DEAR, IRENE. BE STRONG. [ Pt. 03 ]

156 30 11
                                    

Joy tidak percaya setelah minggunya dipenuhi tugas-tugas, Ia akhirnya bisa menyegarkan beberapa indra miliknya di perpustakaan kota, tempat Ia berdiri saat ini. Indra penciumannya digugah kembali oleh bau halaman buku-buku tua, indra penglihatannya dimanjakan dengan pemandangan rak-rak tinggi dipenuhi novel serta majalah yang siap Ia resapi isinya nanti, dan indra perasanya dipuaskan melalui sentuhan-sentuhan jari ke atas permukaan buku-buku ber-cover tebal yang Ia lewati di lorong panjang nan menurutnya sangat estetik.

"Huahh, akhirnya..." Sedikit meresapi momen yang Ia asumsikan akan mulai sulit untuk didapatkan mengingat tes evaluasi semester pertama sudah semakin dekat, Joy sampai membiarkan dirinya ditatap aneh oleh beberapa orang yang sempat melewatinya atau berada di lorong seberangnya.

Setelah menemukan sebuah buku dengan sinopsis yang sukses berhasil memikat minat Joy, si jangkung itu segera mengambilnya kemudian kembali melangkahkan kakinya ke arah dia datang sebelumnya; tepatnya ke area baca dekat meja pustakawan yang tampak seperti sebuah pusat informasi atau resepsionis. Insting Joy mengatakan, dirinya tidak akan bisa menghabiskan buku di tangannya hanya dengan sekali baca, dilihat dari seberapa tebal dan seberapa banyak halaman yang ada di buku tersebut. Namun Ia tidak khawatir karena meminjam buku untuk dibawa pulang ketika Ia tidak memiliki banyak waktu, sudah menjadi pengalaman rutin-nya.

Joy sesaat melirik keatas. Kebiasaan. Langit-langit perpustakaan yang tinggi menjulang memberikan kesan lega sehingga menggoda banyak orang untuk sekedar berhenti dan menghela nafas sembari menatap hiasan mosaik dari kaca patri di jendela atas. Sekali lagi Joy mengisi hidungnya dengan bau buku-bukuan, lantas mengedarkan pandangan, mencari tempat duduk yang nyaman bagi dirinya membaca.

Belum cukup surprise yang Ia dapatkan selama beberapa minggu terakhir, Joy kembali dibuat tertegun ketika menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, sosok familiar sedang duduk dengan kepala sedikit menunduk di seat yang tak terlalu jauh dari tempat Ia diam berdiri saat ini. Sekitar 20 meter darinya, terdapat Irene yang mengenakan kacamata baca nan membuat Joy bisa-bisanya berpikir bahwa perempuan mungil tersebut baru saja berubah menjadi begitu menggemaskan. Figur gadis bermarga Bae itu kelihatan begitu mini dengan sweater oversized nan seakan-akan menggelamkannya. Meski begitu, aura elegan dan berwibawa Irene masih tetap terpancar berkat wajah tak bercela serta ekspresi datar tanpa emosi itu.

Untuk beberapa menit Joy menimbang pilihan yang Ia miliki sekarang. Haruskah Ia menghampiri Irene setelah aksi 'tisu'-nya hari itu dan mempermalukan dirinya sendiri di hadapan Irene? Ataukah justru berpura-pura tidak menangkap keberadaan Irene sama sekali, kemudian menjadi seat sejauh-jauhnya dari dia?

"Fuck it! Kalau ingin melakukan sesuatu jangan setengah-setengah, Park Joy!!" Gumam Joy sendiri disusul menggerakkan kaki jenjangnya ke arah yang sudah pasti.

"Aku tidak tahu kau juga suka membaca, Kak Rene?" Tentu saja Irene tidak peduli dengan siapa yang duduk di seberang kursinya saat ini. Ia tidak pernah peduli dengan apapun. Tapi di detik suara khas milik Joy menelusup gendang telinganya, seketika itu juga lehernya tersentak keatas bersama sedikit belalakan mata; sama sekali tidak menduga bahwa Ia akan bertemu dengan Joy bahkan di tempat Irene biasa menenangkan diri.

Joy bingung, jelas. Irene hanya duduk disana tanpa perubahan posisi sama sekali, menatapnya begitu dengan mata dilebarkan yang tak kunjung menormal. Dan seiring Joy menjadi tidak nyaman atas tatapan intens Irene yang sama sekali tidak berniat untuk mengalihkan sorotan, Joy sekedar menanggapinya dengan mengedarkan pandangan ke segala arah kecuali netra gelap di hadapannya.

Dan Ia mulai membaca bukunya, membebaskan Irene menatapnya selama yang Irene inginkan. Sangat konyol memang.

Tak lama setelah Joy mencapai paragraf kedua dari halaman pertamanya, Ia akhirnya mendengar suara helaan nafas dari sosok di depannya. Senyumnya muncul secara refleks.

JoyReneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang