DEAR JOY. BE BRAVE! [ Pt. 7 ]

108 18 5
                                    

.

Pagi ini seperti biasanya semenjak Joy memasuki perkuliahan, Irene kembali menjemput si jangkung dengan sebuah mobil Hyundai Santa Fe black ink yang disebutnya merupakan hadiah ulang tahun dari sang ayah.

Joy memang sudah tahu bahwa keluarga Irene bukanlah keluarga biasa. Ayah dan ibunya merupakan pebisnis handal yang pintar menganalisis pasar sehingga mereka kini menjadi pendiri perusahaan yang sudah dikenal di beberapa negara. Mungkin tidak se-terkenal itu, namun tetap saja harta mereka berlimpah.

Joy hanya tidak mengerti mengapa ayah Irene membelikan mobil cukup besar untuk sosok mungil seperti Irene.

Membicarakan tentang harta, Joy sudah melakukan research-nya pula pada ancaman terbesarnya—Suho. Ternyata orang tua dari lelaki tersebut pun adalah figur familiar di kampus Irene karena telah menjadi donatur nomor 3 terbesar selama beberapa tahun terakhir.

Ini tidak seperti keluarga Joy tidak memiliki apapun. Dibandingkan dengan tetangga-tetangganya, Joy bisa menganggap orang tuanya sendiri sebagai sosok yang 'berada'. Tapi bila dibandingkan dengan keluarga Irene dan Suho, mungkin dia akan jatuh beberapa level dibawahnya. Inilah alasan mengapa Ia begitu cemas akan keberadaan Suho.

Karena dia berada di level yang sama dengan Irene. Mungkin saja lelaki itu bisa memenuhi seluruh kebutuhan, bahkan keinginan Irene bila mereka berakhir bersama.

Kemudian bayangan-bayangan inilah yang akan membesarkan insecurity Joy dan membanting rasa percaya diri yang dulu dikenal satu sekolah sebagai yang paling tinggi. Orang-orang hanya tidak menyadari, Joy selalu menjadi 'kecil' ketika berada di sisi Irene.

"Joy?"

"Joy..."

"Joy, hey. Kau baik-baik saja?" Dan suara lembut sekaligus sentuhan di lengan kirinya berhasil menarik kekelaman imajinasi yang mungkin bisa menjadi nyata bila Suho terus bersikeras.

"A–aku tidak apa-apa, Kak."

Alih-alih mengangguk dan mengikuti alur dari jawaban tersebut, Irene malah mengarahkan mobilnya ke bahu jalan sebelum akhirnya berhenti sepenuhnya. Gerbang depan kampus Joy tinggal beberapa puluh meter di depan, tapi Irene memilih untuk memutar tubuhnya ke sisi demi memandangi gadis nan masih enggan untuk sekedar menoleh ke arahnya.

Senyuman tulus Irene perlahan bergeser menjadi lengkung sendu seolah putus asa; perlahan Ia membelai garis lengan Joy lantas menyelipkan jari-jarinya ke ruas-ruas besar Joy sampai perempuan jangkung tersebut akhirnya memilih untuk memutar lehernya, menyaksikan Irene nan telah menunduk menatap genggaman tangan mereka.

"Aku harus apa untuk menghilangkan ketidakpercayaan dirimu, hmm?"

Di titik ini, Joy menyadarinya; bahwa aura gelap karena rasa insecure nya mempengaruhi Irene dan menguras energi yang lebih tua pula mengingat dia pun harus memikirkan cara untuk menghapus perasaan negatif tersebut.

"Tiga tahun dan kita masih berjalan sampai sekarang, Joy. Kalau hatiku lebih memilih Suho, aku pasti sudah meninggalkanmu sejak awal semester dulu."

Irene benar. Joy sendiri mulai berpikir bahwa dirinya sungguh tidak masuk akal. Apa? Mencemburui Suho karena lelaki itu 'tampak' lebih mapan darinya? Yang benar saja, baik dirinya maupun Suho masih sama-sama menginjak bangku kuliah. Tidak ada yang lebih mapan dari yang lain bila belum lulus dan bekerja.

Dengan sentakan pemikiran tersebut, Joy kemudian mencondongkan tubuhnya dan meninggalkan kecupan singkat di pucuk kepala Irene; menarik perhatian yang lebih tua sehingga mendongak untuk menatap Joy tepat di mata berbinar memancarkan cahaya itu.

JoyReneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang