Day by Day [Pt. 2]

378 28 9
                                    

💌

Meski Joy sudah menekadkan dirinya sendiri untuk memberi makan rasa penasaran tentang Irene nan semakin hari semakin kelaparan, Joy akhirnya tetap terkejut melihat bagaimana Ia masih terus berkomunikasi dengan Irene, hampir 2 bulan setelah pertemuan tak sengajanya di rumah sakit.

Dimulai dari mengirim pesat lewat email pribadi nan mereka ketahui dari perkenalan cukup singkat hari itu, sampai akhirnya berani untuk saling bertukar kontak lantas berbincang lewat text.

Joy sama sekali buta tentang percintaan. Hampir 29 tahun hidupnya Ia dedikasikan untuk mengejar satu-satunya tujuannya hingga Ia tak sedikitpun memberi perhatian pada orientasi apa yang melekat pada dirinya atau bahkan manusia mana yang memancing ketertarikannya.

Oleh karena itu ada sedikit kepanikan yang tumbuh kala Irene menjanjikan untuk datang ke rumah sakit sebagai teman mengobrolnya ketika Joy akan mengantar salah satu anak pengidap kanker di panti untuk melakukan kemoterapi.

Gejolak di dada Joy dapat Joy katakan cukup intens dan Ia sesungguhnya juga lumayan frustasi sebab tak menemukan satupun alasan yang dapat menjelaskan dari reaksi tubuhnya itu.

Masih lebih meresahkan sebab reaksi tersebut belum juga berkurang di pagi hari dimana Ia telah duduk di bangku besi langganannya, menunggu sosok nan telah berjanji untuk datang dan duduk di sebelahnya.

"Hai,"

"Oh? Sudah sampai?"

Joy merupakan perempuan yang cukup unik, menurut Irene.

Diam-diam Irene sendiri sudah berdiri di sudut lorong, tepat di tikungan, sambil memperhatikan Joy nan menatap kosong kedepan, menghentakkan kedua kaki dengan cepat, juga menggosokkan sepasang telapak tangannya di paha.

Tadinya terdapat kekehan kecil yang lolos di bibir Irene, menyaksikan si jangkung yang Irene kira tak akan pernah merasa gugup, tampak seperti seseorang yang akan melakukan interview bersama bos besarnya.

Namun begitu menghampirinya, kenyataannya Joy langsung berhenti begitu saja dan mendongak menatap Irene dengan mata gelap bersinarnya.

"Mm–hmm. Kau suka latte?"

Irene seketika mengangkat satu alisnya bertepatan dengan mengerutkan hidung ketika Joy merespon panggilan santainya dengan bulatan mata seolah tak menyangka.

Irene sendiri berpikir Ia telah melakukan kesalahan dengan berasumsi bahwa panggilan informal akan membuat mereka semakin dekat. Barangkali Joy belum menganggap hubungan mereka sampai sedekat itu hingga dapat memanggil satu sama lain dengan panggilan informal.

Namun sepertinya pemikiran Irene salah sebab beberapa detik usai Joy mengontrol ekspresinya, tangan panjang perempuan itu terjulur untuk meraih cup latte yang dijulurkan padanya.

Tetap saja, fokusnya bukan pada aksi Joy tersebut melainkan susunan kalimat beserta hembusan nafas panjang yang menyusul setelahnya.

"Aku bersyukur kau melakukannya lebih dahulu. Kalau tidak, sepertinya aku akan terus memanggilmu dengan panggilan canggung itu karena terlalu takut membuat kesalahan."

"Wae?", Sahut Irene cepat sembari menyamankan dirinya di sebelah Joy; mulai penasaran akan alasan dibalik ucapan Joy barusan.

"Karena aku menyukaimu dan aku jelas tidak ingin merusak hubungan ini."

Selagi Joy menyesap lattenya dengan amat tenang seolah kata-katanya tidak membuat oposisi mempertanyakan makna real dibaliknya, Irene justru total membeku; menguras otaknya untuk memberikan respon paling tepat akan sesuatu yang lolos dari bibir Joy.

JoyReneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang