hal tersebut membawa Joy pada kesimpulan, mungkin Irene sudah berada di ujung ketahanan mentalnya sehingga beralih pada benda berasap itu.

"Ish..." Jelas Joy menyaksikan bibir Irene mendesis kesal disusul gerakan menekan ujung rokok pada dasar wastafel basah, kemudian membuangnya begitu saja di tempat sampah sudut toilet tanpa peduli bila ada kemungkinan dia akan ketahuan jika melakukan itu.

Irene kesal pada Joy, tentu saja. Siapa juga yang tidak marah jika orang asing menanyakan tentang mantan kekasih yang sudah meninggal sekaligus membuka rasa sakit atas ingatan mengerikan tersebut? Namun jika Joy bisa menggali lebih jauh, Irene sesungguhnya hanya berpura-pura kesal demi menyembunyikan ketakutannya akan Joy; ketakutan akan keberanian Joy sebagai satu-satunya orang yang tidak ragu untuk menghampirinya dan meluruskan simpang siur yang sudah menyebar di kalangan junior.

Irene sudah terbiasa dengan teman sesama angkatan ataupun adik kelas yang membiacarakan dirinya secara diam-diam. Berasumsi, menebak-nebak, membuat kesimpulan sendiri, dan bahkan menyusun teori gila.

Tapi Joy berbeda. Irene bisa melihat bahwa Joy merupakan perempuan yang menyukai hal-hal pasti, mengejar kebenaran, bukan sesuatu yang hanya sekedar kemungkinan semata. Irene sudah terbiasa untuk diam dan membiarkan orang-orang membentuk cerita tentang dirinya menurut versi mereka masing-masing. Dengan adanya Joy, Irene menjadi was-was sebab Ia mungkin tidak bisa untuk sekedar mengonfirmasi kesungguhan ceritanya. Itu terlalu memerihkan hati. Lantas Ia menutupinya dengan berpura-pura tegar. Membuat dirinya sebisa mungkin terlihat garang agar ditakuti oleh Joy, supaya Ia tidak harus berurusan dengan Joy lagi.

Joy mungkin menyadari bahwa Irene tampak lebih terburu-buru untuk pergi daripada dirinya sendiri yang notabene-nya pernah menjadi korban Irene. Tidak ingin melewatkan kesempatan untuk berbicara dengan Irene secara private lagi, Joy tahu-tahu menyuarakan isi kepalanya hingga berhasil menghentikan langkah Irene.

"Maaf, Kak. Tapi bisakah kau tunggu sebentar?" Irene tentu saja menyerahkan ekspresi penuh tanya dengan kedua alis yang menukik, menebak-nebak dalam pikirannya tentang apa yang akan segera Joy sampaikan setelah ini.

"Apa yang kau—"

"Sebentar saja." Joy sungguh tidak peduli akan reaksi apapun dari Irene nantinya. Yang jelas Ia tidak ingin menyita waktu Irene terlalu lama, jadilah Joy cepat-cepat berbalik menghadap cermin, mengambil selembar tisu, kemudian meraih sebuah pena di saku bajunya untuk digunakan menulis diatas lembaran tersebut. Menyelesaikan susunan dari beberapa kata di atas permukaan tisu, Joy kemudian melipat lembaran tersebut. Mungkin Irene juga berpikir Joy begitu lancang dan kurang ajar sebab meraih tangan kanannya tanpa seizinnya. Namun begitu lembaran tisu tersebut berhasil tersimpan dalam genggaman Irene, Joy kemudian tersenyum kecil dan berkata sebelum pergi, "Aku duluan, Kak."

Ada sececah kecemasan di sanubari Irene ketika Ia menyaksikan senyum Joy tadi. Senyumannya terlihat tulus dan -secara begitu mengerikannya bagi Irene- amat serupa dengan senyum dari sosok yang Ia kasihi dulu. Sosok yang kini sudah tidak bisa Ia usap lagi tangannya. Kemudian bersama keresahan, satu-satunya yang menemaninya kini, Irene membuka kepalan tangannya untuk membuka lipatan tisu tersebut.

DEAR, IRENE. BE STRONG.

Sial.

***

Regards
-

C

JoyReneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang