∆
"Langitnya bersih sekali, bukan? Di pagi hari yang cerah seperti ini, akan lebih baik jika kau menikmati sinar matahari selama 10 sampai 15 menit untuk menambah asupan vitamin D."
"Rumah sakit memang tidak pernah sepi, right? Orang - orang terus berdatangan tanpa peringatan. Woah, semesta memang tidak punya ampun."
"Dari semua bagian di rumah sakit ini, aku paling benci dengan administrasi. Mereka sudah cukup kesulitan mencemaskan nasib kerabat namun masih harus dipaksa memikirkan biaya. Well, tapi itu bayarannya, jadi aku tidak bisa berbuat apa - apa."
"Ini favoritku. Lihat! Anak - anak itu tersenyum lebih lebar dan tertawa lebih keras dariku. Kau tahu? Dulu aku hidup berprinsip sepertimu. Menutup diri karena berpikir aku akan melukai orang - orang jika aku pergi nanti. Tapi setelah menyaksikan anak - anak ini, aku merasa iri. Diatas rasa sakit di usia yang sangat rentan, mereka masih bisa bercahaya sementara aku yang telah menghadapi banyak hal malah takut pada sesuatu yang sepele; menjadikan aku ingin seperti mereka. Berseri dan segalanya."
Kenapa?
Kenapa kalimat Irene menggema di telinga bahkan saat kesadaran terlepas dari raga Joy?
Kenapa wajah cemerlang Irene merupakan satu - satunya yang tertampil bahkan di dalam mimpinya?
Kenapa Irene menjadi sosok tunggal yang hadir bahkan di saat - saat rentannya?
Sinar yang menembus jendela perlahan menemukan jalannya menyoroti sepasang kelopak nan gemetar terbuka; menyipit sejenak demi membiasakan pendar tak terhindarkan.
Begitu penglihatan berhasil distabilkan, objek pertama yang menarik perhatiannya ialah gorden putih tipis yang bergoyang bebas diterpa angin sepoi - sepoi.
Lantas selanjutnya adalah sosok berambut coklat panjang dengan tubuh terbalut jas putih panjang, tengah bersandar di punggung sofa sudut ruangan dengan mata memejam serta tangan menyilang di depan dada.
Tak ada sedikitpun minat membangunkan sang kakak.
Joy sibuk memandangi langit - langit kamarnya yang bersih.
Berkontemplasi.
Merenungi alasan dibalik datangnya figur eksentrik yang baru Ia kenal kurang dari 10 hari silam.
"Hey, Kau sudah sadar?"
Cukup dari suaranya, Joy mendeteksi nada lelah yang lolos dari bibir tipis kakak satu - satunya.
Ada secuil keinginan untuk meminta pendapat pada orang paling terpercaya di hidupnya. Sialnya, segelintir hasrat tersebut terus disudutkan oleh keraguan nan luar biasa superior.
Tapi tampaknya Joy lebih kerepotan akan kelesah yang tak henti menghujani hati. Maka Ia memutuskan untuk menumpahkan segalanya tanpa ditutup - tutupi.
"Eonni, aku merasa aneh."
"Wae? Kau mual? Pusing?"
Gelengannya lemas.
Tatapannya kosong.
Ekspresinya tak terelaborasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
JoyRene
FanfictionOneshot collection of Joy X Irene ‼️The whole writing here is based on my own imagination plus some inspiration from another story. But I never even once plagiarized anyone's work. If there are any similarities, I sincerely apologize.