∆
.
Di sebuah gang yang cukup luas namun tetap tidak begitu ramai pejalan kaki, Irene menarik pergelangan Joy dengan ekspresi yang tidak dapat dijelaskan.
Berbeda dengan si mungil yang masih dalam kondisi hampir sepenuhnya sama dengan ketika Ia berada di kantor beberapa jam lalu, Joy justru sudah cukup berantakan dengan blazer yang tersampir di lengan kanan, lengan kemeja satin merah maroon yang dilipat hingga siku, serta yang paling terlihat ialah sebuah luka kecil di sudut bibir dan pelipis kiri yang mengeluarkan sedikit darah segar.
Irene tidak mengatakan apapun. Hanya menggeret tubuh besar Joy yang masih dapat melangkah dengan lancar meskipun sedikit terseok akibat kecepatan langkah Irene nan seolah masih dikejar lelaki-lelaki jahat nan mereka temui beberapa saat lalu. Joy sendiri tidak berani menolak atau menghentikan Irene melihat bagaimana alis indahnya sempat menukik emosi kala menyaksikan Joy berhasil sampai ke warung ramen nenek namun ditemani luka di wajahnya.
Hingga ketika keduanya sampai di depan rumah familiar yang sudah Joy saksikan berkali-kali selama dua bulan terakhir, Irene melepaskan cengkeraman di pergelangan Joy agar dapat membuka kunci gerbang, lantas balik menarik paksa si jangkung untuk ikut masuk ke rumahnya.
Dan ketika Irene sukses membawa Joy masuk ke dalam rumahnya, Joy justru terkagum dengan kerapian yang tampak dalam rumah hunian minimalis milik Irene. Sementara si mungil langsung berjalan terburu menuju sebuah pintu yang Joy tebak adalah pintu menuju dapur, meninggalkan Joy berdiri di dekat pintu, Joy malah bertahan pada posisinya sembari mengedarkan pandangan ke sekitarnya; mengamati setiap inci furnitur estetik serta tata letaknya.
"Kemari." Suara Irene terdengar tegas dan memerintah seolah tidak menerima 'tidak' sebagai jawaban. Maka dari itu Joy hanya mengerucutkan bibir lantas menuruti Irene untuk duduk tepat disisinya, diatas sofa abu-abu yang ternyata begitu empuk dan nyaman.
Kotak obat mini yang diambil Irene dari ruang belakang dan diletakkan di sisinya, kini diambil secara perlahan untuk dipindah ke atas pangkuannya.
Joy sempat merintih kecil ketika Irene mengoleskan obat secara ringan dan perlahan ke luka di bibir Joy. Namun setelah terbiasa dengan rasa perihnya, yang Joy lakukan hanyalah memperhatikan mata Irene yang tampak geram. Meskipun begitu, ketika Joy gali lebih dalam lagi, nyatanya sorot amta emosi tersebut hanya digunakan untuk menyembunyikan kekhawatiran yang ada dibaliknya.
"Kenapa kau melakukannya?"
"Hmm?" Tenggelam dalam mata Irene yang masih terfokus pada luka di bibirnya, Joy akhirnya ditarik dari lamunannya karena suara Irene yang tahu-tahu muncul.
"Kenapa kau melindungiku?" Ada sedikit keraguan untuk mengatakan yang sejujurnya usai mendengar Irene mengulangi pertanyaannya. Diperhatikannya Irene yang kini sibuk mengganti kapas yang telah digunakan dengan kapas baru untuk giliran mengobati luka di pelipisnya.
"Aw... Sshh..." Reflek Joy ketika rasa perih kembali menyerang namun kali ini di pelipis, dekat dengan matanya.
Membiarkan waktu berjalan beberapa saat dengan Irene yang menekan pelan kapas dengan obat ke pelipisnya, keheningan merupakan satu-satunya hal yang menemani mereka berdua. Joy sendiri tak bosan memperhatikan wajah Irene sampai akhirnya seluruh prosedur diselesaikan dan luka di pelipis Joy tertutup dengan plaster penutup luka.
Sama sekali tidak ingin menakuti Irene, Joy kemudian bergeser menjauh dari Irene hingga mencuri perhatian si mungil nan tengah membereskan alat-alat yang baru digunakan, lantas berucap dengan kehati-hatian, "Aku menyukaimu, Rene."
Keheningan pun seketika menyambut kembali. Meskipun Joy terus menatap tangan di lututnya, Joy dapat merasakan bahwa Irene sontak menatapnya. Dengan mengungkap perasaannya berusan, Joy diam-diam sudah mempersiapkan diri bila Irene tiba-tiba mengusirnya. Ini tidak seperti Joy menuntut apapun, Ia hanya ingin jujur kepada Irene.
"Lantas kenapa kau menjauh?" Sebuah pertanyaan yang Irene lontarkan dengan nada lembut nan sama sekali tak terdengar takut tersebut mengundang Joy untuk mengangkat kembali kepalanya; berkontak dengan mata Irene yang ternyata menatapnya dengan sorot mata lega serta senyum kecil terbentuk di bibirnya.
"Aku tidak ingin membuatmu takut, Rene. Kau sehabis mengalami insiden pahit dalam hidupmu dan aku tidak ingin confession ini menakutimu dan membuatmu tidak berani untuk berbicara lagi denganku. Mengobrol denganmu adalah hal terfavoritku sekarang dan aku tidak ingin kehilangan itu karena keegoisanku sendiri. Please, we still can be friends if you are not ready yet." Tutur Joy serius tanpa mencoba mengalihkan mata ataupun memutus kontak antara dirinya dengan Irene. Joy ingin Irene melihat ketulusan yang coba Ia sampaikan melalui sorot matanya.
Beruntung Irene pun menangkap pesan tersebut hingga membuatnya berani untuk tersenyum kecil sebelum menjawab, "Joy, aku sudah semakin baik-baik saja. Aku rutin ke terapis. Well, meskipun traumaku terkadang masih mudah terpicu, but I'm getting better. And most of all, aku menyukaimu juga. Aku nyaman denganmu." Merasakan sebuah sensasi panas yang merambat ke pipi bersamaan dengan rasa menggelitik di perut, Joy berakhir memalingkan wajah kesamping usai menangkap dua kalimat terakhir Irene.
"Stop! Stop tersenyum seperti itu, Rene."
"What? Why?" Terkekeh pelan karena Irene tahu persis kenapa Joy menyuruhnya berhenti tersenyum, Irene memilih untuk pura-pura tidak mengerti.
"Karena aku berdebar jika melihatmu tersenyum seperti itu dan ingin mencium senyum-mu." Berbeda dengan respon awal yang penuh jenaka, kali ini mata Irene membulat lebar akibat keterkejutan sebelum mengikuti Joy untuk memalingkan wajah sebab rona merah muda yang tidak jauh berbeda dengan Joy perlahan menghiasi kedua pipinya pula.
Keheningan kembali keduanya seiring keduanya terlalu malu untuk menunjukkan maupun melihat wajah satu sama lain. Ada sebuah kegembiraan di dada yang membuncah di dada Irene dan Irene sesungguhnya ingin Joy tahu itu. Namun sebuah keraguan memblokir bibir Irene untuk merespon kalimat terakhir dari Joy sebelumnya. Ia takut bila Ia sendiri tampak dan dianggap tidak konsisten dengan kenyataan yang Ia jabarkan.
Mencoba untuk memberanikan diri mengingat ini merupakan Joy, seorang wanita yang menyukainya dan Ia percaya tidak akan mungkin menghakimi keputusannya, Irene kemudian kembali memutar leher, kembali memperhatikan Joy yang masih memperhatikan furniture di ruangan tersebut. Meski masih dengan semburat merah yang kini bahkan menyebar hingga telinga bersama remasan tangan di kain bawahannya, Irene lantas melepas keraguannya.
"You can." Sontak saja kepala Joy tersentak keatas untuk kembali menatap Irene yang kini memandangnya dengan senyum kelegaan; seolah-olah Irene sendiri sudah menunggu saat-saat ini.
"Kau yakin, Rene? Aku hanya bercan—"
"Just come closer, Joy." Joy semakin berdebar kala Irene memotong kalimatnya disusul dengan gerakan menepuk sela kosong di tengah-tengah mereka; mengisyaratkan Joy untuk mendekat.
Bergeser mendekat, nyatanya justru Irene yang memulai dengan menangkup salah satu pipi Joy dengan satu tangannya. Meskipun Irene sempat berhenti sebab Ia takut melihatnya sebagai perempuan yang berpura-pura trauma, namun akhirnya Irene menghapus pemikiran negatif tersebut dan memulai dengan mengecup singkat luka disudut bibir Joy.
Setelahnya, Ia mundur. Menyerahkan sisanya pada Joy yang meminta ijin melalui matanya terlebih dahulu sebelum giliran menangkup pipi Irene lantas menariknya untuk mempertemukan bibir mereka usai Irene mengangguk memberikan ijin.
Awalnya Joy hanya membiarkan bibirnya dengan milik Irene bersentuhan begitu saja, namun beberapa detik setelahnya Ia mencoba melumat pelan secara hati-hati untuk melihat pula apakah Irene tidak nyaman dengan itu. Lantas setelah beberapa saat, mereka menjauhkan wajah satu sama lain dengan mata yang sama-sama berbinar.
"Terima kasih sudah mempercayaiku, Rene."
Dan membalas ucapan tersebut, Irene merentangkan tangan untuk memeluk pinggang Joy disusul menyembunyikan wajahnya di bahu si jangkung. Sangat menenangkan untuk merasakan tangan Joy mengusap punggungnya pelan serta penuh kasih serta kecupan singkat di ujung kepalanya.
"Terima kasih sudah melindungiku, Joy."
# END#

KAMU SEDANG MEMBACA
JoyRene
Fiksi PenggemarOneshot collection of Joy X Irene ‼️The whole writing here is based on my own imagination plus some inspiration from another story. But I never even once plagiarized anyone's work. If there are any similarities, I sincerely apologize.