Red Velvet : 2019 Progress, Maybe

424 33 3
                                    

Tidak ada obat penenang yang sepenuhnya efektif menghilangkan kesepian selain para fans bersama teori delusi mereka.

Tidak sebanyak Seulgi tentu.

Namun tetap saja, segelintir manusia yang mencocokkan dirinya dengan Irene lewat dunia perkapalan—JoyRene lebih eksplisitnya—terkadang cukup manjur untuk memunculkan senyum.

Kami tidak sejauh kelihatannya.

Dan memutar ulang bekas kenangan mengharukan di awal tahun, seakan menyodorkan bukti pada Joy tentang seberapa dalam dia telah jatuh.

Ekspresinya tampak amat cerah hanya karena Irene tertawa padanya.

Tertawa bersamanya.

Sejenak Ia berpikir, mungkin tidak akan menjadi masalah serius bila Ia sungguh mengambil step maju

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sejenak Ia berpikir, mungkin tidak akan menjadi masalah serius bila Ia sungguh mengambil step maju.

Tapi, tidak.

Suara langkah berasal dari belakang sofa tempat Ia duduk saat ini lebih terdengar nyata daripada bising semu ponselnya.

Lalu memori itu Ia tutup begitu saja.

Khawatir jika nanti akan menciptakan sorot iba di pihak lain.

"Apa yang sedang kau lakukan?"

Suaranya lembut dan dipenuhi notasi perhatian.

Terlalu merdu untuk menjadi miliknya seorang.

Terlalu halus untuk menjadi alarm pagi tiap Ia membuka mata.

Terlalu indah untuk menjadi nyata.

Seketika segala hal nan berkisar diantara Irene terasa berlebihan untuk diterima mentah - mentah.

Pastilah ada satu–dua kegelisahan yang serta–merta membelit paru - paru tanpa adanya pengampunan.

"Hanya memonitor beberapa penampilan."

Kendati retak, Joy masih saja memperbolehkan deklarasi ikatan menginjaknya hingga pecah berkeping - keping.

Well, mungkin dia akan selalu mengijinkan.

Lagupula ini adalah Irene.

Hatinya tidak setegar yang tampak di depan, untuk sekedar berbalik arah.

Meski paham jika bergerak sedikit saja akan menjorokkan sisa - sisa perasaan ke jurang berapi, tapi bergumul sejenak di lingkupan ilusi membuatnya lupa akan konsekuensi.

Selalu begitu.

Kemudian Wendy senantiasa menjadi malaikatnya yang melandai di saat paling tepat.

Ya. Tepat ketika Irene mempersilahkan diri sendiri ke sisi Joy.

Jalinan bulu putih di tubuh kecil nan berfungsi menghangatkan, membentuk harmoni sempurna dengan rambut pirangnya. Sudah jelas Wendy hendak mengambil waktu luangnya untuk berkeliling kompleks seperti biasa.

"Oh? Seungwan–eonni, ingin jalan - jalan?"

"Yes. Kenapa?"

Baru saja kaki mau bangkit dari rasa kesemutan yang seakan ditularkan dari eksistensi di sisi, irama tiupan angin keras dari satu mulut yang dia tahu milik siapa, menarik sentimentalitas ke permukaan.

Putus asa.

Kontemplasi mengambil alih pikiran.

Dan jawaban atas pertimbangan hanya sebuah seringai tipis.

"Ani. Aku titip belikan tteokbokki biasanya, hmm? Please~"

Sekilas Ia melihat mata Wendy melintas cepat ke arah Irene nan tak ingin repot - repot menoleh; sibuk merenungkan nasib.

Adalah kemustahilan jika Irene tak merespon ketika menu favoritnya disebut - sebut.

Dan dari situ, Joy paham.

Wendy tahu semuanya.

Alisnya melengkung naik ketika iris gelap menemukan jalan kembali ke milik Joy; khawatir.

Walau Joy benci dikasihani, tapi Ia tak menyalahkan Wendy. Untuk kali ini Ia sendiri mengakui, situasi diantara dirinya dan si pemimpin terlihat amat menyedihkan.

"Arasseo."

"Gomawo, Eonni."

Ucapannya telah beralih maksud.

Terimakasih bukan karena Wendy bersedia menuruti permintaannya, melainkan cukup peka untuk membiarkan dirinya dan Irene merasakan ketenangan sebentar saja.

Sebelum kembali disapa siksaan sandiwara nantinya.

Untuk kesekian kali, mereka membiarkan hening membuka kebenaran.

Duduk bersandingan tanpa ada interaksi berarti merupakan sebuah kebiasaan. Mengerti jika kata - kata hanya akan mendorong mereka semakin jauh satu sama lain.

Lakon yang mereka perankan tidak pernah mencapai titik terang. Konflik akan menjadi substansi tunggal nan tak bosan mencekik ikatan mereka.

Lalu ketika kesadaran mengambang ulang di permukaan, aksi bergulir ke arah berlawanan.

Pertunjukkan dimulai.

"Mau menonton film? Aku bosan."

Pengamatan singkat dilakukan oleh pihak yang lebih muda.

Berusaha semampunya menemukan secuil saja niat untuk mengajaknya saling jujur.

But, nothing.

Semua yang Ia deteksi hanyalah kepalsuan dan godaan berpura - pura untuk entah yang keberapa ribu kali.

"Boleh saja. Ayo."

Ya. Ayo lihat siapa yang lebih dulu kalah.

Gimana gimana?!?! :''')

JoyReneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang