2/3

252 27 2
                                    

Jadi untuk informasi aja, aku sebenernya nulis ini karena lagi sedikit kecewa sama temenku karena kita temenan bertiga and suddenly I feel left out. Kek dilupakan gtu dan mereka berdua terus. Jadi kutumpahin ke cerita ini aja biar agak tenang dikit. Anyway! please enjoy the story. It might or might not be continued. 

.

2/3

.

Perempuan mungil 22 tahun berambut hitam legam sepunggung, Irene, tidak bisa menahan dirinya sendiri untuk tak memandangi kedua temannya (well, mantan temannya) yang kini terduduk cukup jauh darinya di area kantin kampus. Tentu ada sedikit kekesalan serta dendam mengingat salah satu dari dua sosok disana pernah mengatakan hal semacam,

"Dalam pertemanan tiga orang, akan selalu ada satu yang tertinggalkan. Sengaja atau tidak. Aku pernah mengalaminya. Berkali-kali."

Irene pikir si pengucap kalimat tersebut, Seulgi, telah mengerti rasanya terikat pada sebuah pertemanan dan dikecewakan oleh ketidaksetiaan. Namun nyatanya kini si perempuan monolid justru tampak melampiaskan rasa perih di hati atas masa lalunya kepada Irene, teman dekatnya sendiri.

Irene pun merupakan seseorang yang dapat dikatakan cukup independent dan mandiri. Ia sebelumnya tidak pernah memerlukan seseorang yang selalu berada di sisinya untuk menemani kemanapun Ia berjalan ketika berada di kampus. Kemudian, Ia ingat betul bagaiama Seulgi berusaha kerasa berteman dengannya meskipun Irene begitu dingin di awal. Seulgi-lah sosok yang membuat prinsip kerasnya tentang 'tidak membutuhkan siapapun' sedikit diluluhkan. Bahkan sampai Wendy, si perempuan Kanada datang, Irene masih memiliki hubungan baik dengan Seulgi dan ditambah dengan Wendy pula. Dan kini Irene, untuk entah yang ke berapa kalinya, dibuat trauma kembali dengan ditinggalkan.

Kini Irene sungguh menyerah tentang hubungan. Apapun orang menyebutnya. Hidup bersama dirinya sendiri menurut Irene sudah cukup. Menambahkan simpul tali yang mengaitkan diri dengan orang lain terlalu erat menurutnya sama saja menyakiti diri sendiri sekaligus mempersulit hidup. Maka kini, di salah satu bangku panjang kosong hampir di ujung bagian kantin, Irene menghela nafas lantas lanjut menyantap makan siangnya sembari menyumpal lubang telinga dengan sepasang earbuds hijau favoritnya.

Terlalu tenggelam dalam waktunya sendiri, tepat seperti apa yang Irene harapkan, tanpa disadari terdapat satu wanita jangkung berjaket bomber merah yang duduk tak jauh di bangku belakangnya, memperhatikan Irene selama beberapa menit terakhir bersama hamburger mini yang Ia pesan.

Mata tajam si jangkung, Joy, tahu-tahu beralih pada dua sosok nan agak jauh di depannya. Dua sosok yang sebelumnya sempat mendapatkan cukup banyak sorot sedih serta kecewa dari Irene. Entah apa yang Joy pikirkan, hati nuraninya mendadak mendorong tubuhnya untuk berdiri lantas berjalan menuju dua perempuan yang duduk bersebelahan jauh disana. Hanya untuk mengamati, awalnya. Namun yang tidak disangka-sangka oleh dirinya sendiri dan juga Irene yang seketika mengangkat kepalanya ialah aksi Joy sendiri nan berhenti tepat disisi bangku Seulgi dan Wendy, lantas membalik kaleng soda di tangan tepat diatas kepala kedua perempuan itu secara bergantian.

"What the fuck?!"

"Bitches." Hanya satu kata yang mengalir dari bibir tebal Joy sebelum Ia membanting kaleng soda di tangan ke sela meja hadapan Seulgi serta Wendy, lantas pergi meninggalkan kantin dengan dua tangan Ia sembunyikan dalam saku jaket bombernya.

Melihat kejadian tersebut, Irene bahkan terkejut menemukan dirinya sendiri membuka mulut begitu lebar dengan sedikit lengkung senyum geli tersembunyi di sudutnya. Ada sebuah kebingungan sekaligus kasihan melihat Wendy dan Seulgi yang pikir Irene tidak amat salah di matanya, namun juga ada sebuah sorak kegelian serta kelegaan akibat merasa dibela oleh sosok yang Irene tak begitu kenal seluk-beluknya.

JoyReneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang