Hello VS Goodbye [Pt. 1]

601 31 0
                                        

PERINGATAN :
1. Sad plot
2. Alur mainstream
3. Gampang (banget) ditebak endingnya
4. Typo bertebaran (pasti)
5. Siapkan mental siapkan hati
😌😌😌🤭🤭🤭

Kalo kalian lama ngikutin akunku satunya, kalian pasti tau kalo aku paling nggak suka plot biasa2 aja.
Tapi gatau kenapa disini aku ngerasa pengen nulis sesuka imajinasiku tanpa perlu mikirin ini bakal ketebak atau engga. Intinya di work ini pengen aku nyaman2in aja nulisnya wkwkwkwk
Jadi maapkeun kalo terlalu........ biasa.

Kaya raya belum tentu bahagia.

Seorang gadis 24 tahun, pasien langganan kamar 309 sebuah rumah sakit tersohor di pusat kota, sudah sering mendengar kutipan itu dari berbagai media.

Namun Ia tidak pernah membayangkan dirinya menjadi salah satu objek yang Tuhan ciptakan sebagai pembuktian atas kebenaran dari susunan kata tersebut.

Perempuan bernama asli Park Sooyoung nan terbaring bosan diatas ranjang bersih berbau sterilizer telah menghabiskan 2 tahun terakhir untuk keluar–masuk bangunan megah yang sama.

Tidak takut dengan biaya sama sekali, Ia justru merasa malu kala kakak satu - satunya nan sudah sukses menjadi pekerja medis ditempat ini melangkah masuk ke ruangan VIP–nya dan melihat bagaimana menyedihkan penampilannya sekarang.

"Aku dengar dari perawat Yerin, kau tidak memakan makananmu lagi."

Seperti biasa, tubuh akan refleks memutar, menyuguhkan punggung lebar sebagai pemandangan tunggal yang Wendy dapatkan.

Diatas segala kekalahan nan menyerang relung Joy bertubi - tubi setiap mendengar nada lembut Wendy, sesungguhnya Ia lebih terarah pada rasa lelah.

Lelah bergantung pada harapan semu yang seluruh keluarganya yakini semenjak Ia divonis menderita myeloma saat menginjak usia 19 tahun.

"Eonni, ini tubuhku. Aku adalah satu - satunya pihak yang berhak memutuskan."

"Ani!"

Ini juga menjadi alasan lain mengapa Joy tak pernah suka mengangkat topik sensitif yang berkutat diantara mereka sejak dulu.

Jelas sekali pandangan hidup kakak–beradik yang kini terasa semakin berjarak, sangatlah bertolak belakang satu sama lain.

Sementara Wendy merupakan individu filosofis nan percaya pada usaha merealisasikan probabilitas meski kecil presentase keberhasilannya, Joy adalah anak berpikiran realistis nan terlalu sering memperkirakan sisi paling buruk dari setiap kejadian.

Itu saja sudah cukup mengubah percekcokan menjadi sahabat yang setia merangkul saat mereka bersama, belum lagi kekeras–kepalaan nan jauh lebih memperparah keretakan hubungan.

"Semenjak kau bertindak sembrono usai terdiagnosa, aku sudah mengambil alih tanggung jawab atas dirimu. So, shut–up and just obey me!!!"

Ini tidak seperti Wendy membenci Joy karena selalu menentang.

Seluruh perlakuan kerasnya sampai detik ini sebenarnya menyiratkan ketakutan teramat dalam akan kehilangan untuk kedua kali setelah ayahnya.

Dan Joy bukan merupakan sosok tak acuh nan sama sekali tidak tahu apa - apa.

Ia selalu mendeteksi keresahan dalam nada bicara Wendy. Baik saat berucap lembut maupun ketika Ia membentak seperti barusan.

Tapi Joy sadar pula, ada satu kesamaan diantara mereka.

JoyReneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang