DEAR JOY. BE BRAVE! [ Pt. 06 ]

124 18 0
                                    

Joy kembali pada kebiasaannya menutup diri dan menyimpan segala bisikan di kepala untuk dirinya sendiri. Selama beberapa menit terakhir matanya terpaku pada sosok mungil mengenakan topi beret hitam serta blouse putih dipadukan dengan rok sepaha warna gelap.

Tanpa Joy maupun Irene sendiri pikirkan, 3 tahun telah berlalu. Joy baru saja dilayangkan dengan kehadiran Irene di pesta kelulusan sekolah menengahnya beberapa minggu silam, bahkan mengambil foto bersama dengan kedua orang tuanya pula.

Joy hanya tidak menyangka, hal yang berawal dari langkah negatif saling menatap sinis satu sama lain akan membawa Joy pada titik dimana Joy tidak dapat memalingkan pandangan dari si cantik Irene.

Kemudian ketika Irene menyadari sebuah tatapan serasa melaser kepalanya, Ia akan mendongak dan mengembalikan senyum kecil Joy dengan lengkung bibir nan jauh lebih tulus dan indah. Sudah biasa.

Semenjak pengakuannya di perpustakaan tiga tahun lalu, Joy mempelajari beberapa fakta sederhana tentang Irene seperti bahwa perempuan tersebut sangatlah hati-hati ketika memutuskan sesuatu. Hal itulah yang menuntun keduanya pada sebuah kesepakatan untuk sekedar berkomitmen tanpa menentukan status pasti hubungan mereka hingga Joy lulus SMA.

Awalnya Joy hanya mempertanyakan latar belakang dibalik preposisi tersebut. Dan ketika Irene menjelaskan bahwa keduanya masih belum memasuki usia legal untuk disebut "dewasa" dalam negara mereka, Joy mengerti kemudian mengangguk setuju.

Singkatnya, Irene menyebutkan bahwa mereka masih underage untuk menetapkan status "kekasih" dalam hubungan mereka dan Irene ingin keduanya menjadi "legal" terlebih dahulu.

Sejujurnya hal itu membuat Joy kagum namun juga sedikit was-was. Maksudnya, ayolah. Irene sudah dianggap dewi oleh semua angkatan di SMA mereka dan kepercayaan diri Joy selalu menciut ketika diingatkan pada fakta tersebut.

Dan disinilah dia. Duduk di bangku kayu taman kampus Irene bersama Yerim, teman barunya ketika memasuki kuliah. Sayangnya teman baik masa SMA-nya, Yerin, memilih untuk melanjutkan edukasinya di luar negeri bersama keluarga besarnya. Jadilah Joy tidak memiliki teman masa lama untuk diceritakan mengenai kisah perjalanannya dengan Irene.

Dan satu fakta lain yang mungkin sudah cukup jelas adalah bahwa Irene tidak suka mengumbar kehidupan pribadinya.

Ingat ketika Joy tidak tahu bahwa Irene menyukai sesama perempuan? Well, itulah konsekuensinya.

Selama 2 tahun terakhir Joy rutin mendatangi kampus Irene untuk menemaninya di taman, tidak ada yang sekalipun menebak bahwa Joy adalah kekasihnya. Mungkin dia tampak terlalu muda untuk menjadi kekasih Irene? Entahlah.

Segala tentang Irene tidak pernah mengganggu perasaan Joy, bahkan sifat maupun preferensi yang satu itu. Hanya saja yang mengganggunya kini ialah seorang lelaki nan tak terlalu tinggi yang sudah menjadi sahabat dekat Irene semenjak Irene masuk kuliah.

Kim Suho.

"Hai, Joy." Bahkan Suho sudah terbiasa menyapanya seperti ini tanpa mencurigai keberadaan rutinnya di sekitar Irene.

"Hai, Kak Suho." Hanya dengan melihat tatapan itu, siapapun dapat langsung tahu bahwa Suho menaruh hati pada Irene.

Bagaimana tidak? Selama kurang lebih 4 semester Suho selalu bersama dengan Irene.

'Dia satu frekuensi denganku' kata Irene ketika Joy mulai merasa terganggu dan berani menanyakannya pada sang senior yang merangkap menjadi kekasihnya.

Kekasih. Mereka bahkan belum mendeklarasikannya. Jadi pada dasarnya keduanya masih sekedar terikat komitmen, bukan status.

Sayangnya (lagi), Solar dan Seohyun juga memilih untuk berkuliah di luar kota sehingga tidak ada yang memperingatkan teman-teman dekat Irene (seperti Suho misalnya) bahwa Irene sudah memiliki sosok yang menjaga hatinya.

Dan disinilah Joy. Terduduk memperhatikan Suho yang tak menyerah mengajak Irene mengobrol sementara Irene sekedar menanggapi sekenanya; terlalu fokus pada tugas-tugas nan tertampil di layar tabnya.

Lihat. Joy bahkan tidak bisa mengungkapkan bahwa dirinyalah yang dipercayakan untuk menjaga hati Irene. Dia terlalu takut bila Irene marah karena Joy menyimpang dari preferensi si mungil untuk menyimpan segala hal dalam kotak tanpa memberitahu orang lain.

"Aku masih berhutang ice cream karena taruhan kita kemarin." Joy tidak mengerti taruhan apa yang Suho bicarakan, namun nada yang jelas sekali sedang berusaha mengajak Irene berjalan-jalan bersamanya, entah mengapa terasa begitu panas di telinganya.

"Not today, Ho. Aku akan menonton film dengan Joy." Lantas suara kasual Irene yang lolos dari bibirnya tanpa perhatian sama sekali —masih berfokus menatap layar tablet dengan kacamata besarnya— seolah membasuh semua api yang membakar telinga dan hatinya.

Irene bahkan tidak berusaha sedikit saja untuk menggali maksud lain dari Suho; sepenuhnya mengabaikan pout dari sang pria di sisinya.

"Bolehkah aku ikut?" Joy sebenarnya terkesan dengan kegigihan Suho selama ini, hingga detik ini. Namun disaat yang sama Ia juga dibuat gemas (secara negatif) dengan sikap itu.

"Iya boleh. Beli sendiri saja tiketnya. Kita berangkat bersama kesana."

Wow. Joy memprediksi bahwa dia tidak akan pernah berhenti merasakan perasaan roller coaster antara girang dengan sikap tak acuh Irene pada Suho, namun juga ke-kasualannya dalam mengizinkan Suho melakukan apapun yang lelaku itu tawarkan pada Irene.

Dan satu strike terakhir itu ditutup dengan Suho yang menggeleng sambil menghembuskan nafas panjang; agaknya menyerah untuk hari ini.

***

"Kak Irene." Joy memulai sembari mengambil drafting tube yang menggantung di pundak kanan Irene untuk disampirkan di pundak lebarnya sendiri. Aksi ini tadi sempat hampir saja dilakukan pula oleh Suho, namun beruntung Irene menolak.

Jika bukan karena sikap-sikap seperti ini dimana Irene menolak barangnya dibawakan oleh Suho namun secara sukarela membiarkan Joy membawakan untuknya, mungkin Joy sudah mundur secara perlahan.

Kini keduanya berjalan pelan menuju parkiran mobil dimana milik Irene diparkirkan. Geraman 'hmm' singkat Irene selagi perempuan mungil itu sibuk mengatur isi tasnya sembari melangkah, menjadi bentuk jawaban akan panggilan Joy.

Awalnya Joy ragu untuk melakukannya, namun akhirnya Ia memberanikan diri untuk membuka mulutnya, meski ditemani tundukan dalam.

"Kau menyukai kak Suho?"

"Tentu saja!" respon ini sempat menghentikan detak jantung Joy selama sesaat sebelum Irene melanjutkan secara begitu rileks, "Dia temanku. Jika aku tidak menyukainya aku tidak akan berteman dengannya."

Gerakan Irene menutup resleting tasnya kemudian disusul tolehan cepat kala Ia mendengar sebuah hembusan kelegaan dibumbui sedikit kekesalan dari persona yang berjalan di sisinya. Sebuah senyum kecil terbit di bibir, menyadari setelah sekian tahun, perasaan Joy masih sama kuatnya seperti dulu hingga bisa merasa se-khawatir ini.

"Bisakah kau tidak terlalu sering berbicara padanya, Kak?" Suara Joy mengecil. Mungkin Irene tidak dapat mendengarnya jika bukan karena parkiran sedang lumayan sepi.

"Kenapa begitu?" Lantas ketika Irene memiringkan kepalanya bersama senyuman nan semakin melebar, Ia menemukan Joy memalingkan pandangannya ke arah lain sampai Irene tidak dapat menangkap semburat merah di wajahnya.

"Kau tahu kenapa, Kak."

Yang tidak Joy sangka-sangka ialah bahwa respon Irene selanjutnya diawali oleh tarikan lengan kekarnya, disusul sebuah kecupan beberapa detik di pipi, kemudian diakhiri dengan sikap tak acuh seolah aksi tersebut tidak membuat Joy sepenuhnya meleleh.

"Aku mengerti, jadi kurangi kekhawatiranmu, hmm?"

Mungkin Joy memang tidak perlu mencemaskan apapun.

***

Regards

- C

JoyReneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang